Breaking News

Opini

Perang Aceh: Islam versus Barat?

Perang Aceh di akhir abad 19 hingga awal abad 20 biasanya dijelaskan dalam konteks perang sabil (jihad) melawan kafir Belanda

Editor: mufti
IST
Baiquni, Dosen IAIN Lhokseumawe, Kandidat Doktor di Jurusan Sejarah Internasional University of North Carolina-Chapel Hill Amerika Serikat 

Baiquni, Dosen IAIN Lhokseumawe, Kandidat Doktor di Jurusan Sejarah Internasional University of North Carolina-Chapel Hill Amerika Serikat

TANGGAL 26 Maret ini, tepatnya 150 tahun lalu, Belanda membombardir pantai Ulee Lheue sebagai simbol awal perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh di akhir abad 19 hingga awal abad 20 biasanya dijelaskan dalam konteks perang sabil (jihad) melawan kafir Belanda. Ali Hasjmy dan Ibrahim Alfian pada akhir abad 20, misalnya, sepakat menjelaskan bahwa jihad atau perang sabil adalah respons Muslim di Aceh mempertahankan agama dan bangsa melawan kolonialisme kafir Belanda.

Pandangan ini tentu ada benarnya, namun penggambaran dan penekanan bahwa Perang Aceh dan jihadnya adalah hanya perang antara Muslim Aceh dan kafir Belanda memiliki kekurangan. Narasi tersebut mengaburkan keterlibatan aktor-aktor non-Muslim, baik dari bangsa Belanda atau lainnya, yang menentang penyerangan Belanda (orang-orang Barat) ke Kerajaan Aceh. Dengan demikian, narasi ini berasumsi bahwa hanya Muslim—perorangan atau kerajaan seperti Turki Usmani—yang cenderung ingin membantu Aceh atas dasar agama Islam.
Akibat jauhnya, muncul asumsi pula bahwa Muslim dan orang Barat atau budaya Islam dan Barat, secara mendasar pasti dan akan selalu berbenturan serta tidak mungkin bekerja sama. Dengan kata lain, konflik dan kecurigaan antara Muslim dan Barat adalah wajar. Pandangan perbenturan peradaban (clash of civilizations) ini semakin popular di seluruh dunia, khususnya sejak peristiwa Sebelas September 2001 di Amerika Serikat.
Dalam konteks Aceh sekarang, narasi perbenturan peradaban dan agama ini diterjemahkan dalam bentuk kecurigaan atau penolakan terhadap segala bentuk yang disinyalir “berbau” Barat. Akan tetapi, pembacaan ulang arsip-arsip Kesultanan Aceh dan khususnya Perang Aceh yang tersedia memunculkan narasi yang lebih rumit daripada hanya Islam versus Barat.

Geopolitik dan ekonomi

Dari awal muncul hingga runtuhnya Kesultanan Aceh, sultan-sultan Aceh memiliki hubungan yang akrab dengan kerajaan-kerajaan Eropa. Bahkan pada masa konflik Aceh dan Portugis pada abad16 pun, narasi Muslim versus Eropa tidak tepat. Misalnya, beberapa dekade setelah aliansi Aceh dan Usmani di masa Sultan Al-Kahhar gagal memundurkan kekuatan Portugis, Sultan al-Mukammil berusaha membentuk aliansi gabungan antara kekuatan Asia Tenggara (Siam, Pegu, Patani) dan Inggris.

Ketika aliansi ini gagal, Sultan beralih pada aliansi segitiga antara Aceh, Johor dan Belanda. Di kesempatan lain, James Lancaster, seorang utusan Inggris, ketika menetap di Aceh pada tahun 1601-1602 sempat heran melihat pegawai dari Kerajaan Portugis secara bebas berada Aceh. Ketika ditanya perihal itu, Sultan al-Mukammil bahkan menjawab dengan candaan santai. Episode ini menjelaskan bahkan dalam situasi konflik yang intens pun, perbedaan agama atau budaya tidak menjadi dasar konflik.

Situasi yang serupa juga berlaku selama Perang Aceh dan Belanda di akhir abad 19. Sultan Aceh tidak hanya meminta bantuan dari Kerajaan Muslim seperti Usmani, tapi juga dari Kerajaan Kristen Eropa; Perancis, Italia, Inggris, dan Amerika Serikat. Mudah bagi Muslim zaman sekarang untuk berasumsi bahwa motif Aceh meminta bantuan dari Kerajaan Usmani adalah karena kesamaan agama.

Namun kondisi politik internasional akhir abad 19 lebih cenderung menunjukkan bahwa motif utama Aceh meminta bantuan Usmani bukan hanya karena sesama kekuatan Muslim. Tapi lebih utamanya, karena posisi politik internasional Usmani yang masih dihormati sebagai salah satu anggota resmi kekuatan “Konser Eropa,” khususnya setelah aliansi Kerajaan Usmani, Inggris, dan Perancis menang melawan Rusia pada Perang Krimea tahun 1853. Singkat kata, identitas Kerajaan Usmani, dari pandangan sultan Aceh dan Usmani sendiri, pada abad 19 tidak hanya sebagai kerajaan Islam, tapi lebih utamanya sebagai kerajaan Eropa yang sultannya adalah seorang Muslim.

Dengan cara pandang ini, maka tidak heran ketika Usmani tidak membantu Aceh. Anggapan popular mengapa Sultan Usmani tidak membantu Aceh pada konflik Aceh-Belanda biasanya dinisbahkan pada kondisi “kemunduran” Usmani. Anggapan ini tidak tepat, karena hingga awal abad 20, Sultan Abdul Hamid II masih memiliki kekuatan politik yang cukup kuat di kalangan kerajaan Eropa.

Mostafa Minawi, professor sejarah Usmani di Cornell University, menjelaskan dengan lugas bagaimana Usmani, dengan diplomasi yang handal bersama kerajaan Eropa lainnya, ikut andil dalam perebutan wilayah Afrika (Scramble for Africa) di Konferensi Berlin (1884-1885).

Dengan demikian, jika saja Aceh memiliki nilai geopolitik dan ekonomi yang penting bagi Kerajaan Usmani pada akhir abad 19, tentunya Usmani akan senantiasa membantu Aceh. Pendapat ini juga menangkis anggapan umum bahwa Sultan Abdul Hamid II adalah seorang anti-imperialis. Dalam satu episode sinetron Turki, Payitaht, yang popular beberapa tahun lalu, Sultan Abdul Hamid secara gamblang digambarkan sebagai seorang khalifah Muslim yang marah karena tidak bisa menolong perjuangan Muslim Aceh yang sedang melawan Belanda. Episode ini hannyalah khalayan, tidak ada dokumen pendukungnya.

Keberpihakan Usmani

Tentu saya tidak mengingkari adanya usaha Usmani untuk memediasi Aceh dan Belanda. Tapi usaha mediasi hanya terjadi setelah adanya tekanan dari publik di Istanbul di berbagai media seperti Basiret. Usaha itu pun gagal.

Notulen diplomatik antara Belanda dengan Usmani, terbalik dari anggapan umum, menunjukkan keberpihakan Usmani pada Belanda dalam Perang Aceh. Dalam merespons pertanyaan Diplomat Belanda  pada tahun 1874 tentang Kesultanan Aceh, Khalil Pasha, Menteri Urusan Luar Negeri Usmani, menjamin Usmani tidak peduli dengan Kesultanan Aceh.

Dalam kesempatan lain, perwakilan Belanda meminta klarifikasi Sultan Abdul Hamid II tentang propaganda pan-Islamisme Kiamil Bey, seorang diplomat Usmani, di Batavia. Sultan menyangkal dan mengklaim bahwa propaganda itu adalah perbuatan musuh-musuhnya. Ia mengetahui masyarakat Muslim di Hindia Belanda (Indonesia) hidup bahagia di bawah naungan Ratu Wilhelmina. Untuk mendukung perkataannya, Sultan Abdul Hamid II bahkan mengirimkan kuda dan pelana yang khusus dari Usmani kepada Ratu Belanda.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved