Kupi Beungoh
Anies, Robert Moses dan Keadilan Spasial
Keadilan spasial Anies tidak selesai dengan persoalan reklamasi Teluk Jakarta, namun ia juga berhadapan dengan persoalan relokasi warga
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Mungkinkah membuat omelet-telur dadar enak, tanpa memecahkan kulit telur ayam?
Kelihatannya ini adalah sebuah pertanyaan konyol, tetapi karena keluar dari mulut Robert Moses, pembangun legendaris kota New York, AS, kalimat itu menjadi penting. Tidak berlebihan memang, karena Moses dijuluki “ master builder” kota New York pertengahan abad 20.
Moses adalah sosok pemikir dan pembangun raksasa kota dan negara bagian New York .Tak ada “land mark” kota New York hari ini -mulai dari jembatan Brooklyn, Triborough, Markas PBB, Lincoln Center, dan cukup banyak lainnya- yang tak terkait dengan namanya. Ia adalah “legenda” dan sekaligus “monster” pembangunan New York.
Moses membangun 35 highway, 650 taman bermain anak, dan 13 jembatan raksasa, terowongan bawah laut ,pusat kebudayan, perumahan, kebun binatang, dan 2 PLTA besar.
Semua itu dibangun dengan ketrampilannya menggunakan kuasa, uang, dan kalau perlu ancaman. Kemampuan membangun semua itu karena New York memberinya 12 jabatan ASN aneka ragam sekaligus, selama 40 tahun, kurang lebih.
Untuk semua capaian itu, Moses dengan sinis mengatakan mesti ada korban, dan dikorbankan, dan itu adalah keniscayaan unik pembangunan kota. Tak ada telur dadar yang tak pecah kulitnya.
Akibatnya, tidak kurang dari 500.000 warga miskin kota New York tergusur. Tentang urusan berikutnya, terutama korban miskin perkotaan, biarlah alam yang akan menyelesaikannya, atau diselesaikan oleh mereka yang mau mengurusnya.
Uniknya, setelah lebih dari setengah abad kemudian, pejabat publik sebuah Ibu Kota negara “new emerging market” mengatakan ya. Melet enak tidak harus memecahkan kulit telur ayam, dan ia membuktikannya.
Baca juga: Soal Jangan Sembrono Usung Capres, Pengamat: Ada Kekhawatiran Anies tak Lanjutkan Proyek Jokowi
Ibu kota itu adalah Jakarta, Indonesia. Pejabat publik itu adalah Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta. Dengan berani ia menyatakan tak harus, dan bahkan tak perlu memecahkan kulit telur untuk membuat omelet enak.
Menurut Anies yang diperlukan omelet unik itu adalah kreativitas, sabar, mau mendengar, jangan suka berkelahi, apalagi suka meremehkan orang lain. Dengan ketekunannya ia punya rahasia dan dalam lima tahun ia telah membuktikan omelet enak, tanpa pecah kulit telur ayam versi Jakarta.
Kehebatan sekaligus kelemahan Moses, terkuak ketika Robert Caro, seorang wartawan investigatif harian Newsday, terakhir, editor the New York Times, menulis sisi lain Moses.
Bukunya , the Power Brooker (Knopf 1974) yang tebalnya 1336 halaman memang luar biasa. Buku itu menguraikan banyak hal, terutama tentang politik ekonomi pembangunan kota dan negara bagian New York.
The Power Brooker oleh banyak kalangan ditempatkan sebagai salah satu biografi terbaik abad ke-20 dan dianugerahi Pullitzer Prize tahun 1974. Amazon bahkan mencatat buku ini telah dikunyah oleh sekitar 2 juta pembaca,
Moses adalah tipikal individu ambisius, pragmatis, cerdik, licik, dan berani. Ia menggunakan berbagai cara untuk mewujudkan impiannya.
Tak segan in menggunakan transaksi “pintu” belakang dengan pemangku kepentingan, terutama politisi. Tak jarang membuat strategi fait -accompli, buat dulu ,urusan belakangan.
Hampir seluruh pembangunan yang dibuatnya menggusur kelompok miskin kota New York.
Baca juga: Teriakan "Anies Presiden" Menggema di Acara Perpisahan: Kerja untuk Indonesia tak Berhenti di Sini
Disamping itu, walaupun Caro tidak menggunakan kata “top down” secara eksplisit, namun seluruh dekripsi pembangunan New York dibawah otoritas Moses adalah contoh nyata pendekatan atas bawah itu.
Anies bukan Moses, dan Jakarta bukan New York , apalagi New York tahun limapuluhan. Sekalipun kedua kota itu kurang relevan untuk diperbadingkan, namun salah satu esensi mengurus pembangunan perkotaan, apalagi untuk New York dan Jakarta, tetap saja sama.
Kesamaan itu adalah mengurus “kontestasi” penguasaan ruang yang tak pernah berhenti dan selesai, yang salah satu muaranya berujung pada keadilan spasial.
Ketika ia berjanji, meyakini, dan berkomitmen untuk lebih memberi fokus kepada pembangunan yang berkeadilan sosial di Jakarta, ia tahu benar tentang kunci penentu kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya, yakni keadilan spasial.
Ini adalah terminologi yang cukup padat isinya, terutama tentang distribusi beban dan manfaat yang adil dari berbagai aktor yang terlibat dalam interaksi sosial ruang kota.
Hakekat utama pembangunan perkotaan adalah pembangunan ruang yang berurusan dengan segalanya, uang, pengaruh, dan bahkan kekuasaan.
Ketika dihadapkan dengan aspek keadilan maka yang akan beroperasi adalah mekanisme keadilan spasial yang tidak hanya terikat dengan distribusi ruang dan berbagai infrastruktur, akan tetapi juga terkait manfaat yang diterima, berikut dengan beban yang dipikul, terutama yang menyangkut dengan keuangan, sosial, dan lingkungan sebagai akibat dari kebijakan yang dibuat.
Baca juga: Anies: Politik “Tueng Bila” dan “Tob Abeh” Surya Paloh (II)
Ruang perkotaan, dimana saja di dunia adalah tempat dimana berbagai kepentingan bertemu, berkompetisi, berkoalisi,dan kalau perlu saling mengenyahkan.
Para aktor yang terlibat tidak hanya preman kecil RT/RW, birokrat, tetapi juga ada mafia, pengusaha biasa, oligarki, elit kekuasaan, dan bahkan tak jarang berhulu di salah satu sudut istana.
Tak jarang sebagian besar “mesin politik” kota memerlukan bahan bakar untuk mampu beroperasi secara berkelanjutan.
Tak heran jika mesin politik itu bersaudara kandung dengan “mesin uang” yang berpunca besar dari penguasaan ruang. Kasus pembangunan Jakarta, terutama pada dua era yang berdekatan- Anies dan era sebelumnya, adalah gambaran ideal tentang hal itu.
Mengapa tidak, lihat saja pembatalan kasus reklamasi teluk Jakarta oleh gubernur Anies, dimana ia berjuang keras seperti David melawan Goliath, yang pada awalnya menjadi tertawaan para penyembah kekuasaan.
Tak heran yang ia hadapai adalah pemerintahan presiden Jokowi, sebagian pemangku kepentingan penguasa DKI sebelumnya, dan para oligarki properti.
Kalaulah hari ini Zulfan Lindan, tokoh “tak resmi” Partai Nasdem menyebutkan Anies sebagai “anti thesis” Jokowi, ia hanya memberitahu kebenaran apa adanya, meskipun terlambat.
Pembatalan reklamasi Teluk Jakarta adalah sebuah momen penting pertama Anies menyandang status itu pada tahun 2018. Bagi Anies, ada masalah fundamental di sana.
Baca juga: NasDem Usung Anies Baswedan Capres 2024, Surya Paloh: Kami Titipkan Bangsa Ini
Paling kurang ada isu hak kepemilikan lahan pemodal besar, ada marjinalisasi sekitar 30.000 keluarga yang hidupnya dari “ruang pesisir” secara serena-mena, dan ada penghancuran kawasan ekosistem pesişir Banten, dan Jawa Barat akibat urugan pasir laut untuk reklamasi itu.
Anies menunjukkan alasan utamanya, ada aturan negara yang diterabas, yang disetujui oleh petinggi negara.
Dalam kasus reklamasi itu, ia rela menjadikan dirinya sebagai antithesis rezim yang berkuasa, karena ia melihat bagaimana pilar-pilar ketimpangan struktural sedang terbangun dengan sangat sistematis.
Baginya itu adalah ancaman masa depan Ibu Kota dan bahkan bangsa secara keseluruhan.
Dengan “nyali” Anies itu, perlahan mulai nyata terbuka bagi publik bagaimana penguasaan ruang bersaudara dengan mesin politik ibu kota, dan bahkan lebih dari itu, mesin politik nasional.
Keadilan spasial Anies tidak selesai dengan persoalan reklamasi Teluk Jakarta, namun ia juga berhadapan dengan persoalan relokasi warga karena kebutuhan pembangunan.
Apa yang dia kerjakan memang tidak menjawab tuntas persoalan penggusuran di Jakarta. Namun Anies membawa angin baru, bahwa ketika masyarakat korban diperlakukan sebagai manusia, bukan sebagai pemukim liar, banyak persoalan rumit relokasi dapat diselesaikan.
Lihatlah bagaimana Anies dengan sabar berdialog, mengajak para pihak tidak hanya berpartisipasi, tetapi juga berkolaburasi untuk menyelesaikan banyak persoalan relokasi.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XII) Benarkah Iskandar Muda Raja Liberal ?
Kebekuan penggusuran, oleh Anies diselesaikan dengan dialog. Hasilnya banyak kasus dead-lock relokasi pemukiman terselesaikan.
Catat saja Kampung Bukit Duri, Aqarium, Cakung, Bayam, dan cukup banyak lainnya yang menunjukkan bahwa kelompok miskin kota bukanlah “pariah” yang mesti disingkirkan dengan alasan pembangunan.
Kata-kata “humanis” dalam kamus pembangunan kota yang sudah lama hilang, perlahan oleh Anies dijadikan mungkin, dan kini sedang akan menjadi kata “harus”, bahkan wajib.
Kreativitas keadilan spasial innovasi Anies yang luar biasa adalah ketika ia membebaskan PBB kepada 85 persen, sekitar 1,2 juta rumah di DKI.
Pembebasan juga berlaku untuk mereka yang berjasa untuk negeri. Ia tahu benar dan bahkan cukup tahu salah satu “rukun iman” penyelenggaraan negara adalah pajak.
Namun ia lebih tahu dalam memilih dan memilah. 2,7 triliun pajak dari PBB. 10 persen dari total 27 triliun pajak DKI pada tahun 2021 dilepas untuk kemaslahatan publik yang lebih besar.
Ia sadar tidak ada seleksi alam yang paling brutal dalam pemukiman dan kehidupn manusia seperti apa yang terjadi di kawasan perkotaan.
Jika tanah sebagai sumber daya alam ditarik garis gurus dengan PBB, maka mekanisme seleksi alam hukum Darwin akan bekerja.
Baca juga: Nyeri di Pinggang Tanda Penyakit Ginjal? Simak, Ini Ciri-Ciri Sakit Pinggang Akibat Gangguan Ginjal
Akan terjadi “pembersihan” kawasan, dan strata ekonomi terendah masyarakat akan keluar, tergusur dengan sendirinya, dan secara perlahan akan terus menggerus ke atasnya, sampai semua kawasan akan bersih dan hanya satu kelas-kaya, yang menguasasinya.
Bagi Anies, jika PBB tidak dijinakkan di Jakarta, maka pajak itu akan menjadi instrumen ampuh untuk Mentengnisasi dan Pondok Indahnisasi berbagai kawasan lain di Jakarta.
Ketika itu terjadi, maka segregasi sosial tak bisa terbendungkan, dan itu adalah hulu ledak ampuh untuk ketimpangan dan konflik sosial.
Seperti biasa, publik juga tahu, kelompok kaya mana, atau tepatnya etnis apa yang akan dominan ketika “pembersihan” kawasan terjadi.
Tanpa harus berpretensi rasis, ketika perkawinan segregator etnis dan segregator pendapatan di sebuah ibu kota negara terjadi, maka hulu ledak konflik sosial akan menjadi abadi, dan dapat menggelegar setiap saat.
Baca juga: VIDEO Anies Baswedan Duduk Semeja dengan SBY dan JK, Sinyal Positif Menuju RI 1?
Sampai di sini isu keadilan spasial-tepatnya keadilan sosial Anies telah bertemu dengan sekutunya yang terdekat, persatuan Indonesia
Langkah keadilan spasial Anies tidak hanya berhenti menghempang reklamasi, memanusiakan warga relokasi kawasan, dan membuat pagar struktural ketimpangan penguasaan lahan antar kelas di Ibu Kota.
Lebih dari itu ia membuat ruang publik, bahkan ruang publik hijau terhebat dalam sejarah Jakarta.
Ia membuat sistem tranportasi publik yang tidak hanya terpadu, namun, murah, aman, nyaman, dan berbasis elektronik dan digital.
Hasil yang segera terlihat, jumlah penumpang kenderaan umum yang hanya 350.000 pada tahun 2016 dalam masa kepemimpinannya-2020 telah menjadi 1 juta pengguna.
Hampir seluruh penjuru Jakarta kini tersambung dengan sistem tarnsportasi terpadu. Uniknya kenderaan umum menjadi pembaur lintas kelas yang menetralkan stratifikasi sosial secara tajam.
Manager, bahkan CEO, yang menggunakan pakaian komplit jas dan dasi, kini duduk bersebelahan dengan rakyat biasa dalam sebuah angkutan yang sama dengan kenyamanan yang sama.
Sebuah elemen “abstrak” pembangunan kota yang telah hilang di banyak kota di dunia dan bahkan di Jakarta, kini telah muncul kembali.
Kebersamaan, kesetaraan, dan keguyuban yang dicurigai akan sirna karena modernitas, perlahan mulai mulai mencari bentuk baru yang substansinya sama.
Pembangunan trotoar yang dikerjakan oleh pemerintah DKI dalam beberapa tahun terakhir sepanjang 341 kilometer adalah capaian spektukaler sebuah ibu kota negara “new emerging market..”
Baca juga: Anies, “Filsafat Bukuem”, dan Feeling Politik Surya Paloh
Trotoar kemudian menjadi katalisator inklusivitas warga, asuransi kesehatan murah yang menyenangkan, instrumen keadilan lingkungan, sarana memperkuat percaya diri individu, dan perajut “we feeling” yang sangat ampuh.
Pengalaman Anies membangun sukses Jakarta selama lima tahun memberikan banyak pelajaran.
Satu diantaranya adalah kemampuannya membalikkan prinsip Robert Moses tentang “keniscayaan korban” seperti yang banyak diikuti oleh pembangun berbagai kota di dunia, termasuk seperti yang dilakukan oleh pendahulunya.
Anies membuat omelet baru , bahkan sama sekali tak menggunakan telur ayam. Omelet itu enak, gurih, dan sehat. Omelet itu adalah omelet vegetarian.
*PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI