Kupi Beungoh

Revisi Qanun Jinayat, Sudahkah Melindungi Korban?

Dorongan para pihak untuk merevisi Qanun jinayat muncul ketika terjadi kasus pemerkosaan dan maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak.

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
Dr iur Chairul Fahmi MA, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Oleh : Dr iur Chairul Fahmi MA
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM - Qanun No 6 Tahun 2014 tentang Jinayat (Pidana) kembali mendapat sorotan dari berbagai kalangan.

Atas desakan sejumlah organisasi peduli HAM, Perempuan dan Anak, akhirnya DPRA melalui Komisi 1 bidang Politik dan Hukum melalukan revisi terhadap qanun tersebut.

Sayangnya, proses revisi ini hanya fokus kepada hukum materil. Sebaliknya hukum formil (acara jinayat) tidak menjadi bagian dari proses legislatif review.  

Pertanyaannya, apakah hal tersebut akan menjawab masalah?

Dorongan para pihak untuk merevisi Qanun jinayat muncul ketika terjadi kasus pemerkosaan dan maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak.

Dalam kasus pemerkosaan terhadap anak, setidaknya terdapat dua kasus dimana Mahkamah Syariah (MS) membebaskan terdakwa dari ancaman uqubat, baik uqubat cambuk, denda maupun penjara.

Misalnya dalam kasus pemerkosaan oleh seorang paman terhadap anak usia 10 tahun yang terjadi dalam wilayah hukum Aceh Besar.

Sebenarnya Majelis hakim MS Jantho berdasarkan keputusan Nomor 22/JN/2020/MS.Jth tanggal 30 Maret 2021 telah menetapkan hukuman 200 bulan penjara dipotong masa tahanan bagi terdakwa.

Namun putusan MS Jantho ini dianulir oleh MS Aceh.

Melalui Putusan Nomor 7/JN/2021/MS.Aceh tanggal 27 Mei 2021, majelis hakim tingkat banding ini berpendapat bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan jarimah pemerkosaan terhadap korban, sehingga terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

Dasar pertimbangan mejelis hakim menyatakan bahwa pengakuan korban pada persidangan banding tidak memenuhi syarat formil sesuai dengan ketentuan Pasal 162 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.

Pasal ini menyatakan "Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada Terdakwa maupun kepada Saksi".

Dalam pemeriksaan, korban memberikan keterangan atas pertanyaan-pertanyaan yang mengarah, dan dijawab dengan bahasa isyarat berupa anggukan dan gelengan kepala.

Anggukan dan gelengan kepala oleh saksi yaitu seorang anak yang korban tersebut, menurut majelis hakim diterjemahkan secara subjektif dalam Berita Acara Sidang (BAP).

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved