17 Tahun MoU Helsinki

17 Tahun MoU Helsinki, Wartawan Serambi Yarmen Dinamika Sebut Pusat Masih Berhutang Ini untuk Aceh

Mengenang 17 Tahun MoU Helsinki, apa saja butir-butir yang belum tertunai hingga saat ini?

Penulis: Sara Masroni | Editor: Mursal Ismail
Redaktur senior Harian Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika sedang presentasi dalam acara pelatihan jurnalistik dan kehumasan untuk mahasiswa FISIP Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry di Aula FISIP Universita Syiah Kuala, Minggu (25/12/2016) sore. Sementara itu, informasi terbaru dalam rangka memperingati 17 Tahun MoU Helsinki hari ini, Senin (15/8/2022), Yarmen Dinamika sebut pusat masih berhutang delapan butir MoU Helsinki lagi untuk Aceh. 

"Tapi ingat, sisanya yang delapan butir lagi adalah utang yang harus ditunaikan oleh pusat," tambah Wartawan Senior Serambi Indonesia itu.

Ia merincikan, delapan butir MoU Helsinki yang belum tertunaikan sebagai berikut:

• Komisi Bersama Penyelesaian Klaim dan Pengadilan HAM untuk Aceh

Korban konflik yang mengalami kerugian harta benda, semestinya bisa menuntut kerugian melalui Komisi Bersama Penyelesaian Klaim.

Meski demikian, hingga kini belum juga dibentuk komisi tersebut, meski sudah menjadi amanat MoU Helsinki hampir dua dekade silam.

"Kerugian-kerugian besar katakanlah di atas Rp 500 juta, itu harus dibentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim. Itu belum ada," kata Yarmen.

Sementara mengenai Pengadilan HAM untuk Aceh, ada perdebatan antara pusat dan Aceh terkait pembentukannya.

Hal ini mengingat sudah adanya Pengadilan HAM di Medan mencakup area Sumatera bagian Utara (Sumbagut) seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau.

Meski demikian, terkait pembentukan Pengadilan HAM untuk Aceh ini sebenarnya sudah diatur dalam MoU Helsinki dan menjadi utang pemerintah pusat.

• Nama Resmi Aceh dan Gelar Pejabat Senior

Belum ditetapkan nama resmi Aceh seperti menggunakan ejaan Acheh, Atjeh, Asyi atau Aceh seperti yang sekarang.

Padahal itu tertuang dalam butir MoU Helsinki untuk diatur dan ditetapkan satu versi saja sebagai nama resmi.

"Dan itu belum ditetapkan nama resmi Aceh," kata Yarmen.

Kemudian gelar pejabat senior setingkat gubernur, bupati atau wali kota juga belum ditetapkan di Aceh.

Sebab pada masa konflik, para pejabat di Aceh tidak mau menyebut dirinya sebagai gubernur, melainkan panglima sagoe, panglima sagoe cut atau panglima sagoe rayeuk.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved