Ramadhan Mubarak
Berbuka Puasa dengan Makanan “Haram”
Hal ini mengambarkan bahwa sesuatu yang halal dan didapat dari usahanya sendiri, ketika ia berpuasa maka ia mampu untuk menahan diri.
Dr Muhammad Yasir Yusuf, MA, (Anggota Dewan Pengawas Syariah Bank Aceh)
Ramadhan adalah gerbang untuk mengubah pola dan gaya hidup seorang Muslim. Mulai dari pola makan, pola ibadah dan juga pola dalam tata pergaulan dengan sesama Muslim maupun nonmuslim. Ada kebiasaan yang telah menjadi tradisi di masyarakat yaitu berbuka puasa bersama, apakah di restoran, kafe-kafe atau jamuan berbuka bersama teman sejawat, sekantor ataupun berbuka puasa bersama di kampung dalam rangka peringatan nuzulul quran. Acara berbuka puasa ini tidak salah, malah terkadang dianjurkan dalam rangka membangun tali persaudaraan, kebersamaan dan syiar ramadhan. Sumber masalah adalah ketika menu makanan berbuka tidak bisa dipastikan isi dan kandungannya halal 100 persen atau “haram”. Terkadang makan yang dihidangkan di restoran, di hotel atau di kafe-kafe, namanya saja tidak dikenal baik, apalagi kandungan dari makanan tersebut. Bisa juga zatnya halal seperti ayam tapi proses penyembelihannya tidak benar secara syariat.
Ketika seorang berpuasa, berarti dia menahan diri dari sesuatu yang sebelumnya dihalalkan oleh Allah. Orang yang berpuasa tidak makan walau itu adalah makanan yang ia cari sampai terbenam matahari. Hal ini mengambarkan bahwa sesuatu yang halal dan didapat dari usahanya sendiri, ketika ia berpuasa maka ia mampu untuk menahan diri. Jika makanan yang halal dan miliknya sendiri dan bisa ia tahan karena ketaatan kepada perintah Allah, maka seorang yang berpuasa pasti bisa menahan dari makanan yang belum tentu halal ketika dia berbuka.
Hal ini penting karena Allah berfirman: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Al Baqarah: 168). Makanan berbuka puasa, dimanapun ia berbuka mestilah dipastikan mengandung unsur halal dan baik.
Perintah ini bukan tidak mempunyai tujuan, bahkan perintah ini disejajarkan dengan bertakwa kepada Allah. Dalam surat al-Maidah; 88, Allah mengatakan “dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya”. Manfaat memakan makanan halal lagi baik bagi tubuh manusia disamping memberikan efek kesehatan dan vitalitas bagi tubuh, juga mempengaruhi pembentukan karakter manusia untuk menjadi orang yang produktif dalam bekerja dan beramal shaleh. Di sinilah keterkaitan antara makanan halalan thayyiban dengan takwa.
Makanan halal bukan berarti hanya dilihat dari zatnya saja seperti keharaman zat yang terdiri babi, anjing, darah, dan hewan yang disembelih tanpa membaca basmalah, akan tetapi dilihat juga dari cara pengelolahan yang mengandung unsur najis, unsur khamar, unsur kimiawi yang merusak kesehatan dan kebersihan makanan yang diolah. Di samping itu sumber pendapatan juga mempengaruhi kehalalan makanan yang dimakan. Kalau sumber dan cara pendapatan haram seperti harta yang didapat dari korupsi, mencuri, merampok, menipu dan praktek riba, maka makanan yang dibeli dari sumber harta haram meski zatnya halal, tetap menjadi haram.
Sebagai seorang Muslim, halal menjadi gaya hidup penting dalam keputusan untuk mengonsumsi makanan. Ada tips sederhana untuk memastikan satu makan atau restoran/kafe menyediakan makanan halal, yaitu dengan cara melihat logo halal atau meminta untuk ditunjukkan sertifikat halal resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah atau Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.
Membangun sikap kehati-hatian sangatlah penting dalam mengonsumsi makanan halal. Ramadhan mengajarkan kita untuk mawas diri untuk selalu memakan makanan halal, yang halal saja bisa ditahan karena puasa, apalagi makanan haram sudah pasti akan ditinggalkan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.