Kupi Beungoh

Aceh dan Kaligrafi

Keberhasilan tim kaligrafi Aceh membawa pulang 6 juara pada MTQ Nasional Ke-29 Tahun 2022 di Kalimantan Selatan, membuat Aceh dapat menembus 10 besar

Editor: Zaenal
Kolase Serambinews.com
Karya finalis Cabang Khat Alquran Golongan Dekorasi dan Kontemporer pada MTQ Nasional 2022 di Kalimantan Selatan, serta Said Akram SSn, putra Aceh yang menjadi Ketua Majelis Hakim Cabang Khat Alquran Golongan Dekorasi dan Kontemporer pada MTQN Ke-29 tahun 2022. 

Oleh Said Akram*)

Tim Kaligrafi Aceh Cetak Sejarah”. Headline Harian Serambi Indonesia edisi Rabu, 19 Oktober 2022, membuat saya sangat terharu.

Media terbesar di Aceh ini memberikan apresiasi yang luar biasa atas kerja keras berbagai pihak dalam mengukir prestasi di ajang MTQ Nasional.

Memang sudah sepatutnya lah Serambi mengapresiasi tim kaligrafi Aceh pada MTQ kali ini.

Betapa tidak, keberhasilan tim kaligrafi Aceh membawa pulang 6 juara pada MTQ Nasional Ke-29 Tahun 2022 di Kalimantan Selatan, membuat Aceh dapat menembus 10 besar ajang syiar Islam paling bergengsi ini.

Selain terharu, headline Harian Serambi Indonesia ini juga menyadarkan saya, bahwa prestasi yang diukir tim kaligrafi di ajang MTQN ini, sebenarnya belum lah sebanding jika melihat sejarah, jejak, dan penyebaran kaligrafi di Nusantara.

Mestinya, tidak hanya 6 juara saja, tapi seluruh juara cabang khat di ajang MTQ adalah milik Aceh.

Kenapa begitu? Karena dari Aceh lah bermula sejarah kaligrafi di Nusantara.

Dari Aceh pula cabang khat (kaligrafi) di MTQ Nasional diperkenalkan, yaitu pada MTQN tahun 1981 di Banda Aceh.

Ayah saya, Allahyarham Said Ali Abdullah, adalah salah satu orang yang memperjuangkan lahirnya cabang kaligrafi di ajang MTQ Nasional.

Dengan sejarahnya yang sangat kuat itu, maka tentu sangat beralasan jika seharusnya seluruh juara cabang khat (kaligrafi) ini menjadi milik Aceh.

Lalu, kenapa faktanya berbeda? Kenapa baru sekarang Aceh mencetak sejarah di cabang kaligrafi? Kenapa hanya 1 juara 1 sudah dibilang mencetak sejarah?

Pertanyaan-pertanyaan itu, begitu menganggu saya, dan kemudian disusul pertanyaan lanjutan.

Mungkinkah karena tidak ada regenerasi?

Atau jangan-jangan karena kurangnya kepedulian dan apresiasi dari jajaran pemerintahan di Aceh.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved