Opini
Zakat Sebagai Pengurang Pajak di Aceh
Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2021 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,503 juta jiwa atau 9,68 Persen dari total penduduk Indonesia
Pada pasal 105 disebutkan bahwa zakat yang dibayarkan kepada Badan BMA atau Badan BMK menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan dari wajib pajak yang dapat diartikan bahwasannya zakat dapat dijadikan sebagai pengurang pajak terutang dari Wajib Pajak.
Namun, apa yang tertuang dalam UU PA dan Qanun Aceh tidak sejalan dengan pasal 9 ayat (1) huruf (g) UU No.7 Tahun 2021 dan UU No 23 tahun 2011.
Ketidakselarasan antara UU PA dan UU HPP menimbulkan polemik yang berkepanjangan di provinsi Aceh sampai dengan saat ini karena wajib pajak tidak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 192 UU PA.
Oleh karena itu, dibuatlah kajian ini sebagai gambaran apakah zakat layak dijadikan sebagai pengurang pajak.
Baca juga: Wajib Pajak di Bireuen Manfaatkan Diskon PBB-P2, Realisasi Capai Rp 1,7 Miliar
Berdasarkan hasil survei yang pernah penulis teliti, terdapat temuan bahwa masyarakat dari berbagai tingkat usia, latar belakang pendidikan, dan berbagai jenis pekerjaan lebih memprioritaskan pembayaran zakat dibandingkan pembayaran pajak, dan mereka merasakan adanya beban ganda (double burden) yang harus mereka pikul, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwasanya masih banyak masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomis tapi mengabaikan kewajiban perpajakannya, atau melaksanakan kewajiban perpajakan tapi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya yang sering dikenal dengan istilah penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion).
Dengan adanya regulasi terkait zakat sebagai pengurang pajak, diperkirakan akan meningkatkan kepatuhan dan ketertiban Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya karena masyarakat tidak harus memikul beban besar seperti sebelumnya.
Berdasarkan hasil analisis peraturan Provinsi Aceh yang penulis lakukan, telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk dapat menerapkan konsep zakat sebagai pengurang pajak penghasilan sesuai Pasal 192 UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA).
Penerimaan zakat di Aceh merupakan bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sesuai dengan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 yang merupakan aturan pelaksanaan dari pasal 180 ayat (1) huruf (d) dan pasal 191 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintah Aceh.
Di dalam pasal 97 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 kembali ditegaskan bahwasanya zakat dan/atau infak merupakan sumber Penerimaan Asli Aceh (PAA) khusus yang pemungutan dan penyalurannya dikelola ole BMA, dan sumber Penerimaan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota Khusus yang pemungutan dan pengelolaannya diatur oleh BMK.
Masyarakat Aceh sampai saat ini belum dapat memanfaatkan zakat sebagai pengurang pajak seperti yang diamanatkan pada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 karena ketidakselarasan dengan aturan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, hanya sedikit dari masyarakat yang memanfaatkan dan melaporkan zakat sebagai pengurang pajaknya dalam SPT Tahunan Wajib Pajak.
Berdasarkan data pada Baitul Mal Aceh pada tahun 2018, terdapat 118.275 muzaki yang membayarkan zakat.
Sedangkan yang melaporkan pembayaran zakat pada SPT hanya 916 muzaki atau 0,77 Persen dari total muzaki yang membayarkan zakat melalui BMA dan BMK.
Dan setiap tahunnya pembayaran pajak dan zakat cenderung mengalami peningkatan, tetapi karena tidak memberikan dampak yang signifikan Wajib Pajak tidak melaporkan pada SPT Tahunan dan tidak memanfaatkan zakat sebagai pengurang pajak.
Pendapatan zakat akan masuk dalam kas daerah di Aceh dan terhitung sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan akan berdampak positif baik bagi Aceh.
Baca juga: Pemko Banda Aceh akan Tindak Wajib Pajak Jika Tunggak PAD