Kilas Balik Tsunami Aceh 2004
Kisah-Kisah Menakjubkan saat Tsunami Aceh 2004, Diselamatkan Ular hingga Bantuan Boat dari Buaya
Kisah-kisah menakjubkan saat tsunami Aceh 2004, mulai dari diselamatkan ular hingga bantuan boat dari buaya akan diulas kembali dalam tulisan berikut.
Penulis: Sara Masroni | Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM - Kisah-kisah menakjubkan saat tsunami Aceh 2004, mulai dari diselamatkan ular hingga bantuan boat dari buaya akan diulas kembali dalam tulisan berikut ini.
Gempa dan tsunami Aceh 2004 memberikan banyakan hikmah, baik untuk rakyat Aceh sendiri maupun warga dunia.
Beberapa di antaranya bila dilihat dari sudut pandang teologis, tsunami Aceh menyuguhkan kisah-kisah menakjubkan yang senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt bagi rakyat Aceh yang mayoritas muslim.
Mulai dari Masjid Baiturrahim Ulee Lheue yang berdiri kokoh saat bangunan di sekitarnya rata dengan tanah, hingga beberapa kisah lainnya yang akan diulas berikut ini.
Kisah Diselamatkan Ular saat Tsunami Aceh
Cerita diselamatkan ular saat tsunami Aceh 2004 mengisahkan kenangan yang terus diingat bagi korban sekeluarga ini.
Adalah Warnita Sari (48) istri dari M Nur yang merupakan korban tsunami. Kala itu mereka tinggal di Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar.
Baca juga: Detik-detik Gempa dan Tsunami Aceh 2004, Air Mata yang Tumpah di Pagi Minggu Penuh Duka
Diceritakan M Nur sebagaimana tercatat dalam buku Tsunami Aceh Getarkan Dunia (2006:198-202) yang diterbitkan Serambi Indonesia dan Japan - Aceh Net.
Pagi itu sang istri, Warnita menggendong anaknya yang paling kecil bernama Hafidz Aulia, tiba-tiba mendengar suara teriakan seorang pemuda yang mengendarai sepeda motor.
"Air laut naik, air laut naik. Cepat selamatkan diri," teriak pengendara motor tersebut.
Di tengah kebingungan, Warnita berteriak keras meminta dua adik sepupu yang kebetulan tinggal di rumah mereka untuk keluar.
Baca juga: Viral saat Tsunami Aceh 2004, Ini Kisah di Balik Lagu Rafly Kande Berjudul Aneuk Yatim & Ya Rabbana
Basri, salah satu sepupu keluar menggendong anak pertama, M Nowval sambil membawa piring nasi karena kondisinya sedang sarapan pagi.
Sementara sepupu yang satu lagi, Bakhtiar tidak juga keluar rumah.
"Karena terlalu lama menunggu di depan pagar rumah, istri saya dan Basri lari ke jalan belakang rumah," kenang M Nur.
Istrinya sempat berhenti sebentar di depan pintu pagar sebuah rumah besar dua tingkat dan meminta Basri segera menyelamatkan diri ke sana sebelum air laut menghantam.
Beberapa tetangga telah lari lebih dahulu ke rumah tersebut untuk menyelamatkan diri, tetapi Warnita dan Basari masih termangu tak tahu berbuat apa.
Baca juga: Ribuan Warga Nagan Raya Larut dalam Zikir Peringati Tsunami Aceh
Melihat gelombang air laut dengan ketinggian di atas pohon kelapa sedang menghantam sebuah rumah dengan suara menggelegar.
"Tanpa pikir panjang, dia (istri) langsung berusaha menyelamatkan diri berlari ke ujung jalan dekat rumah besar sambil menggendong Hafidz," ungkap M Nur.
Karena tak sempat lari lebih jauh akibat gelombang air laut yang terus berdiri tegak tanpa jatuh dan sangat kencang, Warnita memutuskan untuk berpegangan pada pagar sebuah rumah.
Sayangnya sang istri ikut dihantam tsunami, pagar yang dipegangnya terbawa air laut termasuk dirinya sendiri.
Hafidz si anak bungsu yang berada di gendongan istrinya lepas terbawa gelombang tsunami.
"Dia sempat memanggil istri saya terakhir kalinya, mama, mama. Setelah itu dia hilang di tengah derasnya gelombang air laut," kenang M Nur.
"Sebelum tsunami datang, pascagempa istri saya sempat menyuapkan nasib untuk kedua anak kami sebagai ungkapan rasa sayang terakhir kali," tambahnya.
Baca juga: Cerita Cut Meyriska Saat Tsunami Aceh 2004, Pulang Nebeng Truk Pengangkut Mayat
Singkat cerita, Warnita terombang ambing di tengah derasnya amukan gelombang tsunami dan terhantam oleh benda-benda seperti kusen dan sebagainya.
Sambil berusaha muncul ke permukaan dan memanggil-manggil kedua anaknya, sang istri terus berusaha sekuat tenaga menyelamatkan diri.
Warnita sempat mengira air sudah tenang dan mulai surut, namun ternyata ada gelombang kedua yang lebih dahsyat dan menggulung dirinya.
Pucuk daun kelapa yang dipegangnya tidak mampu menahan terjangan ombak, Warnita kembali tersengal-sengal dalam gulungan amukan tsunami.
"Istri saya timbul tenggelam beberapa kali dan tidak menemukan benda apa pun di atas permukaan air," kenang M Nur.
Baca juga: Kilas Balik Tsunami Aceh 2004 | Dahsyatnya Ombak Tsunami, Tiada Lagi Olele di Koetaradja
Saat berada dalam air dengan napas terakhir yang tersisa, istrinya hanya bisa berdoa agar diselamatkan.
Ketika muncul di permukaan dengan napas yang sudah tersengal-sengal, tiba-tiba di depannya ada kasur kecil dengan seekor ular di atasnya.
"Ular itu seperti sengaja memberikan kasur tersebut kepada istri saya," ungkap M Nur.
Tilam itu kemudian langsung dipeluk erat-erat oleh Warnita, tanpa ada perasaan takut sedikit pun akan adanya seekor ular.
Tanpa disangka, ular tersebut langsung pergi dan tidak terlihat lagi. Sedangkan tilam masih dipegang erat-erat oleh Warnita.
"Istri saya dan tilam itu berenang ke arah sebuah tumpukan kayu dan bahan bangunan yang sangat tinggi," ungkap M Nur.
"Istri saya memperkirakan, dia berjuang selama dua jam lebih dalam air dan sekitar pukul 11.00 WIB, dia baru merasa aman di rumah dua tingkat sekitaran Rukoh, Darussalam," tambahnya.
Dengan tertatih-tatih karena sekujur badannya terluka dihempas kayu, Warnita pergi ke Masjid Universitas Syiah Kuala (USK).
Baca juga: Kisah Teungku Sofyan Selamat dari Bencana Tsunami Aceh, Tergulung Ombak hingga Terkubur 7 Hari
Rasa haru dan kesedihan yang tak terkira, M Nur bertemu dengan sang istri pada hari itu sebelum azan magrib berkumandang di halaman masjid USK.
Keesokan harinya, mereka bertemu dengan adik sepupu bernama Bakhtiar, sedangkan Basri tidak ditemukan lagi.
Sementara kedua anak mereka, jenazah si bungsu Hafidz ditemukan di samping halaman Perpustakaan USK dan dikebumikan di kuburan massal.
Sedangkan si sulung Nowval tidak ditemukan hingga kini meski sudah dicari ke sejumlah rumah sakit hingga masuk ke kampung-kampung di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar.
Kisah Bantuan Boat dari Buaya
Sementara kisah lain datang dari Rita Mutia (45) dan sekeluarga yang mendapat bantuan tak disangka-sangka dari sekawanan buaya.
Saat tsunami tiba, ia bersama keluarga sudah berhasil lebih dulu menyelamatkan diri ke lantai atas salah seorang rumah tetangga yang kebetulan bertingkat.
Ada sekitar 27 orang yang berlindung di lantai atas rumah tersebut, kebanyakan di antara mereka yakni anak-anak dan perempuan.
Suara benda-benda keras yang terbawa air menghantam tembok rumah tersebut cukup membuat cemas.
Baca juga: Viral saat Tsunami Aceh 2004, Ini Kisah di Balik Lagu Rafly Kande Berjudul Aneuk Yatim & Ya Rabbana
"Permukaan air semakin naik, saya coba menenangkan hati bahwa ini bukan kiamat karena Imam Mahdi belum diturunkan, saya membantin," kenang Rita waktu itu sebagaimana ditulis Hilmi Hasballah dalam buku Tsunami Aceh Getarkan Dunia (2006) yang diterbitkan Serambi Indonesia dan Japan - Aceh Net.
Rumah terasa agak bergoyang karena hantaman benda keras, kemudian Lampulo seakan tak ada lagi dan berubah menjadi lautan pekat.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka ada yang menjerit bahwa ada bantuan datang.
"Kami berhamburan melihat dari depan di lantai atas, alhamdulillah ternyata ada sebuah boat datang," ungkap Rita.
"Saya pikir ini pasti misi bantuan, tapi anehnya boat tersebut tidak ada yang mengemudikan atau mengendalikan," tambahnya.
Boat tanpa pengemudi itu menabrak atap rumah yang berada beberapa meter dari tempat mereka berlindung.
Semua atap rumah terlihat mulai hanyut, kecemasan mereka yang berada di rumah lantai atas ini semakin menjadi-jadi.
Anak-anak tak henti-hentinya menangis dan mayat-mayat sekarat pun mulai kelihatan tanpa bisa ditolong melainkan hanya melihat dengan perasaan miris.
Tiba-tiba di samping bangunan tempat mereka berlindung, sebuah benda besar menubruk.
"Boat yang tadi melewati kami kembali lagi dan berlabuh di samping rumah tempat kami berlindung," ungkap Rita.
"Beberapa orang menarik bagian belakang boat itu ke samping rumah, sedangkan anjungannya tepat mengarah ke rumah tetangga di belakang rumah Pak Misbah yang juga mempunyai lantai atas," tambahnya.
Mereka naik ke boat karena pertimbangan takut rumah yang ditempati bakal rubuh akibat guncangan gempa dan benda-benda berat yang terus menubruk dibawa gelombang.
Selama lebih kurang empat jam dalam boat, mereka hanya mendapat minuman air mineral dan kelapa muda yang hanyut dibawa arus.
Permukaan air yang hitam pekat itu pun mulai surut. Diperkirakan waktu itu sudah hampir menjelang ashar.
Sambil menunggu air surut dan bala bantuan datang, akhirnya mulailah sebagian di antara mereka becerita.
"Sebagian di antara kami bercerita bahwa kedatangan boat ke dekat kami suatu hal yang aneh bin ajaib," ungkap Rita.
Dikatakan aneh, karena mereka yang berada di belakang rumah Pak Misbah menyaksikan dengan jelas pemandangan yang langka dan sulit diterima akal sehat.
"Bahwa boat tersebut ternyata ‘diantarkan’ oleh beberapa ekor buaya," ungkap Rita.
Baca juga: Enam Faktor Penyebab Terjadinya Tsunami
"Memang kami yang berlindung di rumah Pak Misbah tidak melihat pemandangan itu, karena boat itu datang dari arah belakang," tambah.
Tapi, secara logika tak mungkin rasanya boat tersebut mampir di samping rumah tempat mereka berlindung jika tidak ada kekuatan yang mendorongnya.
Hal itu mengingat arah datangnya boat justru berlawanan dengan arus kencang tsunami. Tapi, itulah mukjizat dan keajaiban.
"Boat yang semula sudah melewati kami karena diseret arus, tiba-tiba berbalik ke tempat kami, padahal saat itu gelombang tsunami belum surut atau arus belum berbalik ke laut," ungkap Rita.
"Akhirnya, di atas boat itulah kami selamat," pungkasnya.
(Serambinews.com/Sara Masroni)
BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS