Breaking News

Kupi Beungoh

Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh III: Sejarah Panjang Kekerasan Aceh, dan Buramnya “Peace Dividen"

Van’t Veer (1985) yang menulis 4 fase perang Aceh-Belanda, menyebutkan, bahkan di ujung perang pun, setiap hari, paling kurang setiap minggu.

Editor: Zaenal
Dok Pribadi
Ahmad Humam Hamid, Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

HAMPIR dapat dipastikan, tidak ada kawasan di seluruh Nusantara, termasuk Malaysia, dan Thailand, yang mempunyai sejarah panjang kekerasan, seperti Aceh.

Ambil saja periode yang paling pendek, semenjak invasi Belanda 1873 sampai dengan hari ini, 2023, masyarakat Aceh terus menerus berada dalam situasi kekerasan, dengan waktu pause yang sangat pendek.

Praktisnya, dalam masa 150 tahun itu, Aceh mengalami kekerasan tidak kurang dari 115 tahun.

Kekerasan itu tampil dalam berbagai bentuk; perang melawan penjajah- Belanda 69 tahun, Jepang-4 tahun, konflik sosial sesama rakyat Aceh -2 tahun, pemberontakan DI/TII-9 tahun, penumpasan G30S PKI- 3 tahun, dan terakhir pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka-29 tahun.

Hampir tidak ada generasi yang tidak melihat dan merasakan kekerasan.

Aceh seolah berasosiasi dengan “darah” dan kematian yang berkelanjutan.

Van’t Veer (1985) yang menulis 4 fase perang Aceh-Belanda, menyebutkan, bahkan di ujung perang pun, setiap hari, paling kurang setiap minggu, ada saja darah yang mengalir.

Karena banyaknya tindakan “poh-bunuh kaphe” yang dilakukan oleh individu di sebarang tempat dan waktu pemerintah kolonial menabalkan sebuah istilah khusus yang hanya berlaku di Aceh.

Fenomena itu kemudian dikenal dengan terminologi “aceh moorden”- “aceh pungo”,dalam jurnal resmi tahunan kolonial.

Istilah “pribumi moorden” tidak ada di semua tanah jajahan Belanda, baik Indonesia ataupun di tempat jajahan lainnya.

Di Sri Lanka (abad 17th-1802), misalnya tak ada fenomena itu, demikian juga the Netherlands Antilles (semenjak 1634), Tobago (1654-1678), Suriname ( abad 17-1975), Guyana (1667-1815), Belgia (1815-1830), Luxembourg (1815-1867), Afrika Selatan (1652-1805), Malaka, Malaysia (1610-1825)

Suasana damai yang sedang kita alami hari ini adalah fase damai terpanjang dalam sejarah panjang kekerasan Aceh,-18 tahun.

Sebelumnya, antara kekerasan G30 S PKI, dan GAM- 1976, ada jeda selama 10 tahun, dan berakhir pada tahun 2005.

Ada jeda kekerasan antara konflik sosial Aceh dengan peristiwa DI /TII selama lebih kurang 7 tahun.

Apa yang tertulis pada beberapa alenia di atas, adalah sejarah, dan kalau sudah menyangkut dengan sejarah, sebaiknya kita harus menanggapinya dengan cukup serius.

Adalah sebuah “ketololan besar” jika ada orang yang menganggap sejarah akan berulang kembali persis seperti apa yang telah pernah terjadi sebelumnya.

Sebaliknya adalah sebuah kenaifan yang luar biasa pula, jika ada orang yang tidak mampu melihat ada sebuah “trend” yang mempunyai banyak kesamaan dengan berbagai peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya, ketika siklus sejarah itu terulang.

Terhadap Aceh yang seolah sudah menjadi “takdir” sebagai tanah kekerasan, sebaiknya semua orang memberi perhatian khusus dan sangat hati-hati terhadap apapun yang dilakukan.

Ketika MoU Helsinki ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, paling kurang ada dua paket besar resolusi konflik yang disepakati, dan apa yang terjadi dalam perjalannya selama tahun-tahun berjalan.

UU No 11/2006 yang sering diasosiasikan sebagai bentuk tranformasi MoU Helsinki, dan pemberian Dana Otsus untuk Aceh adalah dua paket inti sebagai puncak dari kompromi dan konsensus formal antara kedua pihak.

Dana Otonomi Khusus itu untuk waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian lima belas tahun pertama besarnya setara dengan 2 persen plafon DAU Nasional dan untuk lima tahun berikutnya besarnya setara dengan 1 persen.

Secara keseluruhan, sebagian besar isi UU No 11/2007, adalah kontrak politik formal antara masyarakat Aceh dimana pemangku kepentingan utamanya adalah Gerakan Aceh Merdeka.

Butir-butir yang melegalkan sejumlah kewenangan Aceh, bahkan dalam bentuk otonomi asimetrik, adalah pemberian kekhususan ethno-nasionalisme Aceh dalam bingkai negara Republik Indonesia.

Kebebebasan mendirikan partai lokal adalah puncak dari pemberian sebuah “ruang besar kreatif “ ethno-nasionalisme Aceh sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia.

Pertanyaan yang paling layak untuk diajukan adalah apakah dengan pengakuan dan penyerahan kedua paket besar itu, ditambah dengan pilkada dan pileg demokratis, plus partai lokal-yang merupakan butir-butir inti etno-nasionalis yang dilegalkan, persoalan perdamaian Aceh telah selesai?

Apakah semua orang kemudian boleh berlapang dada dan tidur nyenyak, baik di pusat maupun di daerah bahwa Aceh akan baik baik saja pada hari ini dan di masa depan?

Bukankah GAM telah memenangkan Pileg dan kepala daerah di hampir semua kabupaten kota di Aceh selama tiga periode?

Bukankah eks kombatan, walaupun partainya berbeda, telah memegang jabatan Gubernur selama 3 periode,- walaupun pada periode ketiga, karena masalah korupsi, dilanjutkan oleh Wagub dari partai nasional?

Bukankah cara yang paling ringkas untuk semua apa yang telah mereka dapat, dan berbagai konsekwensinya, termasuk korupsi, dan penjara itu urusan mereka?

Bukankah kalimat sinis yang sering digunakan dalam bahasa Aceh dengan ungkitan-“timplak”-mengungkit ungkapan kesombongan layak diucapkan.

Bukankah atas sejumkah kegagalan itu, ada sejumlah kata yang pantas digunakan seperti “atakah (milikmu), cok keukah (ambil untuk kau), lhieh (jilat), ‘ab (makan), cok (ambil), ras (rasakan), jra keuh han (rasain kau).”

Persoalannya tidak sesederhana itu, dan ketika ada konsekwensi dari kegagalan itu, tak ada lagi waktu untuk saling menyalahkan.

Mungkinkah kegagalan Aceh menggunakan peluang UU No 11/2007, Dana Otsus yang berlimpah berdampak pada kelanjutan perdamaian?

Mungkin korupsi akan menjadi variabel tunggal yang akan membuat Aceh tidak aman, dan berpotensi untuk menyeret Aceh kembali kepada era kekerasan yang pernah dialami sebelum 17 tahun yang lalu?

Jawaban terhadap pertanyaan itu adalah mungkin.

Akan tetapi jika pertanyaan potensi Aceh kembali ke era kekerasan dengan jawaban sangat berpeluang, maka diperlukan bukti-bukti yang lebih komprehensif.

Untuk memunculkan gambaran sebuah skenario peringatan, maka sebuah pertanyaan lanjutan layak diajukan.

Pertanyaannya adalah bagaimana prospek perdamaian Aceh, jika posisi kemajuan pembangunan Aceh selama 10 tahun ke depan jalan di tempat, praktisnya sama dengan saat ini?

Pertanyaanya dapat diajukan secara terbalik, akankah dalam jangka waktu 10 tahun kedepan Aceh akan mampu membangun, mengejar berbagai ketertinggalan selama 15 tahun yang lalu?

Pertanyaan ini layak diajukan, karena cukup banyak bukti-bukti empirik yang menunjukkan perdamaian antara pemberontak dengan pemerintah di berbagai negara seringkali hancur ditengah jalan, karena berbagai sebab.

Sebab itu mungkin saja terjadi karena elite pemberontak korup, elite pemberontak menyimpang dari substansi ideologi atau prinsip perjuangan secara berlebihan, inkonsistensi komitmen pemerintah, kesalahan pemerintah dalam membuat kebijakan lanjutan, pengaruh perubahan geopolitik, dan masuknya unsur radikalisme internasional.

Baca juga: Disebut Bela Irwandi Yusuf usai Kritik KPK, Humam Hamid Singgung soal Peunayah Pascadamai

Catatan Konflik Bersenjata di Dunia

Kenapa semua pihak tidak boleh lupa terhadap potensi kembalinya Aceh ke dalam siklus kekerasan?

Sebuah laporan yang diterbitkan oleh Institut Penelitian Perdamaian Oslo (2016) mencatat, dari 259 peristiwa konflik bersenjata di dunia yang berdamai, tidak kurang dari 159 kembali berperang, dan 100 diantaranya melibatkan kelompok baru.

Tidak kurang dari 135 negara mengulangi pengulangan konflik dan polanya semakin dalam.

Tanpa harus nelihat jauh ke sejumah kasus di Afrika, Turki, Syiria, dan Irak, dengan hanya melihat kasus Filipina Selatan saja, cukup memberi banyak pelajaran kepada kita.

Betapa perdamaian bukanlah sesuatu yang dapat diyakini keberlanjutannya, tanpa memperhatikan dinamika yang terjadi.

Kepustakaan tentang dinamika perdaaian Filipina Selatan menguraikan MNLF- Moro National Liberation Front yang didirikan oleh Nur Misuari pada tahun 1969, yang kemudian berdamai dengan pemerintah Filipina pada tahun 1976, yang dikenal dengan perjanjian Tripoli tidak berumur panjang.

Kegagalan perdamaian pertama ketika Nur Misiuri bentrok dengan kawannya Hashim Salamat pada tahun 1978.

Perdamaian itu rusak, MNLF kembali berkonflik dan berdamai dengan beberapa pemerintahan Filipina yang berbeda.

Tidak mengherankan, jika jumlah sempalan yang timbul dalam dinamika itu cukup banyak,- Moro Islam Liberition Front-MILF (2000), Bangsa Moro Islamic Freedom Fighter -BIFF (2010), Justice for Islamic Movement-JIM (2013), Ansar Khalifah Filipina AKP-2014, dan Abu Sayyaf (2014).

Semua kelompok itu lebih mencerminkan keragaman yang disebabkan oleh perbedaan pendapat sesama yang “ber DNA” MNLF, perobahan kebijakan dari pemerintah yang silih berganti, maupun munculnya generasi baru yang “mengutuk" generasi terdahulu, atau merevisi substansi ideologi MNLF yang lama.

Seperti ditulis oleh Joseph Franco (2016) peneliti dari S Rajaratnam School of International Studies Singapura dalam New Mandala- publikasi Australian National University -ANU, saat ini organisasi separtis Filipina Selatan telah berafiliasi dengan gerakan ISIS.

Layaknya seperti resto ayam AS , Kentucky Fried Chicken, kini organisasi separatis Filipina Selatan telah membeli “ franchise” ISIS-Khilafah Islamiyah Movement ataupun Al Qaeda-Abu Sayyaf.

Mungkinkah Aceh akan mengalami kambuhnya konflik setelah perdamaian yang di dalam kosakata kajian konflik disebut “relapse.”

Mungkinkah di Aceh akan muncul kelompok penerus, kelompok pengecam, kelompok revisioner Gerakan Aceh Merdeka atau apapun yang belum kita ketahui namanya.

Adakah peluang Aceh akan terpapar dengan kelompok radikal internasional seperti ISIS, atau Al Qaeda?

Aceh sudah beberapa kali terseret dalam kasus gerakan terrorns internasional semenjak perdamaian, namun kecepatan penciumam aparat keamanan telah membuat mereka gagal bertindak.

Jika skenario Aceh 10 tahun ke depan tidak berubah dari yang sedang kita alami, akankah tesis perdamaian membawa kemakmuran yang sering diteriakkan dengan “peace dividen” akan diterima oleh generasi yang tidak merasakan konflik dan melihat perdamaian terjadi.

Baca juga: Kisah Asib Ali, Takdir Cinta Pria India, dan Taman Ghairah Sultan Iskandar Muda

Siapa saja, atau tepatnya kelompok mana saja yang paling berpeluang untuk membuat Aceh kembali masuk ke siklus kekerasan baru?

Pengamatan awal secara jujur harus diakui ada satu kelompok pemangku kepentingan-stakeholder yang mesti diberi catatan khusus.

Mereka adalah ribuan para anak yatim korban konflik yang nasib dan jalan kehidupannya beragam.

Apapun keragamannya mereka mempunyai memori kolektif yang sama terhadap apa yang mereka alami, dan mungkin juga tentang impian dari apa mimpi orang tua mereka, ketika bergabung dengan Aceh Merdeka.

Kelompok kedua adalah mereka para “die hard” yang sama sekali tidak setuju dengan perdamaian, tidak percaya dengan perdamaian, bahkan anti dengan perdamaian.

Mereka jumlahnya kecil saat ini dan tersebar di dalam dan di luar negeri.

Jumlah kecil tidak akan permanen, karena semakin tidak terbukti ada “peace dividen”, kelompok ini akan bertambah, kebab akan mengambil kelompok yang ragu-ragu pada awal proses perdamaian.

Bukan tidak mungkin pula akan ada mereka yang pada awalnya pro perdamaian, kemudian berobah “mengutuk” mereka yang berdamai dan kemudian merevisi ideologi perjuangannya.

Kelompok ini yang dari dulu tak setuju tak percaya dengan perdamaian mungkin dapat diberi label sebagai kelompok “keun ka kupeugah”.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved