Kupi Beungoh

Aceh dan Kepemimpinan Militer (V) - Alaiddin Riayat Syah, Sulaiman Agung, dan Laksamana Kortuglu

Di Istana Topkapi ada surat Sultan Aceh Alaiddin Riayat Syah, yang tersimpan dengan baik, kepada penguasa Ottoman pada masanya, Sultan Sulaiman Agung

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Ahmad Human Hamid, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

Topkapi di Istanbul, Turkiye adalah nama salah satu dari 10 istana terhebat dan terindah di dunia.

Di dalam kelompok istana terhebat dan terindah di dunia itu, ada Versailes di Paris Perancis, Bukckingham di London Inggris, dan Forbidden City di Beijing Cina.

Topkapi, istana kebanggaan rakyat Turki itu kini telah dijadikan museum.

Ada yang unik dan langka di museum Topkapi yang dibangun oleh Mehmed II, sang penakluk Bizantium Konstantinopel.

Arsitek kampiun Mimar Sinan, pada tahun 1453, memimpin pembângunan itu.

Hari ini, di Topkapi ada peninggalan klasik benda-benda penting peradaban Islam.

Di antaranya ada tongkat Nabi Musa AS, serban Nabi Yusuf AS, serta janggut, bekas pijakan tapak kaki, dan pedang Nabi Muhammad SAW.

Ada juga pedang Khalid bin Walid, dan pakaian Fatimah Az-Zahra.

Apa yang unik tentang Aceh di museum Topkapi adalah di bagian arsip kerajaan Ottoman lebih dari setengah milenium yang lalu.

Ada surat Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Qahhar, yang tersimpan dengan baik, kepada penguasa Ottoman pada masanya, Sultan Sulaiman Agung (Razaulhak Şah 1967; Casale 2005).

Surat itu bukan sembarang surat, melainkan pernyataan kesiapan Aceh untuk menjadi sekutu imperium Ottoman di bagian Timur, utamanya di wilayah Samudra Hindia dan Selat Malaka.

Surat itu lagi-lagi menjelaskan betapa kehebatan Ali Mughayatsyah mengalir deras kepada anaknya yang termuda, yang menjadi raja ketiga Aceh, Alaidin Riayat Syah dalam menanggapi percaturan keamanan global yang bergejolak pada masa itu.

Sulaiman, yang di dalam kepustakaan barat dikenal dengan julukan “the magnificent”, adalah kaisar Ottoman paling hebat, sehingga digelar sebagai yang paling agung.

Kecuali sejumlah raja Monggol, tidak ada raja Asia lainnya yang menaklukkan sebagian Eropa, kecuali Sulaiman.

Ia memperluas kawasan Ottoman ke Hungaria, kawasan Balkan, sebagian Rusia, dan bahkan mendekati kota Wina di Austria.

Apa yang menarik tentang Alaiddin adalah, kemampuannya menempatkan Aceh sebagai sebuah kerajaan dalam konstalasi persaingan antarnegara pada abad ke 16.

Ia membaca dengan cepat kepentingan bangsa-bangsa Eropa dalam akumulasi kekayaan dengan penjajahan, utamanya melalui komoditi rempah.

Ketika kerajaan-kerajaan di Nusantara kecil dan lemah, mereka menyerang dan menjajah.

Namun jika saja kerajaan itu hebat dan kuat, seperti Aceh dan Siam, mereka berdagang dan menjadikannya sahabat.

Pengalaman ayahnya, Mughayatsyah, tentang rentannya kerajaan-kerajaan kecil Aceh terhadap Portugis adalah pelajaran pertama Alaidin dalam melihat dinamika pencaplokan wilayah bangsa penjajah.

Malaka yang awalnya menyambut baik kedatangan Portugis, dua tahun setelah itu diserang, dan dikuasai.

Alaidin juga tahu permainan Portugis di Pasai selama beberapa tahun, terutama dengan menggunaan taktik membelah dan menguasai.

Misi penyebaran agama Nasrani Portugis dan kepentingan penguasaan ekonomi wilayah juga dibaca dengan cepat oleh raja Aceh ketiga itu.

Kedatangan dan penguasaan Portugis di Malaka membuat pusat perdagangan kawasan yang menghubungkan seluruh kerajaan Nusantara dengan Cina, India, Timur Tengah, Turki, dan Eropa bergerak cepat.

Seperti ditulis oleh Anthony Reid, dalam bukunya, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680. Vol. 2 (1993), periode abad 15-16, kawasan Asia Tenggara mengalami revolusi komersial, terutama dengan perdagangan rempah dan hasil bumi lainnya.

Malaka hanya perkembangan lanjutan dari penetrasi Portugis di Asia dan pertama di Nusantara.

Penguasaan Melaka oleh Portugis membuat dinamika perdagangan kawasan menjadi terganggu.

Nexus perdagangan laut antara Asia Tenggara, dengan Eropa terganggu dengan kedatangan Portugis.

Peran pedagang Gujarat India dan Arab melalui laut dan darat ke Eropa lewat Venesia, kini dikacaukan dengan beralihnya kepemilikan pelabuhan Melaka.

Jatuhnya Melaka ke tangan Portugis memberikan keuntungan sekaligus tantangan bagi Alaiddin.

Di satu pihak Aceh diuntungkan karena mayoritas pedagang muslim merasa tidak nyaman dengan Portugis di pelabuhan Melaka.

Pelabuhan-pelabuhan Aceh yang sebelumnya ramai dikunjungi oleh berbagai kapal perdagangan, semenjak Melaka jatuh, menjadi semakin ramai merapat ke Aceh.

Pelabuhan Aceh kemudian menjadi semakin sibuk, dan menyaingi Melaka.

Bagi Portugis, Melaka tidak cukup.

Jika Aceh leluasa tumbuh dan berkembang di luar kontrolnya, maka itu adalah ancaman.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (IV) - Alaiddin Riayat Syah, Sang Penakluk dan Armadanya

Hal ini tidaklah mengherankan, karena pada masa Mughayatsyah, Portugis telah berupaya “mengambil” Aceh, baik Daya, Pidie, dan juga Pasai, namun tetap saja gagal.

Defenisi musuh untuk Portugis yang diberikan oleh Mughayatsyah, kini berlanjut dan membara pada anaknya, Alaiddin.

Portugis bagi Alaidin adalah musuh dengan dua baju yang bertindihan, yang pertama musuh agama dan ideołogi, dan yang kedua adalah musuh perdagangan.

Untuk kedua posisi musuh ini Aceh tidak sendiri, karena ada sejumlah kerajaan Islam lain di Nusantara seperti Jepara di Jawa, dan Bijapur, berikut Alconda di India.

Posisi yang dipilih Aceh itu juga berlaku penuh untuk kerajaan Ottoman yang menguasai Mesir dan Laut Merah yang merupakan rantai perniagaan lada ke Eropa.

Mungkin Alaidin tidak membaca nasihat Sun Tzu, ahli strategi perang Cina kalsik yang hidup 500 tahun SM, tentang hukum dasar perang yang diembannya.

Namun apa yang dilakukannya persis seperti yang dianjurkan oleh SunTzu, ”kenalilah dirimu dan musuhmu dengan baik.”

Ia tahu kehebatan Portugis, dan ia juga tahu dengan baik seberapa besar kekuatan kerajaan Aceh.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (I) - Dari  Klasik Hingga Kontemporer

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (II) - Ali Mughayatsyah dan Efek Pygmalion

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (III) - Ali Mughayatsyah dan Detente 235 tahun

Kapitalisasi Kejatuhan Melaka

Alaiddin dengan cepat melakukan “kapitalisasi” kejatuhan Melaka untuk kemajuan Aceh, sebagai pusat perdagangan kawasan.

Ia tidak saja berperang melawan Portugis sampai tiga, bahkan empat kali, tetapi juga memainkan “truf aliansi” dengan kerajaan Islam kawasan yang juga tidak senang dan terganggu dengan kedatangan Portugis di Asia.

Alaiddin sangat pandai memainkan semangat solidaritas kerajaan Islam dalam memerangi Portugis.

Vince Arthur Smith (1978), akademisi, sejarawan, dan orientalist Universitas Oxford tahun dua puluhan mencatat langkah spektakuler Alaiddin dalam menghadapi Portugis terjadi ketika ia mengempur Malaka pada tahun 1570.

Ia membujuk 4 kerajaan Islam India Selatan yang saling bermusuhan; Bijapur, Golconda, Bidar, dan Ahmadnagar untuk menyerang Portugis di India pada saat yang sama.

Alidin mampu membujuk keempat kerajaan itu untuk mengenyampingkan perbedaan mereka.

Sejarah mencatat Portugis mengalami tekanan terdasyhat dari kekuatan Islam di Samudra Hindia dalam sejarah.

Alaidin mendemonstrasikan bahwa Aceh tahu siapa dirinya, dan juga tahu dengan baik siapa lawannya.

Sejarah mencatat pula kehebatan Alaidin ketika ia mengambil inisiatif bersekutu, bahkan ingin menjadikan Aceh sebagai bagian dari persemakmuran Ottoman, Turki.

Hubungan Aceh dengan Turki di bawah Alaiddin berkelanjutan, dan bahkan dalam beberapa waktu tetentu sangat krusial, seperti ketika perang dengan kerajaan Batak, Aru, dan bahkan dengan Portugis sekalipun.

Puncak aliansi itu terjadi pada tahun 1566, Alaidin mengirim utusan Aceh ke Turki, membawa surat kepada raja Sulaiman Agung yang saat itu sedang berperang di Szgetvar, Hunggaria.

Surat itu berjudul “Surat dari Sultan Aceh kepada Sultan Sulaiman.”

Sulaiman yang wafat pada tahun itu digantikan oleh anaknya Selim II yang memberi perhatian cukup besar untuk Aceh.

Permintaan Alaidin untuk kuda, ahli meriam, dan ahli pembuat istana direspons dengan baik oleh Selim II.

Raja itu bahkan mengirim 15 kapal perangnya, dengan tambahan 2 kapal besar ke Aceh.

Tentara, senjata, berikut dengan pakar senjata dikirim ke Aceh di bawah pimpinan Laksamana Kortuglu Herzeir Reis (Goksoy 2007).

Sayangnya ketika perisapan keberangkatan itu sedang dilakukan, terjadi pemberontakan di kawasan kekuasaan Ottoman, tepatnya di Yaman dan di Cyprus, yang membuat pasukan Laksamana Korduglu dialihkan ke Yaman.

Perang di Yaman yang berlangsung beberapa tahun, menyebabkan pengirman itu terganggu.

Perhatian Turki untuk Aceh tetap saja diberikan oleh Selim II kepada Aceh, walaupun tidak lagi melalui Laksamana Korduglu.

Baca juga: Nova Ceritakan Relasi Aceh-Turki di Masa Lalu, Diharapkan Jadi Penguat Kerja Sama Masa Kini

Fondasi besar yang diberikan oleh Mughayatsyah kepada Aceh, di bawah kepemimpinan putranya, Alaidin Riayatsyah semakin diperkokoh dan digdaya.

Sekalipun ia tidak berhasil mengusir Portugis dari Melaka, namun sepak terjangnya telah membuat Aceh menjadi kerajaan yang diperhitungkan di jagad Nusantara, bahkan melebar sampai ke India, Timur Tengah, sampai ke Ottoman Turki.

Banda Aceh, yang di dalam banyak catatan pedagang dan pengunjung pada masa itu ditulis dengan kata “Bandar Aceh” benar-benar menjadi sebuah kota kosmopolit yang dikunjungi berbagai bangsa yang umumnya adalah pedagang.

Alaidin bahkan mampu membangun jalur alternatif perdagangan lada melalui kepulauan Maldive ke pelabuhan Laut Merah untuk diteruskan ke pasar Eropa.

Aceh memasuki periode awal negara kota-city state yang lebih konkrit yang ditandai dengan keamanan, ketertiban, dan toleransi.

Suasana itu sangat terasa, karena durasi tinggalnya berbagai pedagang asing pada masa itu berlangsung lama.

Kapal yang sepenuhnya menggunakan tenaga angin, harus menunggu pergantian angin musim di Samudera Hindia.

Seperti diketahui angin Monsoon bertiup dari timur ke barat dan sebaliknya terjadi setiap enam bulan sekali.

Kegiatan pusat perdagangan Bandar Aceh ke Eropa, bahkan ke Cina, kemudian mulai menggantikan pelabuhan Daya, Pidie, dan Pasai.

Kedigdayaan ekonomi Aceh yang dicapai oleh Alaidin terbukti lagi dengan instrumen moneter kerajaan dalam bentuk uang emas dirham (Lombard 1991).

Uniknya, jika moneter internasional abad ke 20 dikaitkan dengan kekuatan bank sentral AS- Federal Reserve, dengan mata uang dolar, Alaidin punya cara sendiri untuk uang dirham emas Aceh itu.

Pada sisi uang emas dirham Aceh itu dituliskan nama Alaidin Riayatsyah berdampingan dengan nama Sultan Sulaiman Agung dari Ottoman Turki.

Uang itu mempunyai nilai dan juga memberitahu siapa Aceh kepada penggunanya.

Baca juga: Melihat Jejak Turki di Serambi Mekkah,  Ketika Ratusan Tentara Ottoman Menikahi Gadis Aceh

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved