Kupi Beungoh

Aceh dan KPK

Narasi yang mempermalukan Aceh itu sudah kerap muncul dalam percakapan di medsos dan generasi millenial Aceh yang tidak bersentuhan dengan era konflik

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Risman Rachman, pemerhati politik dan pemerintahan. 

Beda dengan dulu, yang dapat mempengaruhi pemimpin di Pusat hanya pandangan atau pendapat para tokoh dan pakar yang dimuat di media setelah dipastikan ketokohan dan kepakaran seseorang oleh redaksi.

Kembali ke perlakuan Pusat yang berpotensi dibaca sebagai upaya mempermalukan Aceh.

Menurut saya bukan hanya perburuan KPK terhadap kasus-kasus yang masuk dalam kategori korupsi yang terjadi di masa transisi pascadamai Aceh, tapi juga tindakan-tindakan Pusat yang secara kebijakan sering menabrak semangat kesepahaman yang sudah dihasilkan melalui MoU Helsinki, yang turunannya berupa UUPA.

Persoalan implementasi kesepahaman damai yang lambat, tindak tuntas, kontra dengan MoU Helsinki, batal karena adanya regulasi baru tanpa konsultasi, bahkan beda tafsir jelas membuat pemimpin di Aceh kehilangan martabatnya di mata masyarakat.

Perdamaian ini dianggap tidak berguna karena apa yang sudah disepakati tidak dijalankan secara penuh.

Bayangkan, ekspektasi masyarakat terhadap perdamaian sangat besar berupa pemerintahan sendiri sehingga wujudlah kemajuan dimana siapapun berkesempatan untuk meraih penghidupan yang lebih baik dibanding hidup di era konflik.

Namun, ternyata dalam kenyataannya, harapan itu belum juga nyata.

Yang didapat oleh masyarakat adalah ekspos yang menyatakan Aceh masih sebagai provinsi termiskin di Sumatera, dan ditangkapnya tokoh yang sebelumnya dihormati.

 
Kompensasi Perang

Di masa-masa awal transisi pascadamai, siapapun yang meminpin Aceh, pasti tidak mudah peutiimang berbagai kelompok, dimana banyak masyarakat yang melihat dana Otsus sebagai uang kompensasi perang yang berhak untuk dinikmati juga.

Euforia damai yang dialami oleh kalangan yang dahulunya berada dalam konflik yang kemudian pada masa damai bertransformasi menjadi tokoh-tokoh di masyarakat sudah barang tentu membutuhkan dukungan kantong tebal.

Beruntung awalnya ada BRR NAD-Nias yang dapat menampung banyak orang sehingga memperoleh gaji yang sangat lumayan.

Namun, paska BRR membubarkan diri, para tokoh yang tadinya sangat royal kepada kalangannya dan masyarakat kehilangan sumber pendapatan.

Mau tidak mau, mereka menyandarkan diri kepada kelompok politik dengan harapan jika yang didukungnya menang dapat memiliki akses ke sumber-sumber keuangan.

Padahal, seiring waktu, tata kelola anggaran di Indonesia yang ikut berlaku juga untuk Aceh semakin menutup peluang untuk dikelola sebagaimana di era konflik.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved