Serambi Demokrasi Awards 2023
Pemikiran Dahlan Jamaluddin untuk Perdamaian Aceh
Pelaksanaan seluruh poin MoU Helsinki dan UUPA yang lamban, kata Dahlan, karena belum ada kerangka road map atau pemetaan langkah untuk mewujudkannnya
KETUA DPR Aceh periode 2019-2022, Dahlan Jamaluddin, berpendapat, agenda politik perdamaian harus menempatkan isi perjanjian damai sebagai dasar menyelesaikan permasalahan Aceh.
Pada 15 Agustus 2005, kedua pihak sepakat mengakhiri perang dengan berunding di Helsinki, Finlandia.
Kesepakatan damai itu dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.
MoU Helsinki ini mengakhiri konflik bersenjata puluhan tahun antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia sejak 1976.
Perdamaian ini membuat Aceh berbeda dibanding provinsi lain di Indonesia karena memiliki keistimewaan dan kekhususan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Meski perdamaian sudah hampir berusia 16 tahun, belum seluruh poin kesepakatan terealisasi. Hal itu menjadi salah satu tugas berat yang kini dipanggul Dahlan.
"Saya melihat MoU Helsinki dan UUPA belum menjadi pijakan utama dalam mengurus Aceh pascadamai," tuturnya.
Pelaksanaan seluruh poin MoU Helsinki dan UUPA yang lamban, menurut Dahlan, karena belum ada kerangka road map atau pemetaan langkah untuk mewujudkannya.
Kendala itu seolah-olah hanya menjadi persoalan Partai Aceh karena sebagian besar kadernya merupakan mantan kombatan GAM atau pihak peneken perdamaian.
"Padahal mewujudkan hal itu harus menjadi persoalan bersama seluruh masyarakat Aceh," kata Dahlan.
Tantangan mengenai pembangunan Aceh juga bukan perkara mudah.
Sewaktu Dahlan dilantik pada 15 November 2019, Aceh menempati posisi daerah termiskin di Pulau Sumatera.
Ini menjadi pekerjaan berat Dahlan bersama anggota DPR Aceh dalam mengawasi penggunaan anggaran terutama dana otonomi khusus oleh Pemerintah Aceh agar betul-betul menyejahterakan rakyat.
"Kemiskinan, pengangguran dan indeks pembangunan manusia yang rendah di Aceh, menjadi alat ukur penyelenggaraan pemerintahan," ujarnya.
Permasalahan ini menurut Dahlan dapat diselesaikan beriringan dengan agenda politik perdamaian.
Dahlan menyorot belum ada demarkasi atau batas pemisah antara situasi masa lalu dengan kondisi setelah perdamaian dalam membangun Aceh.
Dia memisalkan pada regulasi dan birokrasi di Aceh masih sama seperti sebelum ada MoU Helsinki dan UUPA.
Bila ada demarkasi, pembangunan seharusnya fokus pada kepentingan rakyat Aceh dan keacehan sebagai langkah untuk memberikan kesejahteraan dan keadilan.
Menghadapi dua tantangan besar itu, Aceh kerap berhadapan dengan realitas politik pemilihan (electoral) yang pragmatis.
"Ada polarisasi rakyat Aceh sehingga kepentingan Aceh tidak terkonsolidasi," ujar Dahlan.
Dinamika kepentingan perebutan kekuasaan sesaat itu dinilai menjadi bias yang membuat agenda politik perdamaian terlupakan.
Semestinya eksekutif, legislatif, dan semua pihak termasuk rakyat Aceh bersatu mewujudkan dua tantangan tersebut.
Kesadaran bersama harus dibangun untuk melahirkan berbagai formula yang secara terus menerus dikomunikasikan dengan Pemerintah Indonesia bahwa inilah keinginan rakyat Aceh.
"Jangan asal beda," kata Dahlan.
Baca juga: Dahlan Jamaluddin, Pendorong Implementasi Perbankan Syariah di Aceh
Membina Petani dan Nelayan
Sejak awal menghibahkan diri untuk Aceh dan berkecimpung dalam politik di Aceh, Dahlan terus mengupayakan agar Pemerintah Aceh bisa meningkatkan perekonomian Aceh; mengurangi angka kemiskinan dan membuka lapangan kerja untuk seluruh lapisan rakyat Aceh.
Sejak menjadi anggota DPR Aceh pada 2017 silam, Dahlan telah membangun dan membina banyak kelompok petani dan nelayan di Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya, yang merupakan dua kabupaten yang menjadi daerah pemilihannya.
Kelompok yang dia bina mulai dari petani coklat di Bandar Baru Pidie Jaya hingga petani kopi di Tangse dan Mane, Kabupaten Pidie.
Ketika pada Partai Aceh mempercayakan jabatan Ketua DPR Aceh kepadanya pada 2019, Dahlan juga membangun dan membina kelompok petani, nelayan, dan petani tambak di beberapa kabupaten di Aceh.
Dia mengharapkan agar suatu hari Aceh memiliki berbagai komoditas pertanian unggulan.
“Saya yakin dengan pertanian kita bisa mengembangkan dan meningkatkan ekonomi rakyat Aceh,” kata Dahlan.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.