Breaking News

Salam

Menyorot Kemiskinan Yang Tidak Beralasan

Merujuk pada teori yang dikemukan Rostow, Prof Mukhlis mengatakan, kemiskinan di Aceh bukan karena faktor alam, melainkan faktor manusia

Editor: bakri
Tangkapan Layar Serambi On TV
Guru Besar Bidang Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Prof Dr Mukhlis Yunus SE MS, dalam program “30 Menit Bersama Tokoh” tayang secara langsung di Youtube Serambi On TV dan Facebook Serambinews.com, Senin (15/8/2022). Program yang mengangkat topik “Aceh Kaya, Kenapa Juga Masih Miskin?” ini dipandu langsung oleh News Manajer Serambi Indonesia, Bukhari M Ali. 

Aceh merupakan daerah yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) berlimpah, baik di permukaan maupun perut bumi.

“Sehingga tidak ada alasan rasional Provinsi Aceh menjadi daerah termiskin di Sumatera dan nomor 5 di Indonesia,” kata Guru Besar Ekonomi Universitas Syiah Kuala (USK), Prof Dr Mukhlis Yunus SE MS.

Merujuk pada teori yang dikemukan Rostow, Prof Mukhlis mengatakan, kemiskinan di Aceh bukan karena faktor alam, melainkan faktor manusia dan termasuk para pemimpinnya.

“Sekarang ini, di Aceh orang-orang berpikir parsial.

Masing-masingnya memiliki ego sendiri.

Itulah penyebab kemiskinan.

Pejabat desa hingga pejabat pusat punya ego, ini kan masalah.

Idealnya kita itu harus satu,” ujarnya.

Prof Mukhlis sangat mengapresiasi Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah menyampaikan data apa adanya.

Data BPS ini bisa menjadi rujukan bagi para pemangku kebijakan untuk membenah.

“Kemiskinan yang kita lihat itukan rujukannya BPS.

Baca juga: Kemiskinan di Aceh Bukan Faktor Alam

Baca juga: Wali Nanggroe Sentil Kemiskinan Aceh di Hari Damai: Ini Sebenarnya Amat Memalukan bagi Bangsa Aceh

Kalau merujuk pada indikator lain, rasa-rasanya tidak (miskin),” ujarnya.

Melihat pertumbuhan kendaraan bermotor dan menjamurnya warung kopi di Aceh, Prof Mukhlis mengatakan dirinya tidak terima Provinsi Aceh disebut miskin jika dilihat pada kondisi nyata.

Tetapi ia menegaskan bahwa, indikator pengukuran kemiskinan yang dilakukan BPS bukan pada warung kopinya.

Prof Mukhlis mengajak seluruh lapisan masyarakat dan pemangku kebijakan untuk mengoptimalkan sumber daya alam dan membenahi sumber daya manusia, kembali pada pemberdayaan dan tidak hanya pada satu sektor saja.

“Sebab, kemiskinan juga diwarnai sekian banyak variabel, termasuk sosial budaya, hukum, dan agama,” katanya.

BPS mencatat, Aceh sudah menjadi daerah termiskin di Pulau Sumatera sejak 2002.

Pada 2002, jumlah penduduk miskin di Aceh berjumlah 1,19 juta jiwa atau 29,83 persen, tertinggi dibandingkan daerah lain.

Dari tahun ke tahun, jumlah penduduk miskin di Aceh memang menunjukkan angka penurunan, namun tidak signifikan.

Pada Maret 2022, jumlah penduduk miskin di Aceh sebanyak 806,82 ribu orang atau 14,64 persen.

Meski turun dibanding sebelumnya, namun angka itu jumlah penduduk miskin terbanyak di Sumatera.

Senada dengan pendapat Prof Mukhlis, banyak kalangan sebelumnya sudah mengatakan bahwa penyebab tingginya penduduk miskin di Aceh memang karena antara lain optimalisasi sumber daya alamnya masih rendah.

Termasuk kopi yang sebenarnya sangat digemari oleh masyarakat dunia.

Pendapat lainnya, seorang pejabat Bappenas pernah mengatakan, "Produk-produk masyarakat miskin rentan masih belum diolah sehingga (tidak) mempunyai daya jual yang lebih tinggi.

Hasil olahan rakyat, terutama kopi masih banyak didominasi oleh pasaran melalui Medan.

Jadi kontrol harga masih belum optimal.

" Dana otonomi khusus (Otsus) Aceh yang sudah digelontorkan Pusat selama tahun 2008 hingga 2022 mencapai lebih Rp 95 triliun juga belum termanfaatkan secara baik.

Pengamat Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Dr Amri SE MSi beberapa waktu lampau mengatakan, tingginya angka kemiskinan Aceh karena adanya kesalahan manajemen anggaran oleh Pemerintah Aceh sejak lama.

Menurut Amri, yang perlu diperbaiki adalah kebijakan, perencanaan, dan manajemen anggaran di Aceh.

Selama ini tidak ada pemerataan ekonomi di 23 kabupaten/kota di Aceh, karena yang menikmati anggaran pembangunan hanya segelintir masyarakat, termasuk pejabat, dan pengusaha besar.

“Ini bisa dilihat dari angka gini ratio Aceh berdasarkan data BPS, untuk tahun 2019 angka gini ratio Aceh 0,319, ini angka yang tinggi.

Saat ini kondisinya angka gini ratio tinggi, tingkat kemiskinan juga tinggi, itu penyebab tidak ada pemerataan ekonomi dan menyebabkan angka kemiskinan tinggi,” jelas pria pemegang sertifikat Planning and Budgeting dari Graduate Research Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Jepang.

Nah?!

Baca juga: Angka Kemiskinan Turun, Penerima PKH Aceh Tahap III Bertambah 10.560 Orang

Baca juga: Perkawinan: Hindari Perkawinan Anak Untuk Tekan Kemiskinan Ekstrem

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved