Opini
Modernisasi Maksiat
Maksiat seputar “selangkangan” semisal pelecehan seksual, perilaku mesum (khalwat), perkosaan, pelacuran, perzinaan dan tindakan asusila lainnya

Artinya, maksiat dalam bentuk korupsi yang dilakukan di masa lalu memang tidak separah hari ini.
Tetapi, jika yang dimaksud dengan maksiat adalah tindakan amoral yang berkaitan dengan “selangkangan,” maka hampir bisa dipastikan kasuskasus ini sebenarnya tidak meningkat tetapi masih lumayan stabil dan hanya berevolusi.
Artinya jika hendak dikomparasikan dengan maksiat berbentuk korupsi, kasus maksiat “selangkangan” ini sudah ada sejak dulu dan tidak ada penambahan yang signifikan.
Yang terjadi hannyalah pengulangan dengan aktor dan tempat berbeda.
Dua level maksiat Dilihat dari dampak, maksiat dapat dikategorikan ke dalam dua level.
Pertama, maksiat yang hanya berdampak kepada si pelaku dan korban secara personal.
Yang termasuk dalam maksiat kategori ini di antaranya adalah maksiat seputar “selangkangan” semisal pelecehan seksual, perilaku mesum (khalwat), perkosaan, pelacuran, perzinaan dan tindakan asusila lainnya yang daya rusaknya tidak berdampak secara luas.
Baca juga: Waled Husaini Turun ke Lokasi Prostitusi Online di Garot, Akhirnya Ruko Lokasi Maksiat Bisa Disegel
Tindakan-tindakan semacam ini memang masuk dalam kategori kejahatan dan sebagiannya sudah diatur dalam Qanun Jinayat.
Kedua, maksiat yang berdampak luas, baik terhadap stabilitas ekonomi, politik maupun hukum.
Di antara maksiat yang masuk dalam kategori ini adalah tindakan korupsi, suap, pungli, money politic, jual beli jabatan dan berbagai tindakan lainnya yang umumnya melibatkan para elite.
Berbeda dengan maksiat kategori pertama, maksiat model kedua ini memiliki daya rusak yang lebih dahsyat, tidak saja kepada pelaku, tapi kepada publik secara umum dan bahkan bisa mengancam masa depan negara.
Sayangnya, dalam konteks Aceh, maksiat semacam ini sama sekali tidak mendapat perhatian dari qanun-qanun Syariat Islam yang ada selama ini.
Kondisi ini terjadi salah satunya disebabkan masih parsialnya konsep Syariat Islam yang diterapkan di Aceh.
Selama dua puluh tahun formalisasi Syariat Islam di Aceh, para elite dan intelektual kita masih terkesan asyik dengan qanunisasi maksiat- maksiat seputar “selangkangan” yang pelakunya didominasi oleh masyarakat “kelas bawah".
Sementara maksiat yang melibatkan para elite dan memiliki daya rusak luas justru kurang mendapat perhatian.