Kupi Beungoh
23 Tahun Bireuen, Bergegaslah!
Dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang berkisar pada 9,54 persen, tingkat kemiskinan di Bireuen terbilang tinggi....
Oleh: Khairil Miswar *)
Bireuen, 11 Oktober 2022
PADA September 1999, sebelum UU Pembentukan Daerah Kabupaten Bireuen disahkan, ada dua pertanyaan besar yang muncul.
Pertama, apakah Bireuen ke depan akan lebih maju?
Kedua, siapa yang paling cocok menjadi Bupati Bireuen pertama?
Dua pertanyaan ini menjadi topik diskusi hangat di kedai-kedai kopi, tidak hanya di Bireuen, tapi juga di Aceh Utara – sebagai kabupaten induk yang telah merelakan anaknya berdiri sendiri.
Pertanyaan pertama segera saja terjawab setelah ditetapkannya Hamdani Raden sebagai Bupati Bireuen pertama. Adapun pertanyaan kedua masih terus mengambang terapung hingga saat ini – di usia Bireuen yang telah mencapai 23 tahun.
12 Oktober 1999 adalah titik awal Bireuen berdiri sebagai kabupaten mandiri yang lepas dari induknya Aceh Utara, persisnya 23 tahun lalu, pasca disahkannya UU No 48 Tahun 1999.
Sejak saat itulah Bireuen lahir sebagai biduk kecil yang akan berjuang mempertahankan diri agar tak tenggelam di tengah kondisi Aceh yang masih mencekam dilanda konflik bersenjata.
Baca juga: Agama dan Perdukunan
Baca juga: Transportasi Publik Berkeadilan yang Ramah Disabilitas
Hamdani Raden, seorang mantan birokrat ditunjuk sebagai nakhoda pertama yang akan memulai pelayaran panjang.
Dalam usianya yang telah melebih dua dasawarsa, Bireuen telah dipimpin oleh tujuh putra terbaik dalam periode 1999-2022.
Dua orang (Hamdani Raden dan Aulia Sofyan) ditunjuk Pemerintah Pusat, satu dipilih oleh DPRD Tk II (Mustafa Geulanggang) dan empat lainnya (Nurdin Abdul Rahman, Ruslan M Daud, Saifannur dilanjutkan Muzakkar) dipilih oleh publik dalam suksesi pemilihan langsung lima tahunan.
Semuanya adalah putra-putra terbaik yang pernah mengemban amanah untuk mengurus Bireuen dengan cara mereka masing-masing.
Lalu sudah berhasilkah mereka menjawab pertanyaan yang muncul di awal – apakah Bireuen akan maju setelah lepas dari Aceh Utara? Atau apakah pertanyaan ini akan terus mengapung dan akhirnya tenggelam?
Bireuen Hari Ini
Sampai dengan Februari 2021 Kabupaten Bireuen dihuni oleh 471.635 jiwa. Adapun jumlah penduduk miskin di Bireuen sesuai Laporan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Tahun 2020 berada pada angka 13,56 persen. Laju penurunan persentase penduduk miskin di Bireuen juga mengalami perlambatan dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di Bireuen pada 2019 berkisar 63.600 orang. Ada kekhawatiran bahwa jumlah penduduk miskin di Bireuen akan terus bertambah, mengingat masyarakat yang masuk dalam kategori rentan semakin meningkat disebabkan faktor ekonomi dan sosial.
Dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang berkisar pada 9,54 persen, tingkat kemiskinan di Bireuen terbilang tinggi.
Dalam konteks pendapatan, hingga saat ini yang menjadi komponen terbesar pendapatan Bireuen berasal dari dana transfer ke daerah, sementara sumbangan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih sangat kecil.
Selain itu angka SILPA juga terus meningat dari tahun ke tahun. Di sini terlihat jelas bahwa Bireuen masih gagal memanfaatkan potensi dan sumber daya daerah sehingga berdampak pada kecilnya PAD.
Dengan demikian visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2005-2025 yang bertajuk “Terwujudnya Masyarakat Bireuen yang Sejahtera, Bermartabat dan Islami,” tentunya belum tercapai maksimal, khususnya di poin kesejahteraan.
Hingga saat ini Bireuen juga belum mampu menumbuhkan pusat-pusat industri yang bisa menyerap tenaga kerja sebagai solusi mengatasi persoalan pengangguran.
Tidak terlihat adanya upaya konkret yang benar-benar serius dari para penguasa Bireuen dalam rangka menumbuhkan perekonomian masyarakat.
Beberapa pemimpin Bireuen justru melahirkan program-program yang tidak memiliki dampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat sehingga mimpi “Bireuen yang maju” semakin jauh.
Baca juga: Patahnya Sayap Muhammadiyah di Samalanga
Baca juga: Ambil Hikmahnya
Sementara itu desentralisasi yang kemudian melahirkan otonomi daerah juga tidak secara otomatis membuat Bireuen mampu menyejahterakan pegawai-pegawainya, khususnya guru.
Memang benar, kebijakan pemerintah pusat terkait tunjangan sertifikasi sudah cukup memberi harapan bagi kesejahteraan guru, tapi pemerintah daerah semestinya juga memiliki andil untuk menyejahterakan para guru, sebagaimana hal ini dilakukan oleh daerah lain.
Meskipun besaran Tunjangan Kinerja Daerah ini nantinya tidak sama dengan daerah lain, namun setidaknya ada upaya dari Pemerintah Bireuen untuk menyejahterakan guru. Tapi Bireuen tidak melakukan itu.
Saat ini justru terdapat kesenjangan antara guru yang berstatus PNS Pusat dengan guru berstatus PNS Daerah. Seperti diketahui guru di Bireuen yang notabene pegawai daerah hingga saat ini sama sekali tidak mendapatkan tunjangan tambahan dari Pemda sebagai bentuk dukungan mereka kepada dunia pendidikan.
Dalam konteks kehidupan sosial keagaman, Bireuen juga mengalami kemunduran setelah lepas dari Aceh Utara.
Problem terbaru adalah pelarangan pembangunan Masjid Muhammadiyah di Samalanga. Hal-hal semacam ini justru tidak pernah terjadi di masa lalu, di mana Bireuen tempo doeloe dikenal sebagai daerah yang sangat kosmopolit.
Toleransi di Bireuen saat itu terbilang cukup baik. Jangankan konflik sektarian semisal kejadian Sangso Samalanga, bahkan konflik antaragama (dengan agama lain) pun tidak pernah terjadi di Bireuen.
Jika pun ada akan segera terselesaikan dengan cepat, tidak mangkrak seperti di Samalanga. Bahkan dulu, di beberapa tempat di Bireuen terdapat sejumlah kandang babi milik non Muslim. Tenang saja dan tidak ada gejolak.
Bergegaslah!
Cuplikan di atas hanya sekadar potret kecil dari sekumpulan problem yang ada di Bireuen pascalepas dari induknya Aceh Utara.
Potret kecil tersebut setidaknya bisa menjadi modal awal bagi kita untuk kemudian mencoba menjawab pertanyaan besar yang muncul 23 tahun lalu: Apakah Bireuen akan maju? Pertanyaan yang telah mengapung selama 23 tahun dan hingga kini belum terjawab.
Agar pertanyaan ini dapat segera terjawab dengan terhormat, sudah saatnya pemimpin Bireuen saat ini segera bergegas dan tidak lagi terjebak dalam seremoni-seremoni yang tak penting.
Segera wujudkan mimpi para pendahulu yang telah bersusah-payah berjuang melepaskan Bireuen dari induknya agar ia bisa mandiri dan bersaing dengan daerah-daerah lain. Dan jangan biarkan harapan-harapan itu menjadi utopia.
Dirgahayu Bireuen!
*) Khairil Miswar, Mantan Sekjend Jeumpa Mirah (Front Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jeumpa.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggungjawab penulis.