Jurnalisme Warga

Kisah Pak Kalam yang Berprinsip “Kalau Mandi Sampai Basah”

Kadang-kadang lewat tengah malam beliau benamkan mukanya ke air dalam mangkok besar. Maka keluarlah benda-benda kecil semacam pasir kerikil.

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/tambeh.wordpress.com
T A SAKTI, penerima Kehati Award 2001 dari Yayasan Keanekaragaman Kehidupan Hayati Indonesia (Kehati) Jakarta, melaporkan dari Dusun Lamnyong, Gampong Rukoh, Darussalam, Banda Aceh 

Oleh T A SAKTI

Penerima Kehati Award 2001 dari Yayasan Keanekaragaman Kehidupan Hayati Indonesia (Kehati) Jakarta, melaporkan dari Dusun Lamnyong, Gampong Rukoh, Darussalam, Banda Aceh

KEGIATAN saya dalam melestarikan naskah lama Aceh lebih sederhana, tidak bertujuan muluk-muluk.

Manuskrip yang berhuruf Jawi atau Arab Melayu, sekadar sudah dilatinkan saya anggap memadai. Biarlah nanti--jika bernasib baik--apa yang telah saya kerjakan ditangani ulang oleh orang lain atau generasi mendatang.

Karena itu, saya selalu tidak mengubah “sejarah” dari suatu manuskrip, baik berupa catatan maupun jenis kertas yang dipakai, dan sebagainya. Pokoknya, harus “menyejarah”.

Beda halnya dengan apa yang dipraktikkan Pak Drs Mohd Kalam Daud MAg. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry yang multitalenta ini tidak mau “main” setengah-setengah, melainkan harus tuntas. ”

Meunyo manoe, manoe beubasah” (kalau mandi, mandi sampai basah). Akibatnya, tentu padah (jera), lelah, dan resah.

Kisah Bocah Asal Pidie Jaya Tempuh 160 KM Bopong Ayahnya Pakai Becak Tua ke Aceh Utara untuk Berobat

Dalam melestarikan naskah “Qanun Meukuta Alam”, Pak Kalam mengalami cobaan yang cukup berat. Hal itu disebabkan beliau terlalu mengharapkan suatu kegiatan yang lebih sempurna (perfect). Mulai saat itu saya sering mendengar "kisah sakit mata" dari Pak Kalam.

Mata memerah, perih, tak bisa membaca lama-lama, terasa ada benda halus dalam mata. Begitulah keluhan Pak Kalam, hingga kurang mampu lagi berkarya secara maksimal.

Kadang-kadang lewat tengah malam beliau benamkan mukanya ke air dalam mangkok besar. Maka keluarlah benda-benda kecil semacam pasir kerikil. Beragam obat pun selalu diteteskan pada kedua belah mata sepanjang tahun.

Walaupun beban derita begitu berat mendera beliau, tapi masih ada manusia yang bagaikan tak punya hati, yakni melenggang-menari di atas penderitaan orang lain.

Sampai hari ini, buku Qanun Meukuta Alam terus digandakan oleh orang tanpa izin dan sepengetahuan Pak Kalam. Iklan penjualan buku langka itu semarak di sejumlah Youtube.

Kisah Pria Kolombia 3 Kali Jadi Korban Salah Tangkap, Gegara Punya Nama Sama dengan Bandar Narkoba

Walaupun sudah demikian, Pak Kalam masih bertungkus lumus/amat bersungguh-sungguh dalam momodernkan Kitaburrahmah.

Agar naskah ini mudah dipahami para pembacanya, Pak Kalam dengan tegar membolak-balik Kamus Kesehatan, baik kamus bahasa Indonesia maupun bahasa Arab, kamus Munjid, misalnya.

Dalam Kitaburrahmah, banyak istilah dan bahasa yang kurang dikenal masyarakat, akibat manuskrip itu telah disadur Syekh Abbas Kuta Karang lebih 170 tahun lalu. Dalam hal ini Pak Kalam-lah yang memperjelasnya dengan memakai berbagai kamus di pustaka.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved