Kupi Beungoh

Orang Aceh, Antara Fanatisme dan Histeria

SEBAGIAN besar orang Aceh sepertinya tidak akan membantah apabila disebut fanatik, sebab sikap tersebut telah mendarah daging sejak lama,

Dok Pribadi
Khairil Miswar, Penulis Buku Demokrasi Kurang Ajar (2019) 

Oleh: Khairil Miswar *)

SEBAGIAN besar orang Aceh sepertinya tidak akan membantah apabila disebut fanatik, sebab sikap tersebut telah mendarah daging sejak lama, bahkan sebelum kata fanatik itu ada.

Sikap yang diawali oleh kesadaran ini kemudian menjelma dalam bentuk yang lebih kompleks, yaitu fanatisme – kecintaan berlebihan yang terkadang bertentangan dengan nalar. Hal ini dapat dilihat dari cara sebagian orang Aceh memandang sesuatu.

Fanatisme terhadap agama, tokoh agama, tokoh sejarah dan tokoh politik adalah beberapa contoh tentang bagaimana rasa itu bergelayut dalam benak sebagian orang Aceh.

Berbeda dengan fanatisme yang telah dianggap sebagai bagian dari gaya hidup, orang Aceh sepertinya akan terkejut-kejut dan tersinggung apabila disebut mengidap histeria – sikap unik lainnya yang tidak jauh berbeda dengan fanatisme, di mana keduanya sama-sama dipecut oleh ledakan psikologis yang tak terkendali.

Bedanya, fanatisme dilandasi oleh kesadaran yang kemudian termanifestasi dalam kecintaan buta, sementara histeria berangkat dari keterkejutan yang kemudian bertransformasi menjadi kecintaan tiba-tiba. Dua fragmen ini saling mengisi dan melengkapi kehidupan orang Aceh.

Fanatisme
Fanatisme sebagian orang Aceh dalam beragama dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, di mana fanatisme ini tidak hanya tumbuh dalam ritual-ritual yang memiliki landasan teologis, tapi juga pada hal-hal sekular yang kemudian dianggap sebagai bagian dari agama. Hal-hal yang kemudian dipertahankan dengan segenap jiwa.

Dalam banyak kasus fanatisme yang bergerak liar ini terkadang juga berbuah anarki. Banyak bermunculan “polisi-polisi moral” yang melakukan penindakan terhadap hal-hal yang dianggap bertentangan agama dengan cara-cara yang justru dilarang oleh agama.

Baca juga: Kualitas dan Kesejahteraan Guru di Era Otonomi

Baca juga: Patahnya Sayap Muhammadiyah di Samalanga

Kita tentu masih ingat dengan aksi sekelompok orang yang melakukan razia, mengecat, menyemprot dan bahkan menggunting celana perempuan yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama. Sebagian orang menganggap perbuatan ini sebagai jihad dan bentuk kecintaannya kepada agama. 

Demikian pula dengan fanatisme kepada tokoh agama juga memiliki keunikan tersendiri di kalangan orang Aceh. Kita mungkin masih ingat ketika Covid-19 melanda, protokol kesehatan menjadi tidak penting setelah ada tokoh agama yang mengatakan cukup membaca doa-doa sembari mempertegas virus itu hanya ditujukan kepada kafir.

Fanatisme kepada kelompok-kelompok politik pun begitu. Ketika awal mula partai-partai lokal muncul di Aceh, ada partai yang mencoba melakukan dominasi dengan menyebut partai-partai lain sebagai pengkhianat, lhab darah, pueblo nanggroe dan semacamnya. Akhirnya teror dan intimidasi pun menghiasi perpolitikan kita. Demikianlah fanatisme tumbuh, bergerak dan menemani kehidupan kita di Aceh.

Histeria
Pada 2015 kita mungkin masih ingat dengan kemunculan seorang penceramah dadakan yang mengaku sebagai mantan pendeta dan presiden misionaris Asia. Kehadirannya yang membawa informasi-informasi mencengangkan disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat Aceh kala itu.

Saat itu sebagian masyarakat Aceh menghancurkan produk Tupperwere setelah mendengar “fatwa” dari si penceramah yang menyebut produk itu bagian dari misionaris.

Ketika itu tidak ada yang berani membantah si penceramah yang tak jelas asal-usulnya tersebut karena takut dianggap murtad. Uniknya si penceramah yang kemudian terbongkar sebagai penipu dan provokator ini juga berhasil menyebarkan kebohongan yang dibungkus dengan kesan religius di kampus-kampus.

Setelah kebohongannya terbongkar barulah kemudian sebagian orang Aceh mengutuk si penceramah yang dulunya disanjung dipuja.

Kisah si penceramah ini memberi gambaran kepada kita bagaimana sebagian orang Aceh begitu histeris tatkala mendengar informasi-informasi aneh yang dibalut dengan ayat-ayat Tuhan.

Histeria yang demikian membuat sikap kritis kehilangan daya sehingga semua orang larut dan terpedaya.

Histeria sebagian orang Aceh juga dapat dilihat ketika ada tokoh-tokoh yang memuji Aceh dengan cerita-cerita heroik.

Sebut saja UAS dan Riziq yang dalam beberapa kunjungannya ke Aceh kerap menceritakan sejarah Aceh masa lalu dengan penuh emosional sehingga memantik keterkejutan terdalam  dari orang-orang Aceh – bahwa UAS dan Riziq sangat memahami Aceh.

Baca juga: Transportasi Publik Berkeadilan yang Ramah Disabilitas

Baca juga: Agama dan Perdukunan

Padahal, bagi seorang penceramah dan tokoh publik, menceritakan kisah-kisah heroik di setiap daerah yang dikunjunginya adalah wajar belaka. Sama saja seperti ketika Barack Obama mengunjungi Jakarta – juga melakukan hal serupa – mencoba berkomunikasi dengan bahasa Indonesia sebagai satu strategi mencairkan suasana dengan maksud terbinanya keakraban. Namun orang-orang kita menyambutnya dengan histeria.

Kita juga ingat bagaimana histerianya sebagian orang Aceh ketika Prabowo tampil sebagai calon presiden. Hanya karena disebut-sebut mendapat dukungan ulama dan habaib, sosok Prabowo yang ketika masa konflik dihujat dan dicaci justru kemudian di sanjung puji.

Sosok Prabowo yang dulunya digambarkan sebagai “malaikat maut” seketika berubah wujud menjadi “malaikat rahmat.” Semua karena histeria.

Anies Calon Presiden
Baru-baru ini histeria sebagian orang Aceh kembali meletup pasca ditetapkannya Anies Baswedan sebagai calon presiden oleh Nasdem.

Pandangan “miring” terhadap Nasdem yang sempat mengemuka ketika memberi dukungan kepada Ahok seketika saja hilang. Saat itu Nasdem digempur habis-habisan dan dijuluki “partai penita agama” oleh mayoritas masyarakat Muslim, tak terkecuali Aceh. Bahkan sosok Paloh yang dikenal sebagai orang Aceh tidak mampu meredam kemarahan sebagian orang Aceh terhadap partai ini.

Tapi apa yang terjadi sekarang? Kebencian yang dulunya muncul karena fanatisme tampak lebur dan berubah wujud menjadi “tiba-tiba cinta.” Begitulah histeria memainkan perannya.

Melihat fenomena demikian, saya jadi berpikir, bagaimana seandainya Anies didukung oleh Megawati dan PDI Perjuangan? Apakah histeria orang Aceh akan kembali meledak?

Bireuen, 6 Oktober 2022

*Khairil Miswar, Penulis Buku Demokrasi Kurang Ajar (Zahir Publishing, 2019).

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggungjawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved