KupiI beungoh

Literasi Basa-Basi

Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2002, seperti dilansir antaranews.com, tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia berada pada angka.....

Dok Pribadi
Khairil Miswar adalah Penulis buku Habis Sesat Terbitlah Stres (2017) 

Oleh: Khairil Miswar *)

DALAM KBBI Kemdikbud (kbbi.kemdikbud.go.id), kata “literasi” dimaknai sebagai kemampuan menulis dan membaca.

Literasi juga didefinisikan sebagai kemampuan atau keterampilan dalam bidang tertentu.

Dengan menafikan pemaknaan soal kemampuan dan keterampilan yang sama sekali abstrak, kita akan mencoba melihat pemaknaan paling populer: menulis dan membaca yang kerap dipahami sebagai makna tunggal dari term literasi.

Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2002, seperti dilansir antaranews.com, tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia berada pada angka 59,52 dengan durasi baca 4-5 jam per minggu.

Sementara menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen.

Artinya, dalam 1000 orang, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Adapun menurut survei Program for International Student Assessment (PISA) pada 2019, Indonesia menempati peringkat 62 dari 70 negara.

Dengan kata lain, Indonesia berada pada posisi 10 negara terbawah dalam hal literasi.

Nah, jika di Indonesia saja minat baca demikian buruknya, bagaimana pula dengan Aceh?

Sejauh ini memang belum ada survei yang mencoba mengukur tingkat kepedulian orang Aceh terhadap aktivitas membaca yang merupakan satu bagian penting dalam kampanye literasi yang saban hari digaungkan.

Namun demikian, dalam konteks era milenial, pertumbuhan minat baca masyarakat Aceh secara sederhana dapat dilihat dari bagaimana cara mereka berkomentar di media sosial – yang telah menjelma sebagai miniatur peradaban kontemporer.

Ada netizen yang secara sigap membagikan link berita di akun medsosnya tanpa membaca isinya secara utuh dan lalu saling memaki di kolom komentar.

Ada pula komentator yang tak mau peduli dengan isi berita dan langsung saja berkomentar dengan semangat menyala-nyala yang diiringi dengan serangan emotikon ketawa-ketiwi.

Fenomena demikian sangat lazim dan bisa dilacak di hampir semua platform media sosial.

Kondisi ini diperparah dengan ulah sebagian media yang sengaja membuat judul “bombastis” sehingga para netizen kita pun terjebak pada judul yang dianggapnya sebagai substansi berita.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved