Berita Nasional
Negara Akui Tragedi Simpang KKA Sebagai Pelanggaran HAM Berat, Begini Kisah Kelam Tahun 1999
Dari daftar 12 peristiwa pelanggaran HAM Berat masa lalu yang diakui Presiden Jokowi, 3 diantaranya terjadi di Aceh.
Penulis: Yeni Hardika | Editor: Muhammad Hadi
Negara Akui Tragedi Simpang KKA Sebagai Pelanggaran HAM Berat, Begini Kisah Kelam Tahun 1999
SERAMBINEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu (11/1/2023) telah mengakui secara resmi beberapa peristiwa masa lalu sebagai pelanggaran HAM berat.
Ada 12 peristiwa kelam di masa lalu yang diakui negara sebagai pelanggaran HAM Berat.
Dari daftar 12 peristiwa pelanggaran HAM Berat masa lalu yang diakui Presiden Jokowi, 3 diantaranya terjadi di Aceh.
Salah satu dari tiga persitiwa itu yakni Persitiwa Simpang KKA yang terjadi 23 tahun silam.
Lalu, bagaimanakah catatan kelam dari peristiwa Simpang KKA hingga masuk dalam daftar 12 peristiwa pelanggaran HAM Berat masa lalu yang diakui negara?
Simak catatan sejarah tragedi berdarah Simpang KKA yang dirangkum Serambinews.com berikut.
Baca juga: 12 Peristiwa Masa Lalu Akhirnya Diakui Negara Sebagai Pelanggaran HAM Berat, 3 Tragedi Ada di Aceh!
Peristiwa Simpang KKA
Peristiwa Simpang KKA merupakan sebuah tragedi kelam bagi masyarakat Aceh.
Dalam tragedi ini, puluhan nyawa masyarakat sipil melayang akibat imbas konflik Aceh kala itu.
Persitiwa Simpang KKA terjadi tepatnya di Simpang PT Kertas Kraft Aceh (KKA) , Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara yang terjadi pada hari Senin, 3 Mei 1999.
Melihat dokumen lawas yang pernah diterbitkan oleh Harian Serambi keesokannya usai persitiwa, Selasa 4 Mei 1999, berjudul "Lhokseumawe Banjir Darah, Puluhan Tewas Ditembak".

Ada banyak versi yang menyebutkan mengenai data jumlah korban jiwa akibat tragedi berdarah ini.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun tim Serambi ketika itu, ada yang menyebutkan tragedi itu menewaskan 19 korban.
Baca juga: Jokowi Sangat Menyesalkan 12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Terjadi di Masa Lalu, Berikut Daftarnya
Namun sumber lainnya menyatakan, ada 23 orang yang sempat didata identitasnya sebagai korban jiwa dalam tragedi itu.
Menurut keterangan masyarakat setempat, sulitnya pendataan jumlah korban juga disebabkan karena ada korban tewas ditempat yang langsung dibawa pulang ke rumah oleh keluarganya.
Wakil Koordinator Tim Pencari Fakta TPF Pemda Aceh Utara, TS Sani pada masa itu menghubungi Serambi mengatakan tambahan sebanyak 4 korban yang terdata di lembaga tersebut.

Sementara di Rumah Sakit Arun, berlokasi di Komplek Perumahan PT Arun NGL (Sekarang PT Perta Arun Gas), Batuphat Timur, Lhokseumawe, mendata 1 wanita dan 1 anak-anak masuk dalam daftar 11 orang yang tewas.
Hingga pukul 20.00 WIB, jumlah korban penembakan tercatat sebanyak 73 orang.
Di antaranya, 36 korban dilarikan ke RSU Lhokseumawe, 8 orang di RS PT AAF dan 29 orang di RS Arun.
Menurut keterangan masyarakat kala melukiskan peristiwa itu, tembakan senjata dimulai pukul 12.30 WIB yang berlangsung selama beberapa menit.
Setelah suara tembakan berhenti selama beberapa menit, kemudian terdengar kembali beberapa kali hingga pukul 13.30 WIB.
Riuhnya suara rentetan tembakan itu membuat warga di Pasar Krueng Geukueh yang tak jauh dari lokasi iti ketakutan dan menutup rapat pintu rumah dan toko mereka.
Baca juga: Mengenang 21 Tahun Tragedi Simpang KKA, Begini Kronologis Versi Catatan Serambi Hingga Rekaman Video
Berawal TNI Menyusup dan Ditangkap
Peristiwa berdarah yang masih menjadi trauma bagi masyarakat setempat berawal dari lokasi rapat besar Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Desa Cot Murong, Kabupaten Aceh Utara.
Di acara itu, disebut-sebut ada seorang anggota tentara Sersan Aditia dari Satuan Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) Peluru Kendali (Rudal) 001.
Dikatakan oleh masyarakat, Sersan Aditia ketika itu mengenakan seragam tentara dengan membawa pistol dan handy talky (HT) di tangannya menyusup di kerumunan warga.
Ia kemudian ditangkap oleh massa dan dilakukan interogasi sebelum kemudian dilepaskan kembali.
Namun informasi dari markas Arhanud, disampaikan bahwa Sersan Aditia belum juga kembali ke satuannya.
Kehilangan anggota itu membuat sejumlah anggota Arhanud melakukan pencarian sepanjang hari di Desa Cot Murong sebelum peristiwa berdarah terjadi, Minggu 2 Mei 1999.
Kabarnya, anggota melakukan tindak kasar terhadap penduduk saat melangsungkan pencariannya.
Berita pemukulan penduduk desa itu kemudian menyebar dari mulut ke mulut, hingga sampai ke desa sekitar.
Sebab kabar tersebut, massa kemudian berkumpul di Desa Cot Murong pada Minggu malam.
Sebagian lainnya berkumpul di Jalan Medan – Banda Aceh di kawasan Desa Cot Murong dan Paloh Lada hingga Senin 3 Mei 1999 siang.
Massa memeriksa setiap kendaraan yang lewat, termasuk wanita yang berjilbab.

Pemeriksaan yang dilakukan oleh massa menurut keterangan untuk mencari prajurit TNI yang hilang tersebut.
Jika ada TNI yang lewat akan diminta turun.
Tapi sejauh proses pencarian itu, belum ada yang ditemukan oleh warga.
Dilaporkan, kerumunan masyarakat semakin bertambah ramai hingga siang harinya.
Formasi kerumunan yang dibentuk pada saat itu ialah kaum wanita dan anak-anak di barisan depan.
Sedangkan segerombolan kaum pria berada dibelakangnya.
Penembakan Masyarakat Sipil
Pada pukul 11.00 WIB Senin (3/5/2020), terlihat enam truk yang mengangkut rombongan massa dilaporkan datang dan berkumpul di Lapangan Bola Kaki Krueng Geukueh.
Tepatnya persis di antara pabrik pupuk PT AAF dan PT PIM.
Rombongan itu bergabung dengan warga Krueng Geukueh sekitarnya hingga mencapai ribuan jumlahnya.
Mereka kemudian bergerak menuju simpang PT KKA, dan dihadang oleh pasukan tentara dari Yonif 113 yang sudah berada di sana.
Baca juga: 50 Korban Konflik Rumoh Geudong Pertanyakan Bansos KKR Aceh
Tidak terjadi bentrok antara masyarakat dan aparat yang menggendong senjata di bahunya kala itu.
Massa diminta bubar oleh satuan Yonif 113.
Saat dialog antar mereka sedang berlangsung, dari arah berlawanan muncul satu truk tentara dari satuan lainnya ke lokasi.
Menurut pengakuan warga, dari truk yang tiba tersebut muncul lemparan batu yang diarahkan ke masyarakat.
Beberapa massa kemudian memaki sambil membalas lemparan batu ke arah truk berisi tentara itu.
Masyarakat tidak mengenal identitas satuan tentara itu.
Namun mereka mengenal jelas truk militernya.
Tak lama, hujan puluhan tembakan dilepaskan oleh tentara ke arah massa melalui truk tersebut.
Massa ketika itu terlihat lari kucar-kacir menyelamatkan diri.
Namun suara dentuman tetap terdengar meski telah menjatuhkan banyak korban jiwa.
Di Jalanan Terdapat Banyak Rintangan
Akibat dari penembakan tersebut, seusai shalat Zuhur di Masjid Bujang Salim Krueng Geukueh, jamaah shalat tampak melihat rombongan wanita dan anak-anak berjalan tergesa.
Mereka datang dari arah barat Kota Krueng Geukueh sembari bertakbir.
Mereka kemudian masuk ke dalam masjid untuk berlindung.
Hingga pukul 13.10 WIB, dalam catatan dokumen Serambi dilaporkan terlihat asap mengepul seperti telah terjadi pembakaran di depan Koramil Dewantara.
Di waktu yang bersamaan, terpasang berbagai haling rintang di sepanjang jalan masuk menuju Keude Krueng Geukueh.
Termasuk jalan di dalam kawasan kota dan Jalan Banda Aceh-Medan yang dibarikade.
Mulai dari Pintu II jalan masuk PT PIM hingga ke sisi barat Krueng Geukueh.
Angkutan mobil pikap terlihat sekitar pukul 13.30 WIB menuju ke arah klinik PT PIM yang berada di jalan Nisam.
Raungan ambulans juga terdengar berpuluh kali dari arah timur menuju ke lokasi.
Keduanya mengangkut korban penembakan tragedy simpang KKA.
Seperti yang tertulis dalam dokumentasi Serambi tertanggal 4 Mei 1999, pasukan Gegana Polri tampak berdiri di depan pabrik PT PIM.
Namun kehadiran mereka kala itu hanya untuk menjaga kelancaran lalu lintas bagi ambulans dan kendaraan lain yang mengankut korban.
Pada Senin malam, situasi di kawasan industri Krueng Geukueh dan Lhokseumawe kembali tenang.
12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang diakui Negara
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Presiden mengakui adanya pelanggaran HAM setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (11/1/2023), dikutip dari Tribunnews.com.
“Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022,” katanya.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” katanya.
Sebelumnya negara belum pernah mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Presiden sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat tersebut.
Peristiwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM Berat di antaranya yakni:
1) Peristiwa 1965-1966,
2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,
3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989,
4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989,
5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
7) Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,
8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
9) Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999,
10) Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002,
11) Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan
12) Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Presiden menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban peristiwa tersebut.
Sebelumnya pada 29 Desember 2022, Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) yang dipimpin Makarim Wibisono menyarankan Presiden Joko Widodo mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam laporan akhir dan rekomendasi yang telah diserahkannya kepada Menko Polhukam RI Mahfud MD, kata Makarim, ada dua hal penting.
Pertama, soal laporan mengenai hasil kerja Tim PPHAM yang telah dikerjakan sesuai Keppres nomor 17 tahun 2022 tentang pembentukan Tim PPHAM. Laporan tersebut, pada pokoknya mengungkap dan memberi analisa pada pelanggaran HAM masa lalu.
Kedua, rekomendasi mengenai pemulihan korban.
Ketiga, rekomendasi agar masalah pelanggaran HAM tidak terjadi lagi di Indonesia.
Baca juga: Tragedi Rumoh Geudong Aceh 1989, Peristiwa Kelam yang Diakui Negara Sebagai Pelanggaran HAM Berat
Lebih jauh, Makarim menjelaskan inti dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan Tim PPHAM dengan korban, keluarga korban, pendamping, dan unsur LSM adalah mereka menginginkan negara mengakui kasus-kasus pelanggaran HAM berst tersebut.
Karena sampai sekarang, kata dia, tidak ada satupun pengakuan negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM.
Oleh karena itu, kata Makarim, mereka sangat mengharapkan adanya pengakuan dari negara bahwa telah terjadi peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut.
Ia berharap saran tersebut bisa diterima oleh pemerintah dan bisa dijadikan pegangan.
(Serambinews.com/Yeni Hardika)
BACA BERITA LAINNYA DI SINI
IKUTI KAMI DI GOOGLE NEWS
Jadi Kontroversi, Menkum Ungkap Motif Prabowo Beri Hasto Amnesti & Tom Lembong Abolisi |
![]() |
---|
Gibran Buka Suara Soal Amnesti Hasto & Abolisi Tom Lembong: Sudah Dikalkulasi Presiden |
![]() |
---|
Amnesti Hasto & Abolisi Tom Lembong, Pakar Hukum UI: Pelajaran Bagi Penegak Hukum |
![]() |
---|
Kejagung Terima Keppres Abolisi, Tom Lembong Juga Bebas Malam Ini |
![]() |
---|
KPK Terima Keppres Amnesti, Hasto Bebas Malam Ini |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.