Jurnalisme Warga

Kisah Pak Edi dan Kelas Literasi di SMAN 1 Meureudu

Pak Edi saya tahu novelis-novelis top Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Eka Kurniawan, dan lainnya

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Kisah Pak Edi dan Kelas Literasi di SMAN 1 Meureudu
FOR SERAMBINEWS.COM
MISNA HAYATI,  Siswa Kelas XII SMAN 1 Meureudu, melaporkan dari Pidie Jaya

Kalau kurang, kami bisa mencari sendiri di Google.

Ada begitu banyak resensi yang dapat kami tiru di internet.

Sambil tersenyum beliau menjelaskan bahwa istilah tiru mungkin sama dengan epigon.

Baca juga: Menulis Menjadi Keterampilan Dasar di Industri Kreatif

Kecuali kalau kami utuh karya orang atau sebagian besar karya orang, itu bukan epigon lagi namanya, tapi plagiat alias pencuri intelektual.

Copy of master Setelah duta literasi diumumkan selepas upacara bendera, 20 pengumpul resensi dari 47 siswa yang mengumpulkan resensi dihimpun di satu ruang.

Kami buat grup WA dan kami belajar tatap muka siang menjelas sore seminggu sekali di sekolah.

Kami sepakat untuk belajar esai (berharap dapat dimuat di Jurnalisme Warga Serambi), cerpen, dan puisi.

Untuk ketiga genre tersebut, Pak Edi mengenalkan kami dengan teknik ‘copy of master’ atau belajar dari contoh terbaik atau yang sudah dimuat.

Trik ini diperkenalkan oleh Ismail Marahimin, Dosen UI yang mencetak penulis-penulis seperti Helvy Thiana Rosa, Linda Christanty, Yanusa Nugroho, dan lainnya.

Untuk genre esai, misalnya, kami disuruh Pak Edi membaca sejumlah Jurnalisme Warga (JW) yang topiknya tak jauh dari kemampuan berpikir kami sebagai seorang siswa SMA.

Apakah topik kuliner atau topik destinasi wisata terbaru yang ditulis banyak penulis JW.

Esai adalah tulisan sederhana yang membahas apa saja, tapi mengandung unsur subjektivitas atau sudut pandang masing-masing orang.

Begitu juga jenis karya sastra cerpen.

Kami diminta Pak Edi membaca sejumlah cerpen yang ada di Ruangsastra.com di internet.

Di samping membaca, kami juga dianjurkan membeli buku tulis tebal dan menulis catatan harian.

Semua keterampilan, kata Pak Edi, dapat dikuasai.

Asalkan menggunakan asas: alah bisa karena biasa.

Nah, untuk memiliki keterampilan juga dapat menggunakan asas tersebut.

Kemudian beliau meminta kami berlatih menulis deskripsi, penggambaran tokoh, latar cerita, alur cerita, dan menulis menggunakan sudut pandang orang pertama dan orang ketiga.

Buku menulis cerpen (dan novel) yang kami dijadikan rujukan adalah buku “Berguru kepada Sastrawan Dunia” karya Josip Novakovich dan “Creative Writing” karya AS Laksana.

Mengenai puisi, saya agak bingung.

Beliau ajukan contoh proses kreatif seperti Prof.

Sapardi Djoko Damono menulis puisi.

Menulis puisi dengan hati kemudian menyimpannya.

Besok atau besok- besoknya melihat kembali puisi yang ditulis dengan hati atau dengan perasaan tersebut.

Kalau dirasa sudah keren, dikirim ke media.

Kalau ada yang perlu diperbaiki sedikit, diperbaiki.

Pokoknya, kata Pak Edi, menulis itu pekerjaan sunyi.

Kalau kami tak ingin menulis apa pun, jangan ditulis.

Namun, untuk catatan harian, kami wajib menulis, minimal satu hari satu halaman.

Sebab, kata Pak Edi, kalau ingin jadi penulis caranya adalah menulis, menulis, dan menulis. (*)

Baca juga: Ayo Daftar! Lomba Menulis Milenial Merdeka Bersama Nasir Djamil Berhadiah Rp10 Juta

Baca juga: Sivia Menulis Sepenuh Hati di Single Suara

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved