Kupi Beungoh

Ironi Negeri Syariat: Kemiskinan, Pengangguran, Ketidakadilan, hingga Pelecehan Seksual

Penerapan syariat Islam sejatinya ditujukan agar berbagai problem dalam masyarakat dapat diatasi (dengan pendekatan Islam), tapi bagaimana realitanya?

Editor: Amirullah
For Serambinews
Mursal Maherul, Sarjana dari Universitas Indonesia dan short course di Wesleyan University, Amerika Serikat. 

Oleh: Mursal Maherul*)

Penerapan syariat Islam sejatinya ditujukan agar berbagai problem dalam masyarakat dapat diatasi (dengan pendekatan Islam), tapi bagaimana realitanya?

Sejak tahun 1999, Aceh ditasbihkan sebagai daerah istimewa dengan otonomi menjalankan syariat Islam dalam kehidupan masyarakatnya.

Syariat Islam dimanifestasikan dalam berbagai aturan formil (qanun). Berbagai qanun tentang syariat Islam disusun, seperti Qanun tentang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun Jinayat, hingga Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS).

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, berbagai produk hukum dan implementasi syariat Islam sejauh ini di Aceh, apakah dapat mengatasi berbagai problem menohok dalam masyarakat?

Baca juga: Apresiasi Ketua NasDem Aceh yang Berani Mengaku Khilaf, Syech Fadhil: Syariat Islam Harus Diperkuat

Faktanya, Aceh langganan provinsi termiskin di Sumatera

Pada tahun 2002, Aceh dinobatkan menjadi provinsi termiskin di sumatera. Rekor ini ternyata berhasil kita pertahankan dari tahun ke tahun.

Persentase kemiskinan di Aceh hampir tidak pernah di bawah 10 persen. Ya, selalu di atas 10 persen dan angkanya jauh berada di atas rata-rata persentase kemiskinan secara nasional.

Padahal, Aceh selalu di klaim memiliki potensi sumber daya alam melimpah. Mulai dari gas alam, minyak bumi, perkebunan, pertanian, perikanan, dan lain-lain.

Alih-alih memperbaiki tata kelola pengelolaan SDA, menyusun roadmap (peta jalan) ekonomi, atau memperbaiki kualitas SDM, Pemerintah Aceh dan DPRA (didukung oleh ulama, tentunya) justru membentuk Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS).

Katanya, problem ekonomi dan kemiskinan di Aceh disebabkan oleh bank-bank konvensional.

Padahal, kehadiran banyak lembaga keuangan (baik itu konvensional atau syariah) justru meningkatkan gairah ekonomi di suatu daerah.

Masyarakat dapat memiliki banyak pilihan, UMKM juga dapat tumbuh dengan kredit usaha yang produktif dan multi-skema.

Namun, kini, masyarakat Aceh tidak punya pilihan lain selain Bank Syariah Indonesia (BSI) yang pengelolaannya masih buruk, sistem e-banking yang sering bermasalah, dan produk kredit yang belum maksimal.

Atau, second option-nya adalah Bank Aceh yang jauh lebih buruk.

Baca juga: Pelaku Maisir Dicambuk, Pemkab Berharap Abdya Terbebas dari Maksiat dan Pelanggaran Syariat Islam

Tak hanya itu, kita juga lelah mengantri panjang di bank dan ATM

Selain kaitannya dengan persoalan ekonomi mikro dan makro, hengkangnya bank-bank konvensional di Aceh telah memantik hal yang paling sensitif dari masyarakat, yaitu kesabaran.

Jumlah ATM BSI dan Bank Aceh yang masih sedikit membuat masyarakat harus antri bermenit-menit jika ingin menarik atau menyetor uang di ATM.

Apalagi ketika datang ke bank, untuk layanan teller saja harus menghabiskan waktu sekitar 1 - 2 jam, untuk layanan customer service? Sekitar 2 - 3 jam.

Dan hal yang cukup menggelitik adalah, pelayanan di bank syariah ini ternyata kalah ramah dengan pelayanan di bank konvensional seperti BCA.

Ada yang bilang begini, tidak fair menyalahkan bank syariah karena mereka baru saja merger dari BNI Syariah, BRI Syariah, dan Mandiri Syariah.

Sistemnya sedang dalam tahap penyusunan dan peningkatan. Lantas, sampai kapan kita harus menunggu?

Sampai kemiskinan terus meningkat, pengangguran makin banyak, dan gairah usaha makin lemah karena lembaga keuangan di Aceh tidak optimal?

Baca juga: Tokoh Buddha dan Kristen di Langsa Akui Syariat Islam Sangat Bagus

Anak muda Aceh sulit cari kerja, mana qanun yang mampu menjawab masalah ini?

Di tahun 2022 ini, pengangguran terbuka di Aceh mencapai 5,97 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan persentase pengangguran terbuka secara nasional di angka 5,83 persen.

Pertanyaannya sama, mengapa pengangguran di Aceh tinggi di tengah potensi SDA yang melimpah?

Terlebih lagi, Aceh memiliki triliunan data Otsus, seperti apa alokasi dana Otsus untuk mengatasi problem pengangguran di Aceh? Sepertinya nihil.

Dengan keistimewaan Pemerintah Aceh dan DPRA dalam membuat qanun, seharusnya dihadirkan suatu qanun yang mampu menyelesaikan problem pengangguran ini.

Misal, qanun tentang pemberdayaan pemuda dan akselerasi keahlian atau qanun tentang ekosistem ekonomi kreatif dan digital berbasis syariat.

Tapi, kelihatannya Pemerintah dan DPRA lebih senang membahas qanun poligami ketimbang qanun-qanun yang progresif dan solutif.

Satu hal lagi, problem pengangguran dan sulitnya lapangan kerja tidak dapat dilepaskan dari rendahnya investasi di Aceh.

Industri-industri besar yang mampu menyerap banyak tenaga kerja sangat sedikit jumlahnya di Aceh.

Kita tidak dapat menutup mata bahwa rendahnya minat investor untuk berinvestasi di Aceh disebabkan oleh adanya anggapan bahwa Aceh tidak kondusif, kualitas SDM-nya rendah, hingga adanya aturan yang konservatif.

Dalam penegakan syariat, masih terjadi tebang pilih

Tentu sudah menjadi rahasia umum, penegakan syariat di Aceh dilakukan secara tebang pilih. Pemuda dan pemudi miskin yang berzina di kos selalu nahas kena grebek, namun para pejabat, keluarga pejabat, atau mereka yang ‘berduit’ dan punya privilese untuk ‘esek-esek’ di hotel mewah sangat jarang dilirik oleh polisi syariah. Kendati pun ditangkap, biasanya jarang diproses sampai ke pengadilan.

Atau, salah satu kasus yang cukup menggelitik dan mendapat perhatian dari banyak pihak (khususnya pihak luar Aceh) adalah ketika mantan Gubernur Irwandi Yusuf dan mantan Bupati Bener Meriah Ahmadi ditangkap KPK dalam kasus korupsi.

Orang-orang dari luar Aceh bertanya, Aceh kan daerah syariat? Kok bisa pejabatnya korupsi? Kalau korupsi hukumnya cambuk dong? Atau potong tangan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu relevan mengingat Aceh mengklaim diri sebagai ‘daerah syariat’ ‘serambi mekkah’ ‘daerah suci’ dan lain sebagainya.

Namun ironis, hukum syariat di Aceh hanya mengatur persoalan privat masyarakat (itu pun seringkali hanya menyasar masyarakat miskin). Namun, tidak punya suatu aturan atau sistem bagi perilaku korup pejabatnya.

Lebih miris lagi, dalam kasus kekerasan seksual, Qanun Jinayat sangat tidak berperspektif korban

Coba bayangkan, seorang perempuan yang menjadi korban pemerkosaan, direnggut harkat dan martabatnya, lalu harus menjalani hukuman cambuk karena dipersangkakan dalam kasus perzinahan?

Ya, itu terjadi di Aceh dan Qanun Jinayat adalah biangnya.

Hal tersebut dialami seorang perempuan di Langsa pada 2014 lalu. Awalnya ia digrebek oleh delapan pemuda karena sedang berduaan dengan seorang pria di rumahnya.

Lalu, delapan pemuda yang menggrebeknya malah memperkosa perempuan tersebut.

Tanpa ada rehabilitasi dan pemulihan trauma yang komprehensif, perempuan tersebut malah dijatuhi hukuman cambuk sesuai Qanun Jinayat. Sementara, delapan pemuda pemerkosa malah dijatuhi hukuman sesuai KUHP.

Berbicara mengenai pemerkosaan dan pelecehan seksual, Qanun Jinayat sebenarnya mengatur tentang hukuman bagi pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual.

Hukumannya berupa cambuk, denda emas, atau penjara. Penggunaan kalimat ‘atau’ secara hukum dapat ditafsirkan ‘pilih salah satu’.

Dalam pelaksanaannya, hukuman yang kerap kali  dijatuhkan bagi pelaku adalah hukuman cambuk. Tak jarang dari mereka lolos dari hukuman karena Mahkamah Syari’ah mengklaim tidak cukup bukti dan berbagai alasan lainnya.

Nurani sebagian orang pasti tertegun, pantaskah pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual yang telah merusak harkat dan martabat korban (tak jarang korbannya adalah anak di bawah umur), namun hanya dijatuhi hukuman cambuk?

Masa depan korban terenggut, sementara pelaku hanya merasakan sakit fisik akibat cambuk yang bisa sembuh dalam 1 - 2 bulan.

Jika kita memiliki hasrat keadilan dalam nurani, sudah sepantasnya hal seperti ini kita refleksikan.

Jika di tarik benang merah dari berbagai problem di atas, penyebab ketertinggalan Aceh hari ini harus dilihat secara multidimensi.

Fokus Pemerintah, DPRA, dan pemangku kepentingan lainnya di Aceh harus mulai dilebarkan. Jangan hanya mengurusi moral masyarakat melalui syariat Islam atau membuat produk-produk hukum yang tidak jelas output-nya.

Namun, diperlukan sesuatu yang lebih komprehensif.

Kita juga memerlukan lebih banyak orang-orang hebat dan teknokrat yang mampu berpikir secara teknis, komprehensif, dan mampu menyusun sebuah rencana jangka panjang untuk kemajuan Aceh.

Kita sudah jengah dengan politisi dan pejabat-pejabat yang yang minim ide, korup, suka mempolitisasi agama, dan ujung-ujungnya selalu berlindung dibalik dialektika agama.

*)Penulis adalah seorang pemuda yang peduli terhadap masa depan Aceh. Sarjana dari Universitas Indonesia dan short course di Wesleyan University, Amerika Serikat.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved