Breaking News

Kupi Beungoh

Pembuktian Terbalik Jaksa dan Terdakwa Dalam Tipikor

Seperti yang kita ketahui permasalahan Tindak Pidana Korupsi terus saja terjadi seperti tidak ada habisnya

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Ar-Ranniry Sava Asy-Syarh Addin, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala 

Oleh: Ar-Ranniry Sava Asy-Syarh Addin*)

Seperti yang kita ketahui permasalahan Tindak Pidana Korupsi terus saja terjadi seperti tidak ada habisnya.

Untuk mewujudkan usaha mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, telah dikeluarkannya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999.

Kedua UU ini diharapkan dapat lebih mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara serta masyarakat pada umumnya.

Untuk dapat menjerat para tikus-tikus berdasi ini, maka diperlukanlah suatu cara untuk dapat membuktikan apakah ia telah melakukan tindak pidana korupsi atau tidak.

Bahwa berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana, terdakwa diberikan hak untuk dapat membuktikan bahwasanya ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Hal ini dikenal dengan istilah pembuktian terbalik. Berdasarkan hal tersebut banyak orang berasumsi bahwa dengan adanya sistem pembuktian terbalik ini dapat lebih mudah untuk lebih mudah dalam memberantas korupsi.

Baca juga: Keuchik dan Bendahara Gampong di Aceh Besar Ditahan, Tersangka Korupsi Dana Desa dan Kasus Narkoba

Pendapat seperti itu ternyata tidak seluruhnya benar, karena terkait pertanyaan seperti apa yang dimaksud dengan sistem terbalik, bagaimana cara penerapannya, apa standar bukti yang digunakan dan sebagainya, pertanyaan- pertanyaan seperti itu tidak mudah dijawab oleh setiap orang.

Terbukti dalam praktik dapat dilihat bahwa peran Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum atau Majelis Hakim dalam menjalankan fungsi pembuktian dari Tipikor yang didakwakan tidak berbeda dengan proses dan prosedur pembuktian menurut KUHAP.

Sistem pembuktian terbalik, terdapat dalam Pasal 37 Jo 12B ayat (1) Jo 38A dan 38B UU Tindak Pidana Korupsi. Dilihat dari sudut objek apa yang harus dibuktikan terdakwa, maka pembuktian terbalik ada 2 (dua) macam, ialah:

Pertama, pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih (Pasal 12B ayat 1 Jo 37 ayat 2 Jo 38A).

Berdasarkan ketentuan di atas disebutkan bahwa terdakwa berhak untuk membuktikan dirinya tidak melakukan korupsi dan pembuktian itu akan dijadikan sebagai dasar oleh pengadilan untuk mengatakan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Baca juga: Geledah Rumah Lukas Enembe di Jakarta, KPK Temukan Bukti Dokumen Aliran Uang Suap dan Gratifikasi

Hal tersebut sesuai dengan penjelasan dalam Pasal 37 ayat 1 dan ayat 2. Pasal 37 berhubungan dengan Pasal 12B dan Pasal 37A ayat (3). Hubungannya dengan Pasal 12B, ialah bahwa sistem beban pembuktian terbalik pada Pasal 37 berlaku pada Tindak Pidana Korupsi yang menerima gratifikasi yang nilainya 10 juta atau lebih.

Kedua, pembuktian terbalik mengenai harta benda yang belum didakwakan (Pasal 38B jo 37). Pada Pasal 37 ini adalah khusus diperuntukkan bagi pembuktian terdakwa mengenai dakwaan tindak pidana (khususnya suap menerima gratifikasi Rp 10 juta atau lebih), dan bukan dakwaan mengenai harta benda.

Maka keberhasilan terdakwa membuktikan tentang kekayaannya itu bersumber pada pendapatan yang halal, tidaklah harus ia dibebaskan dalam dakwaan perkara pokok melakukan tindak pidana korupsi, melainkan sekedar menyatakan harta benda yang belum didakwakan tersebut bukan hasil korupsi, dan menolak tuntutan JPU untuk menjatuhkan pidana perampasan harta benda tersebut saja.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved