Kupi Beungoh
Revisi Qanun Jinayat, Sudahkah Melindungi Korban?
Dorongan para pihak untuk merevisi Qanun jinayat muncul ketika terjadi kasus pemerkosaan dan maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak.
Sehingga majelis MS tingkat banding berpendapat bahwa keterangan saksi korban tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti saksi, karena anak korban bukan seorang tuna wicara dan atau bukan tunarungu.
Disamping itu, MS Aceh menilai pertanyaan-pertanyaan majelis hakim tingkat pertama telah menggiring pertanyaan yang bertentangan dengan pasal 162 Qanun Aceh No.7 Tahun 2013 tentang Acara Jinayat.
Akibatnya, majelis hakim MS Aceh membebaskan terdakwa kerena tidak terpenuhi unsur formil dalam penegakan jarimah perkosaan tersebut.
Keputusan majelis hakim ini dinilai oleh sejumlah pihak tidak berkeadilan dan tidak memihak kepada korban, sebaliknya melindungi para predator anak.
Sehingga berbagai desakan agar Qanun Jinayat untuk direvisi?
Pertanyaannya, relevankah merevisi Qanun Jinayat (hukum materil) tapi tidak mengevaluasi norma-norma Qanun Acara Jinayat (hukum formil)?
Menurut penulis, merevisi qanun Jinayat penting.
Namun memperkuat qanun acara jinayat jauh lebih penting, agar kasus pemerkosaan terhadap anak tidak diabaikan penghukumannya hanya karena jawaban korban jika dapat menjelaskan kasus yang menimpanya seperti halnya penjelasan orang dewasa.
Merujuk kepada kasus di atas, keadilan prosedural telah mengabaikan keadilan subtantif.
Artinya, keadilan terhadap korban tereliminasi akibat tidak terpenuhinya, atau tafsir norma hukum acara oleh majelis hakim yang mengganggap tidak terpenuhi unsur kesaksian yang dapat dipercayai.
Maka sudah sepatutnya, jika ingin memperkuat serta melindungi korban (anak), maka baik materil dan formil harus disempurnakan kembali, termasuk norma tentang kesaksian korban anak.
Namun demikian, terkait dengan upaya revisi hukum materil, keberadaan delik jarimah pemerkosaan selama ini, menunjukkan bahwa norma hukum Jinayat hanya berorientasi menghukum pelaku, sebaliknya bukan melindungi kepentingan korban.
Pada Pasal 50, terkait hukuman bagi pelaku yang korbannya anak-anak berbunyi:
"Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 terhadap anak diancam dengan "Uqubat Ta'zir cambuk paling sedikit 150 (seratus lima puluh) kali, paling banyak 200 (dua ratus) kali atau denda paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) gram emas murni, paling banyak 2.000 (dua ribu) gram emas murni atau penjara paling singkat 150 (seratus lima puluh) bulan, paling lama 200 (dua ratus) bulan".
Delik ini nyata bersifat alternatif, artinya hakim hanya dapat menjatuhkan satu jenis hukuman saja bagi pelaku, yaitu: hukuman cambuk atau denda atau penjara.