Kilas Balik Tsunami Aceh 2004
Detik-detik Gempa dan Tsunami Aceh 2004, Air Mata yang Tumpah di Pagi Minggu Penuh Duka
Detik-detik gempa dan tsunami Aceh 2004, air mata yang tumpah di pagi Minggu penuh duka akan diulas kembali dalam tulisan ini.
Penulis: Sara Masroni | Editor: Yeni Hardika
SERAMBINEWS.COM - Detik-detik gempa dan tsunami Aceh 2004, air mata yang tumpah di pagi Minggu penuh duka akan diulas kembali dalam tulisan berikut ini.
Diketahui gempa dan tsunami Aceh terjadi pada pagi Minggu, 26 Desember 2004 atau 18 tahun silam.
Awalnya gempa mahadahsyat berkekuatan 8,9 skala richter (SR) atau dalam versi lain ditulis magnitudo 9,3 mengguncang Aceh sekitar pukul 07.58 WIB.
Orang-orang berhamburan keluar rumah, bangunan yang menjulang tinggi sebagian roboh menyentuh tanah.
Baca juga: Jadi Penyintas Tsunami Aceh 2004, Begini Cerita Cut Meyriska Bisa Atasi Trauma Berkat Roger Danuarta
Guncangan sekuat itu dengan durasi 10 menit sudah menewaskan sebagian korban walau tsunami belum menyapu dataran tanah berjuluk Serambi Mekkah ini.
Gempa tersebut berpusat di Samudra Hindia pada kedalaman 10 kilometer di dasar laut tepatnya pada posisi 2,9 derajat Lintang Utara dan 96,6 derajat Bujur Timur.
Kemudian dalam hitungan menit, air laut memuntahkan gelombang raksasa dengan ketinggian yang berbeda-beda.
Puncak tertinggi yakni 34,5 meter di pantai Lhoknga, Aceh Besar sebagaimana tercatat dalam buku Tsunami Aceh Getarkan Dunia (2006:5) yang diterbitkan Serambi Indonesia dan Japan - Aceh Net.
Baca juga: Ini Kisah di Balik Lagu Rafly Kande Berjudul Aneuk Yatim & Ya Robbana, Viral Saat Tsunami Aceh 2004
Pulau Simeulue yang menjadi wilayah paling dekat dengan episentrum membutuhkan waktu 15 menit bagi tsunami naik ke daratan salah satu kabupaten di Aceh itu usai gempa.
Fenomena unik air surut pascagempa membuat sebagian masyarakat di daratan Aceh antusias pergi ke pantai mengumpulkan ikan yang tergeletak.
Padahal itu merupakan tanda-tanda tsunami yang belakangan diketahui oleh banyak orang.
Meski demikian, kala itu tidak diketahui oleh kebanyakan masyarakat di Aceh, hal yang berbeda dengan masyarakat di Pulau Simeulue.
Kearifan lokal melalui Nafi-Nafi Smong (cerita rakyat tentang tsunami 1907) membuat masyarakat sadar akan mitigasi dan peringatan dini bencana.