Opini

Menata Ekonomi Aceh

Dari jumlah yang sedikit itu, sebagian perusahaan pertambangan, perkebunan dan perwakilan badan usaha milik negara. Perusahaan industri pengolahan di

Editor: mufti
FOR SERAMBINEWS.COM
MOHD DIN, PP Harian Serambi Indonesia 

Mohd. Din, Profesional Media dan Sekretaris ISEI Banda Aceh

DALAM satu kesempatan Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki  mengungkapkan bahwa saat dia menjabat Dandim di salah satu kabupaten di Pulau Jawa, dia mencatat ada ribuan perusahaan yang beroperasi dari skala kecil hingga besar di daerah itu. Sebagian besar perusahaan yang beroperasi berupa industri pengolahan.

Dibandingkan dengan Provinsi Aceh yang terdiri atas 23 daerah tingkat dua, jumlah perusahaan yang beroperasi hanya puluhan. Dari jumlah yang sedikit itu, sebagian perusahaan pertambangan, perkebunan dan perwakilan badan usaha milik negara. Perusahaan industri pengolahan di Aceh jarang ditemui, kalaupun ada dalam skala kecil.

Kuntoro Mangkusubroto, mantan Kepala Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias pernah mengungkapkan hal yang sama. Saat berkunjung kembali ke Aceh, Kuntoro mengatakan, pasca pemulihan Aceh dari bencana dan konflik panjang, belum ada industri yang berskala sedang dan besar yang beroperasi di Aceh. Kuntoro sedih melihat Aceh, pertumbuhan ekonominya bergantung pada anggaran pemerintah dan konsumsi masyarakat.

Menurut Kuntoro, Aceh butuh perusahaan pengolahan, bukan perusahaan tambang yang mengeksploitasi lingkungan. Menurutnya, infrastruktur Aceh sudah relatif baik, semestinya menjadi insentif masuknya industri berskala sedang dan besar.

Pasca bencana gempa bumi dan tsunami 2004 serta berakhirnya konflik, mata dunia tertuju ke Aceh. Banyak negara di dunia berempati dan memberikan bantuan keuangan untuk pemulihan dan pembangunan Aceh. Pada waktu bersamaan pemerintah pusat mengucurkan anggaran dalam bentuk Dana Otonomi Khusus (Otsus) selama 20 tahun. Tujuannya sama untuk percepatan pembangunan Aceh dan bagian komitmen mengakhiri konflik vertikal.

Empati dan dikenal dunia, bantuan kemanusiaan dan pembangunan, suasana damai dan dana Otsus modal  bagi Aceh untuk menata, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakat. Tapi, fakta berkata lain, kondisi Aceh berbanding terbalik dengan jumlah anggaran pemerintah yang ada.

Laju pertumbuhan ekonomi Aceh yang rendah ada kaitannya dengan ungkapan  Pj Gubernur Aceh dan Kuntoro Mangkusubroto bahwa di Aceh  belum ada investasi swasta yang signifikan  pendorong pertumbuhan ekonomi. Aceh memang belum menjadi daerah tujuan investasi. Infrastruktur yang baik belum menjamin Aceh menjadi sasaran investasi.

Hambatan investasi

Banyak faktor yang mempengaruhi  investasi; di antaranya keamanan, persepsi investor, regulasi dan budaya (lingkungan sosial). Faktor keamanan di Aceh masih sering menjadi ganjalan  bukan karena gangguan keamanan melainkan soal persepsi:  Aceh belum aman. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.

Faktor lain penghambat investasi adalah regulasi. Banyak regulasi yang dibuat di Aceh tidak berdasarkan kajian yang memadai  dan terlalu banyak peraturan yang bersifat pembatasan dan diskriminatif. Karenanya investor lebih memilih daerah lain yang lebih bersahabat dengan dunia usaha.
Salah satu regulasi baru yang memberi pengaruh besar terhadap  sulitnya investasi masuk adalah Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Qanun ini menutup semua lembaga keuangan konvensional sehingga akses masyarakat dan investor ke lembaga keuangan, khususnya perbankan menjadi terbatas.

Pada saat Qanun itu diberlakukan, sebagian masyarakat di Aceh tetap menggunakan perbankan konvensional untuk keperluan bisnis dan transaksinya melalui bank konvensional di luar Aceh. Bahkan, sebagian besar dana masyarakat Aceh tetap tercatat di bank konvensional tetapi di luar Aceh. Hal ini dilakukan atas pertimbangan kemudahan dan jaringan bisnis.

Para penyusun Qanun LKS kurang memperhitungkan dampak negatif bagi ekonomi Aceh. Bayangkan, dulu masyarakat dapat mengakses ke lembaga perbankan dengan mudah untuk mendapatkan modal dan pembiayaan, kini hanya terbatas pada satu sistem bank dengan kantor bank yang terbatas pula.
Lembaga keuangan dalam perspektif ekonomi adalah hal yang amat vital. Bank bukan sekadar penyedia modal, penjamin dan instrumen kemudahan transaksi tetapi menjadi lembaga perantara  dan penunjang (infrastruktur keuangan) yang memungkinkan kegiatan ekonomi, investasi dan bisnis menjadi efisien.

Dalam dunia usaha, investor butuh modal dan butuh efisiensi yang memungkinkan sebuah usaha mendapat profit dan terjamin kesinambungannya. Efisiensi berasal dari kemudahan transaksi, kepercayaan, proses yang sederhana dan biaya modal (bunga atau margin) yang kompetitif.
Sebuah daerah yang belum mampu memberikan jaminan efisiensi dalam bisnis dan ekonomi dipastikan tidak diperhitungkan sebagai sasaran investasi. Provinsi Riau, bisa menjadi salah satu barometer investasi di Indonesia. Secara infrastruktur (fisik), sumber daya alam dan jumlah penduduk, Riau dan Aceh tidak berbeda jauh.

Tetapi dalam realisasi investasi dan pertumbuhan ekonomi, Riau meninggalkan jauh Aceh. Dalam tahun 2022, Riau menargetkan investasi Rp 62 triliun, realisasinya melebihi target. Sebaliknya Aceh, realisasi investasinya di bawah Rp 5 triliun, itu pun investasi jalan tol dan pembangunan proyek pemerintah lainnya. Investasi swasta nyaris tidak ada.

Besarnya investasi yang mengalir ke Riau disebabkan oleh regulasi yang rasional, birokrasi pendek dan dukungan lembaga perbankan yang sangat besar, khususnya perbankan konvensional. Para investor datang dengan membawa sebagian modal dan sebagian lagi dibiayai bank  yang ada di Riau.

Membangun persepsi

Rendahnya investasi masuk ke Aceh menyebabkan Aceh belum memiliki perusahaan-perusahaan besar, khususnya industri pengolahan. Aceh sebenarnya punya peluang mengembangkan industri manufaktur (pengolahan) karena bahan baku tersedia cukup banyak dan letak Aceh yang sangat strategis berhadapan langsung dengan pusat ekonomi Asia, memungkinkan Aceh menjadi daerah eksportir industri manufaktur.

Industri manufaktur menghasilkan nilai tambah yang besar dan menyerap tenaga kerja yang banyak. Selama ini ekspor Aceh didominasi ekspor barang-barang ekstraktif (alam) seperti kopi, sawit dan batubara. Nilai tambah produk ekspor ekstraktif sangat rendah karena  diekspor dalam bentuk mentah dan lewat daerah lain. Itulah yang menyebabkan penyerapan tenaga kerja terbatas, jumlah pengangguran terus meningkat dan persentase penduduk miskin tergolong tertinggi di Pulau Sumatera dan Indonesia.

Dampak dari rendahnya pertumbuhan ekonomi sangat luas. Aceh semakin tertinggal dibandingkan daerah lain, ketimpangan pendapatan makin melebar dan yang mengkhawatirkan angka stunting di Aceh tergolong tertinggi di Indonesia, yaitu 33 persen tahun 2022. Artinya 33 dari 100 bayi yang lahir berstatus gizi buruk yang mengancam tumbuh kembang, kecerdasan dan kesehatan anak di masa yang akan datang.

Sebagai Pj Gubernur yang mengungkapkan kondisi perusahaan di Aceh dibandingkan dengan sebuah kabupaten di Pulau Jawa, Achmad Marzuki punya keinginan membangun kesadaran masyarakat di Aceh, bangkit dan menata kembali kehidupannya, khususnya ekonomi. Tidak ada kesejahteraan tanpa ada peningkatan ekonomi, dan tidak ada peningkatan ekonomi tanpa investasi.

Penataan ekonomi Aceh dimulai dengan membangun persepsi investor bahwa Aceh adalah daerah yang tidak berisiko, nyaman ditinggali dan aman berusaha. Lalu diikuti dengan regulasi yang sederhana dan bersahabat dengan investasi, termasuk menyingkirkan peraturan yang bersifat pembatasan yang berlebihan dan diskriminatif. Setelah itu bangun infrastruktur yang berkaitan langsung menunjang investasi untuk industri pengolahan sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan memperbaiki  struktur ekonomi Aceh yang selama ini didominasi sektor pertanian.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved