Kupi Beungoh

Menyoal Kerancuan Penataan Keistimewaan dan Implementasi Syariat Islam di Aceh

Aceh memiliki semangat untuk menjadi provinsi syariat Islam secara kaffah atau sempurna. Aceh berhak mengatur kehidupan bersyariah

Editor: Amirullah
For Serambinews
Syauqas Rahmatillah, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry 

Kalau dalam Kompleks Keistimewaan Aceh tidak ada sinkronisasi antara gedung atau kantor yang berada di sana dengan poin keistimewaan Aceh, maka bagaimana mungkin dapat dianggap serius para pihak yang bertanggung jawab untuk mewujudkan Aceh sebagai daerah istimewa?

Kerancuan Kandungan Qanun

Selain dari segi bangunan, penulis menemukan adanya Qanun Aceh yang terkesan kontradiktif, yaitu tentang Lembaga Keuangan Syariat.

Dalam Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam pasal 21 ayat 2 yang berbunyi: “Lembaga Keuangan Konvensional yang sudah beroperasi di Aceh harus membuka Unit Usaha Syariah (UUS).

Lalu dalam Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “Lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh berdasarkan prinsip syariat”.

Menurut penulis kedua qanun ini memiliki kontradiksi. Seperti yang kita ketahui bahwa qanun (aturan, undang-undang) tidak boleh memiliki kontradiksi antara satu dengan yang lainnya.

Dalam ayat 2 pasal 21 Qanun Pokok-pokok Syariat Islam dikatakan bahwa lembaga keuangan konvensional yang sudah beroperasi harus membuka unit usaha syariah di Aceh dan tidak ada perintah penutupan lembaga keuangan konvensional yang sudah beroperasi di Aceh artinya ada dua lembaga keuangan yang boleh beroperasi di Aceh, yang pertama adalah Lembaga Keuangan Syariah atau unit usaha syariah dan yang kedua adalah Lembaga Keuangan Konvensional.

Tetapi dalam pasal 2 ayat 1 Qanun LKS berbunyi lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh berdasarkan prinsip syariat.

Maka ini menjadi perdebatan karena bunyi dari ayat ini bisa dipahami sebagai perintah penutupan kepada lembaga keuangan konvensional di Aceh dan yang boleh beroperasi di Aceh hanya lembaga keuangan syariat. Bagi penulis ini adalah rancu dan perlu diluruskan.

Kerancuan Hukum Pidana

Selain qanun tentang Lembaga Keuangan Syariah, masih ada beberapa qanun yang menurut penulis harus dikaji ulang seperti qanun nomor 6 tahun 2014. Qanun tersebut hanya membahas tentang susila dan paling dominan tentang moral.

Seperti diketahui, Qanun Jinayat Provinsi Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Pidana hanya mengatur 10 pidana utama, seperti pemerkosaan, maisir (judi), khamar (miras), khalwat (pasangan bukan muhrim), ikhthilat (bermesraan/bercumbu), zina, pelecehan seksual, qadzaf (fitnah zina tanpa saksi minimal empat orang), liwatth (gay) dan musahaqah (lesbian).

Dari semua pidana Islam tersebut tidak terdapat pidana korupsi, perampokan, pencurian, penipuan dan pembunuhan di dalamnya. Kasus korupsi dan pencurian penulis rasa perlu menjadi prioritas dalam penyusunan qanun di Aceh.

Korupsi dan pencurian termasuk dalam ranah publik yang perlu segera diatur. Seseorang yang melakukan Tindakan korupsi atau mencuri maka menyebabkan kerugian pada orang lain, bahkan publik.

Jadi, setelah 20 tahun penerapan Syariat Islam berlaku di Aceh, maka adanya qanun-qanun yang mempunyai dampak publik perlu menjadi perhatian.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved