Breaking News

Kupi Beungoh

Kualitas dan Kesejahteraan Guru di Era Otonomi

Hilangnya pasal tentang tunjangan profesi guru dalam draft Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mendapat sorotan dari sejumlah pihak

Dok Pribadi
Khairil Miswar 

Oleh: Khairil Miswar  *)

HILANGNYA pasal tentang tunjangan profesi guru (TPG) dalam draft Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mendapat sorotan dari sejumlah pihak, khususnya praktisi dan pegiat pendidikan.

Kritik ini muncul akibat tidak adanya klausul yang menyebut hak guru mendapatkan TPG. Klausul yang muncul dalam pasal 105 RUU tersebut justru bias, yaitu “hak penghasilan/ pengupahan dan jaminan sosial” yang tidak secara tegas mengacu pada TPG sebagaimana dimaksud dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Kondisi ini diyakini akan berdampak pada munculnya kerugian materil bagi guru di Indonesia.

Menyikapi kritik ini, pihak Kemendikbudristek berdalih bahwa yang terjadi hanyalah pergantian istilah dan mereka memastikan bahwa TPG akan tetap didapatkan oleh guru.

Bahkan mereka mengklaim RUU tersebut sebagai bentuk keberpihakan kepada guru agar mendapatkan penghasilan yang layak, ditambah lagi dengan janji bahwa guru yang belum memiliki sertifikat pendidik juga akan mendapatkan tunjangan tanpa harus menunggu antrean sertifikasi.

Baca juga: Transportasi Publik Berkeadilan yang Ramah Disabilitas

Baca juga: Agama dan Perdukunan

Mencermati polemik dan perbedaan penafsiran terkait hilangnya pasal tentang TPG dalam RUU Sisdiknas yang sudah diajukan dalam Prolegnas Prioritas Perubahan Tahun 2022 tersebut, setidaknya ada dua hal yang mesti dilihat. Pertama adalah korelasi antara TPG dan kualitas guru dan kedua posisi TPG dalam menyejahterakan guru-guru di Indonesia.

TPG dan Kualitas Guru
Berhasil tidaknya proses pembelajaran di sekolah tentunya sangat ditentukan oleh kompetensi profesional yang dimiliki seorang guru.

Kompetensi profesional minimal yang harus dimiliki guru mengacu pada penguasaan materi dan juga penguasaan kelas.

Selain itu, profesionalisme tersebut juga berkaitan erat dengan disiplin dan peningkatan kinerja para guru dalam menjalankan tugasnya.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah keberadaan TPG memiliki korelasi dengan peningkatan profesionalitas guru?

Kurniawan (2011) dalam penelitiannya menyebut penguasaan materi antara guru sertifikasi dan guru non sertifikasi tidak berbeda jauh.

Artinya, guru yang sudah lulus sertifikasi dan mendapat TPG tidak secara otomatis menjadi sosok yang profesional dan kompeten.

Sebaliknya, guru-guru yang belum mendapatkan kesempatan sertifikasi juga tidak secara serta merta bisa dianggap sebagai tidak kompeten.

Namun demikian, sebagaimana riset yang dilakukan Permana (2017) bahwa sertifikasi bisa menjadi salah satu strategi dalam meningkatkan kompetensi guru

Selain itu, dalam faktanya keberadaan TPG juga belum mampu meningkatkan kinerja dan kedisiplinan guru secara maksimal. Fakta-fakta ini dapat dengan mudah ditemukan di lapangan.

Bahkan di beberapa sekolah ditemukan beberapa oknum guru sertifikasi yang "tidak mampu” mengajar 24 jam yang merupakan batasan jam minimal untuk bisa mendapatkan TPG.

Kondisi ini wajar belaka, sebab selain mengajar guru-guru juga harus menyiapkan perangkat pembelajaran plus setumpuk tetek bengek administrasi lainnya.

Dalam hal ini di sekolah-sekolah yang jumlah guru honorernya membengkak, guru honorer kerap “membantu” guru sertifikasi dalam memenuhi tuntutan 24 jam.

Hal tersebut mereka lakukan untuk bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari “bayaran” yang diberikan guru sertifikasi. Kondisi ini lumrah terjadi, sebab guru-guru honorer tidak memiliki pendapatan yang layak sehingga mereka terpaksa mencari “tambahan” melalui “upah mengajar” dari guru sertifikasi.

Dalam kondisi ini, TPG tidak secara otomatis dapat mendongkrak kinerja dan profesionalisme guru, khususnya PNS. Semuanya tergantung pada kesadaran dan kemauan dari guru itu sendiri.

Namun kesadaran guru saja juga tidak cukup tanpa diimbangi oleh kesediaan pemangku kebijakan dalam mengurangi beban administrasi yang selama ini turut menyibukkan para guru.

TPG dan Kesejahteraan Guru
Secara faktual keberadaan TPG memang memiliki peran penting dalam meningkatkan pendapatan para guru di tanah air, khususnya guru PNS. Selain mendapatkan gaji bulanan para guru PNS juga memperoleh TPG sejumlah gaji pokok sehingga cita-cita menyejahterakan guru pastinya sudah tercapai.

Namun demikian penting diingat bahwa selama ini kesejahteraan dimaksud hanyalah milik guru PNS yang sudah lulus sertifikasi. Ada pun guru PNS yang belum mendapatkan kesempatan sertifikasi tentunya masih jauh dari kata sejahtera.

Sementara itu, munculnya aksi mencari “upah tambahan” yang dilakukan guru honorer di sekolah seperti dikemukakan sebelumnya secara umum juga dipicu oleh ketidaksejahteraan mereka.

Ini adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Di banyak sekolah guru-guru honorer mendapat bayaran yang tidak layak sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini terjadi karena satu-satunya sumber pendapatan guru honorer selama ini hanyalah melalui dana BOS.

Selain itu kebijakan oknum pemerintah daerah di era otonomi seperti saat ini juga kerap melahirkan berbagai problem dalam dunia pendidikan.

Membengkaknya jumlah guru honorer dari tahun ke tahun di sejumlah daerah salah satunya disebabkan oleh adanya oknum-oknum yang bertindak sebagai “agen” atau “sales” yang membuat “surat keramat” agar lulusan-lulusan baru dari perguruan tinggi dapat diterima sebagai guru honorer di sekolah.

Alhasil, hampir setiap tahun terjadi penambahan jumlah guru honorer yang kemudian berdampak pada terjadinya “konflik” di sekolah, di mana jam mengajar yang seharusnya diisi oleh guru-guru honorer yang sudah lama mengabdi justru diambil alih oleh guru honorer yang masuk kemudian.

Dalam kondisi ini kepala sekolah tidak dapat berbuat banyak karena adanya potensi “tekanan struktural” dari oknum pemangku kebijakan.

Guru di Era Otonomi
Selain terjadinya pembengkakan jumlah guru honorer akibat kebijakan oknum pemerintah daerah, era otonomi juga melahirkan problem lainnya bagi para guru.

Di antara problem dimaksud adalah adanya kesenjangan pendapatan guru antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Di sejumlah kabupaten/ kota, selain mendapatkan gaji dan TPG, guru PNS juga diberikan tunjangan lainnya yang bersumber dari APBD, sementara di daerah lainnya para guru justru tidak mendapatkan tunjangan dari daerah.

Kondisi ini tentunya akan berdampak pada munculnya kesenjangan antara guru di satu daerah dengan guru di daerah lainnya. Dalam konteks yang lebih luas, kesenjangan dimaksud nantinya juga akan berdampak pada terjadinya perbedaan kinerja dari para guru.

Selain itu, adanya disparitas antara PNS Pemda dan PNS Kementerian juga menyebabkan kesenjangan lainnya, di mana PNS Pemda sangat tergantung pada kebijakan Pemda, sementara PNS Kementerian (pusat) hingga saat ini sudah merasa terpuaskan dengan kebijakan pusat.

Dalam konteks ini penerimaan insentif oleh PNS pusat telah memicu kecemburuan dari PNS daerah sehingga muncul anggapan bahwa PNS pusat lebih sejahtera dibanding PNS daerah.

Menyikapi kondisi tersebut RUU Sisdikdas semestinya juga mengatur persoalan ini agar kesejahteraan guru bisa benar-benar tercapai secara menyeluruh dan tidak hanya dinikmati oleh sekelompok guru akibat adanya ketimpangan kebijakan.

Tegasnya, RUU Sisdiknas harus mampu menjadi solusi untuk mengatasi segala problem yang dihadapi guru di era otonomi (*)

Bireuen, 29 September 2022

*) Penulis ini saat ini mengabdi sebagai kepala sekolah di sebuah sekolah rendah di perkampungan.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggungjawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved