Jurnalisme Warga
Mandi Safar, Upacara Nasional Masa Kesultanan Aceh
Tradisi mandi Safar pada hari Rabu terakhir (uroe Rabu habeh) di bulan Safar (buleuen Safa), nyaris sama sekali tak lagi dipraktikkan oleh masyarakat

Kemudian, saya hubungi Prof Dr I Nyoman Wijaya MSi, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
Beliau yang adik leting dan tinggal di satu rumah kos di Yogyakarta, saya minta menjelaskan ajaran agama Hindu yang terkait air suci.
Menurut I Nyoman Wijaya yang S1 hingga S3-nya ditamatkan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta mengatakan bahwa upacara mandi memang ada dalam ajaran Hindu, yaitu setelah Hari Raya Nyepi.
Lanjutnya lagi, bila badan lemas atau kurang bersemangat, orang Bali juga mandi dengan air suci karena air adalah salah satu unsur kehidupan.
Mandi jenis kedua ini, boleh dilakukan saat kapan saja, tidak ditentukan harinya.
Baca juga: Cucu Sultan Aceh Cut Putri, Terima Kasih Presiden Erdogan
Menyimak jawaban sahabat saya yang guru besar ilmu budaya itu, selaku guru kecil (pensiunan dosen) saya berpendapat bahwa mandi Safar itu memang tradisi asli Aceh yang berbaur dengan ajaran Islam.
Benang merah yang dapat ditelusuri bahwa banyak manuskrip Aceh seperti Hikayat Nur Muhammad dan lain-lain, yang meriwayatkan manusia itu diciptakan Allah Swt dari empat unsur: ie, apui, angen, tanoh (air, api, angin, tanah).
Bila, kondisi panas yang bersumber api, lalu disiram dengan air yang sejuk, maka api pun padam dengan sendirinya.
Mandi tolak bala Dalam pandangan masyarakat Aceh tempo dulu, bulan Safar (Aceh: Safa) adalah bulan panas dan banyak nahhasnya yang bisa membawa bahaya.
Anak yang lahir pada bulan Safar pun dianggap berwatak ‘panas’ yaitu pemarah karena “seumaloe Safa” (pembawaan Safar).
Para orang tua biasanya akan menasihati anggota keluarganya agar tidak melakukan segala kegiatan pada bulan ini secara berlebih-lebihan karena bisa mendatangkan bahaya atau bala.
Sehubungan dengan pandangan ‘bulan panas’ itulah, maka di Aceh hidup tradisi mandi Safar yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya.
Banyak orang menyebutnya ‘manoe tulak bala’ (mandi untuk menolak musibah).
Upacara mandi Safar ini dilakukan pada hari Rabu terakhir dari bulan Safar sehingga dalam bahasa Aceh disebut ‘manoe Rabu habeh’ (mandi hari Rabu terakhir di bulan Safar).
Kenapa mesti hari Rabu? Karena, dalam pandangan tempo dulu, hari Rabu itu adalah hari yang mengandung nahas, yakni ada bahayanya di saat-saat tertentu pada hari itu.