Jurnalisme Warga
Mandi Safar, Upacara Nasional Masa Kesultanan Aceh
Tradisi mandi Safar pada hari Rabu terakhir (uroe Rabu habeh) di bulan Safar (buleuen Safa), nyaris sama sekali tak lagi dipraktikkan oleh masyarakat

OLEH T.A. SAKTI, Pensiunan dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie
DEWASA ini, tradisi mandi Safar pada hari Rabu terakhir (uroe Rabu habeh) di bulan Safar (buleuen Safa), nyaris sama sekali tak lagi dipraktikkan oleh masyarakat Aceh.
Semua narasumber yang saya hubungi lewat telepon seluler berpendapat sama.
Terkecuali di kampung paling udik (lam klek-klok) di pedalaman Aceh, sebut mereka.
Banyak teman yang saya telepon, terutama mereka yang tinggal dekat tepi laut dan di pegunungan.
Namun, karena terbatasnya kolom, maka saya sertakan beberapa orang saja.
Saya sendiri di tahun 1970-an masih menyaksikan orang pergi beramai-ramai berjalan kaki menuju Krueng Baro (sungai baru) di Kecamatan Sakti, Pidie.
Berkat kemajuan zaman, bus sewaan semakin banyak.
Tahun 1980-an warga kampung Bucue (gampong saya) berangkat untuk mandi Safar ke laut di Pasi Rawa, Sigli.
Drs Mhmd Kalam Daud MAg (Pak Kalam), Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry menceritakan tradisi mandi Safar di Paleue, Kecamatan Simpang Lhee, Pidie.
Baca juga: Cucu Sultan Aceh Minta Pemerintah Singapura Hormati Ulama Melayu yang Berkunjung ke Singapura
Baca juga: Cucu Sultan Aceh Ultimatum Wali Nanggroe & MAA : Jangan Sembarangan Merusak Adat Istiadat Aceh!
Mandi Safar yang berlangsung tahun 1980-an itu selalu disertai dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an.
Pembimbing yang setiap tahun mendampingi rombongan mandi Safar di laut itu adalah keluarga dari istri ulama terkenal, Tgk Muhammad Daud Beureueh.
Tahun 1986 saya tinggal setahun untuk berobat kaki patah di Rumoh Teungoh, Gampong Ujong Blang, Mukim Bungong Taloe, Kecamatan Beutong, Nagan Raya.
Saya melihat berduyun-duyun perempuan berjalan kaki ke sungai yang jauhnya 3 kilometer untuk nandi Safar.
Ketika perihal tradisi itu saya tanyakan kepada Pak Jamal beberapa hari lalu, putra Tabib Wen yang mengobati saya, beliau katakana bahwa tradisi mandi Safar di Nagan Raya sudah sirna, kecuali ‘lam klek-klok’ di pedalaman.