Opini

Dari Cot Seurani ke Visi Perdamaian Abadi

Pasca runtuhnya tembok Berlin, beliau pernah diminta aktif meneliti prospek ekspansi Uni Eropa ke Eropa Timur dan menjelajah wilayah Eurasia

Editor: bakri
Dok Pribadi
Prof Dr APRIDAR SE MSi, Guru Besar Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh 

OLEH Prof Dr APRIDAR SE MSi, Guru Besar Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

BELUM lama ini kami menerima surat dari Prof Dr Dr mult Winfried Boettcher dari Universitas RWTH Aachen, salah satu universitas dari sembilan universitas terbaik di Jerman, tentang surat dukungan ke civitas kampus kami dan akademis relevan di Asia Tenggara, agar kami siap mengembangkan seksi khusus tentang "European studies" dengan aneka subdisiplinnya, seperti lingkup ekonomi, hukum, hubungan International, politik, sosial-budaya, sejarah dan elemen interdisipliner lainnya, sesuai kompetensi para ahli yang tersedia.

Lembaran Surat ini sekaligus mengharapkan, agar kami mendukung program mulia salah satu muridnya yakni Polyhistor Mai Dar, Dr mult cd Postgr Dpl SS.

Mai Dar pernah membuat tesis filsafat politik tentang misi visioner perdamaian abadi ala Eropa di Aceh Sumatra, bertajuk "Entwicklungsdynamik EU-ASEAN: Von Kant's Theorem des demokratischen Friedens zur europaeschen Friedensmission in Suedostasien" yaitu Dinamika pembangunan UE-ASEAN: Dari teorema perdamaian demokratis Kant hingga misi pemeliharaan perdamaian Eropa di Asia Tenggara yang berada dibawah supervisi Professor Boettcher, dan mendapat predikat istimewa pada 2008 di kampus Universitas Teknik di Rusia, Kota Kaliningrad (bekas wilayah Jerman bernama Koenigsberg), wilayah di Laut Baltik, yang dulu dianeksasi oleh Soviet setelah Jerman kalah dalam Perang Dunia Kedua, dan kini menjadi enklav wilayah Federasi Rusia Raya.

Putra Pase yang juga mantan dosen Universitas Indonesia (UI) serta peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut hijrah ke Eropa sambil menyelesaikan Pendidikan doktoral dengan beasiswa DAAD Pemerintah Jerman.

Pasca runtuhnya tembok Berlin, beliau pernah diminta aktif meneliti prospek ekspansi Uni Eropa ke Eropa Timur dan menjelajah wilayah Eurasia sampai Asia Pasifik.

Tahun 2013 beliau mendapat grantifikasi dari Uni Eropa untuk wilayah Baltik sebagai "Visiting Staff/Professor", sambil mempromosikan visi falsafah fenomenologis ala Husserlian (Edmund Husserl) dan visi perdamaian abadi ala Kantian, yang dikembangkan oleh Immanuel Kant (1724-1804), seorang filsuf pelopor filsafat perdamaian abadi ala Kantian yang terkenal dengan diktum "Zum ewigen Frieden" (Perpetual Peace/ Perdamaian Abadi).

Obsesi mengaplikasikan teori Kntian buat pendekatan solusi perdamaian Aceh Sumatra, telah dirintis oleh Polyhistor Mai Dar sejak awal kedatangannya di Eropa, sambil membina kelompok diskusi Aceh Sumatra Haus (ASH), bersama para mahasiswa Aceh lainnya di Eropa.

Dengan konsep "teori cum praxis ala Kantian" yaitu pendekatan problematika Aceh Sumatra, berhasil mendapat atensi akademis dari kampus Universitas Marburg, khususnya Prof.Roepke dan Prof.Wagner dari Pusat Kajian Konflik, yang kemudian disupport oleh Rektor Universitas Marburg, Prof.Nienhaus.

Sejak itu diskursus perdamaian di Aceh mulai diagendakan, dengan sponsor VW Stiftung, dll.

Klimaks dari upaya Polyhtr.Mai Dar dan team e-TC (e- Transfer Corner) pimpinannya, bermuara pada konklusi akademis via konferensi perdamaian Aceh Sumatra yang saripatinya dimuat terbuka buat publik Eropa, seperti laporan khusus media "Oberhessische Presse" di Jerman pada tahun 2007.

Setelah wacana pasifikasi Aceh Sumatra oleh kaum akademis Jerman dan Eropa yang dipimpin Polyhtr.

Baca juga: Profesor Universitas Al-Azhar Dicalonkan Sebagai Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2023

Baca juga: Anies ke Aceh: Perdamaian Ditandai Hadirnya Rasa Keadilan Sosial, Bukan Sekadar Tiada Konflik

Mai Dar di Marburg, tidak ada lagi kelanjutan aktivitas visionernya, sampai kemudian kami mengirim delegasi akademis beberapa kali ke Eropa, agar meminta dia dan tim akademis lainnya, untuk siap memberikan pencerahan, khususnya pendekatan teoritis dan metodologis.

Titik balik terjadi, ketika kami menerima surat dari Professor Boettcher di atas, yang intinya, siap merekomendasi kami, agar mendukung konsep Polyhtr Mai Dar yang telah lama berkecimpung dengan referensi "European studies" dan siap mengaplikasikan pendekatan komparatif nantinya.

Akhirnya kami mulai berkoordinasi agar terbina networking kampus, mulai dari ujung Sumatra sampai wilayah sekitarnya, dengan supervisi kurikulum yang dibantu oleh Professor Boettcher.

Professor Boettcher menyadari, bahwa urgensi kajian studi interdisipliner tentang Eropa di Asia Tenggara khususnya, bukan hanya karena ada relasi historis yang panjang antara dua benua, tapi karena pada tahun ini, khususnya pada bulan November 2022, terjadi aneka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) para pimpinan besar ekonomi dunia, seperti KTT ASEAN di Kamboja, KTT G20 di Indonesia (Bali) dan KTT APEC di Thailand.

Yang lebih vital lagi, menurut Prof Boetcher adalah, kali ini Indonesia menjadi tuan rumah KTT G20 yang sekaligus menjadi harapan dalam upaya mencari solusi krisis ekonomi global pasca pandemi dan konflik regional yang berdampak pada krisis global, yakni Perang Rusia- Ukraina.

Proffessor Boettcher, sebagai ilmuan politik dan hubungan international kawakan yang banyak mendapat penghargaan antarnegara, ikut menghadiahkan beberapa buku aktual kepada kami, yang dirangkum oleh Polyhtr Mai Dar buat referensi mahasiswa di kampus kami, seperti buku bertajuk "Europa 2020: Von der Krise zur Utopie" (Eropa 2020: Dari Krisis ke Utopi, 2020), "Russland-Die Ukraine- Der Westen" (Rusia-Ukraina- Barat, 2022) dan referensi relevan lainnya.

Dari rangkumannya, jelas terlihat, bahwa dalam sejarah, wilayah konflik tersebut pernah menjadi bagian dari situs kaum muslim, setelah ekspansi Turki Usmani ke sana.

Anehnya, kepedulian kaum muslim terhadap sejarahnya di Eropa dan Eurasia, termasuk arah jalur Sutra, tidak pernah menjadi atensi generasinya.

Di pihak pemerintahan, juga banyak yang menyayangkan, ketika memantau tentang lemahnya visi dan strategi dari tim pihak Indonesia dalam memegang mandat G20, sehingga Indonesia yang dipercaya masyarakat dunia, belum mampu memberi peran aktif dalam kancah internasional masa kini.

Ironinya jika direfleksi dengan peranan generasi sebelumnya yang begitu dominan seperti via barisan non-blok dulu, di mana peran Indonesia memiliki pengaruh visioner yang signifikan terhadap perdamaian di mata dunia.

Dalam publikasi aktualnya, Profesor Boettcher mencoba memberikan solusi yang bermartabat kepada semua pihak yang bertikai agar siap berdamai, sesuai visi ala Kantian, yakni visi filsuf pencerahan perdamaian abadi dunia abad ke-18 asal Koenigbesberg (Prusia/Jerman).

Melihat situasi krisis dan konflik yang belum ada solusinya ini, beliau merespons motto Polyhistor Mai Dar dengan formula "Si vis pacem, para visiones" (Jika menginginkan perdamaian, bersiaplah dengan wacana), yang aktif menjadi Pemred jurnal ilmiah EJIPIS (Eurasian Journal for International, Polemological & Interfaith Studies), agar kita mampu memberikan jembatan visioner ke kaum akademisi di wilayah Asia Tenggara yang kini mendapat mandat mempromosikan perdamaian antarbangsa, seperti Indonesia yang tahun ini menjadi tuan rumah KTT G20 di Bali.

Baca juga: Cegah Konflik Baru, Mahasiswa UIN Ar-Raniry Belajar ke Museum Memorial Perdamaian Kesbangpol Aceh

Momentum ini sangat relevan, seandainya ada kajian akademis yang interdisipliner dan mampu memberikan masukan ke para pimpinan politik di kawasan.

Seharusnya, konflik Rusia-Ukraina bisa aktif dipantau dan ikut melibatkan kaum muslim antarbangsa, karena wilayah konflik itu dulu pernah disirami peradaban islami ketika era Turki Usmani.

Jiwa patriot Putra Pase yang bergerak dari Cot Seurani ini mampu melahirkan berbagai konsep perdamaian yang hingga kini menjadi rujukan kajian hingga implementasinya dalam kehidupan masyarakat Eropa khususnya.

Derap Langkah perdamaian yang telah dirajut rapi dan kokoh oleh berbagai komponen masyarakat Aceh, seharusnya menjadi tugu abadi yang melekat dari daerah Serambi Makkah sebagai juru damai.

Pola pikir “mindset” masyarakat luar terhadap Aceh sebagai daerah konflik perlu dikubur dalam. (apridar@unsyiah.ac.id)

Baca juga: Diversi Gagal, Orangtua Korban Tolak Perdamaian, Kasus Pengeroyokan Anak oleh 11 Remaja Disidangkan

Baca juga: Presiden Rusia Telepon Raja Bahrain, Bahas Perdamaian Abadi

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved