Salam
Menata Tambang, Menegakkan Kedaulatan
hasil pemetaan pengawasan menemukan banyak WNA yang terlibat dalam sektor pertambangan di Provinsi Aceh
RAPAT Koordinasi (Rakor) Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora) Tingkat Provinsi Aceh Tahun Anggaran 2025 digelar di Hotel Ayani, Banda Aceh, Senin (17/11/2025). Kegiatan yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Imigrasi Aceh ini bertujuan memperkuat kolaborasi dan sinergi lintas instansi dalam mengawasi keberadaan serta aktivitas Warga Negara Asing (WNA).
Kepala Kanwil Ditjen Imigrasi Aceh, Tato Juliadin Hidayawan, menyampaikan bahwa Rakor tersebut mengangkat tema tentang peran anggota Timpora dalam mendukung Instruksi Gubernur Aceh Nomor 08/INSTR/2025 mengenai penataan dan penertiban perizinan maupun nonperizinan di sektor sumber daya alam.
“Tema ini diangkat mengingat hasil pemetaan pengawasan menemukan banyak WNA yang terlibat dalam sektor pertambangan di Provinsi Aceh,” kata Tato sebagaimana diberitakan Serambi, Selasa (18/11/2025).
Perlu kita pahami, masuknya banyak WNA ke industri tambang di Aceh bukan sekadar isu administratif. Ini mencerminkan rapuhnya kedaulatan ekonomi dan lemahnya pengawasan negara di sektor strategis. Reaksi Kanwil Imigrasi yang menegaskan perlunya pengawasan ketat patut diapresiasi, tetapi kita ingin menekankan bahwa masalahnya jauh lebih dalam, dimana tambang Aceh sedang menjadi arena perebutan kepentingan, yang mana masyarakat lokal justru menjadi pihak yang tersisih.
Industri tambang adalah sektor vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kehadiran WNA dalam jumlah besar menimbulkan pertanyaan serius, apakah tenaga kerja lokal dianggap tidak mampu, ataukah ada celah regulasi yang sengaja dibiarkan terbuka?
Kedaulatan ekonomi Aceh terancam ketika pengelolaan sumber daya alam lebih banyak dikendalikan oleh pihak luar. Ini bukan sekadar soal tenaga kerja, tetapi soal siapa yang menguasai rantai produksi dan distribusi keuntungan. Kanwil Imigrasi memang menyatakan akan memperketat izin tinggal dan izin kerja, namun pengawasan lintas sektor masih lemah. Dinas tenaga kerja, aparat daerah, dan perusahaan tambang sering kali saling lempar tanggung jawab. Transparansi izin tambang juga minim. Publik jarang tahu berapa banyak WNA yang bekerja, apa posisi mereka, dan apakah sesuai dengan aturan.
Kehadiran WNA dalam jumlah besar berpotensi menggeser tenaga kerja lokal. Padahal, tambang seharusnya menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitar. Ketidakadilan distribusi keuntungan memperlebar jurang sosial. Warga lokal hanya menjadi penonton, sementara keuntungan mengalir keluar.
Aceh tidak boleh menjadi 'ladang terbuka' bagi kepentingan asing. Pemerintah daerah bersama pusat harus menegakkan aturan dengan tegas. Izin kerja harus selektif, pengawasan harus transparan, dan keterlibatan masyarakat lokal harus menjadi prioritas. Di sini, kita ingin menegaskan bahwa tambang bukan sekadar bisnis, melainkan arena kedaulatan. Jika pengawasan dibiarkan longgar, maka Aceh akan kehilangan kendali atas sumber daya yang mestinya menjadi modal pembangunan rakyatnya sendiri.(*)
POJOK
Bunda Salma serahkan sepeda motor untuk dua siswa berprestasi
Siswa sekolah lain sabar ya, tunggu kunker berikutnya
Anak buruh tani jadi ketua fraksi PKB DPRA
Kombinasi kerja keras, momentum politik, dan tentunya restu partai, hehehe
Belasan PKL di Banda Aceh ditertibkan
Kalau ditertibkan yang besar-besar, nanti rumit kan?
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Rakor-Timpora-Tingkat-Provinsi-Aceh-2025.jpg)