Kupi Beungoh
Anies: Politik “Tueng Bila” dan “Tob Abeh” Surya Paloh (II)
KISAH perjuangan Anies Baswedan “selamat” dalam menjalankan tugasnya sebagai Gubernur DKI adalah sebuah prestasi yang menunjukkan sesuatu yang baru
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
KISAH perjuangan Anies Baswedan “selamat” dalam menjalankan tugasnya sebagai Gubernur DKI adalah sebuah prestasi yang menunjukkan sesuatu yang baru dalam perpolitikan nasional.
Istilah “yatim politik”, yang melekat pada Anies paling kurang pada level Ibu Kota adalah sesuatu yang unik.
Anies Baswedan membuktkan bahwa “yatim politik” bukanlah sesuatu yang menjadi halangan untuk pengabdian publik, bila saja ditekuni dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh.
Itu telah terjadi dan terbuktikan.
Apa yang diinginkan oleh tubuh dan jiwa Anies segera setelah ia tidak lagi menjadi gubernur DKI adalah keberlanjutan fitnah, hoaks, yang dibangun dengan sempurna oleh kelompok yang tidak menginginkannya menjadi Capres, apalagi Presiden.
Barangkali Anies akan susah makan dan tidur, jika tidak ada berita buruk yang ditimpakan kepadanya setiap hari.
Ibarat virus, karena imunitas awal yang dimilikinya cukup kuat, apapun perlakuan yang diberikan kemudian, karena ia tak mati, akan membuatnya semakin kuat.
Dalam pandangan Paloh, memasuki gelombang pemilihan Presiden, andalan hanya kepada imunitas yang dimiliki Anies tidak cukup.
Ketika Anies masuk dalam konvensi Nasdem beberapa bulan yang lalu, untuk Capres, Paloh sadar benar tentang kekuatan, kelemahan, dan ancaman yang akan dihadapi Anies.
Mungkin dalam pandangan Paloh, berbagai serangan yang akan datang itu terlalu tinggi resikonya jika hanya dibebankan kepada kesehatan tubuh, dan imunitas yang dimiliki oleh Anies.
Suatu saat Anies pasti perlu dikawal, dijaga, apalagi bila ia menjadi Capres Nasdem.
Perkiraan Paloh tidak meleset.
Tiba-tiba saja ada gangguan besar yang terencana dengan baik yang ingin menyeret Anies, dan membuatnya tersungkur, dan bahkan dapat keluar dari gelanggang Capres 2024.
Tak cukup dengan itu, Anies juga diupayakan untuk mejadi ikon terburuk politik Indonesia pasca reformasi.