Breaking News

Jurnalisme Warga

Suka Makmur, Kampung Ubi Jalar dan Kepiting Bakau

Desa ini banyak ditumbuhi bakau (mangrove), tempat berpijah dan berkembangbiaknya kepiting bakau

Editor: mufti
IST
NENDISYAH PUTRA, Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 2 Pulau Banyak Barat, melaporkan dari Haloban, Kecamatan Pulau Banyak Barat, Aceh Singkil 

NENDISYAH PUTRA, Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 2 Pulau Banyak Barat, melaporkan dari Haloban, Kecamatan Pulau Banyak Barat, Aceh Singkil

SUKA Makmur merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Pulau Banyak Barat, Kabupaten Aceh Singkil. Selain dikelilingi laut yang luas, desa ini banyak ditumbuhi bakau (mangrove), tempat berpijah dan berkembangbiaknya kepiting bakau.

Maka tidak heran jika desa ini dikenal sebagai sentranya kepiting bakau, sebab banyak ditumbuhi pohon bakau yang rimbun, tempat yang sangat disukai kepiting untuk beranak pinak.

Desa ini memiliki tiga dusun, yakni Dusun Anak Ui, Kualo Fangulu, dan Kualo Gadang.

Perumahan penduduk yang ramai berada di permukiman Kualo Gadang. Penduduk di dua dusun lainnya kebanyakan pindah dari permukiman Kualo Gadang dan sangat minim jumlahnya.

Bila hendak menuju Kualo Fangulu dan Anak Ui kita harus menggunakan perahu. Sedangkan jalan darat harus melalui pinggiran pegunungan yang masih rimbun. Kondisi jalannya pun belum stabil karena belum dilakukan pengerasan, apalagi pengaspalan.

Bila kita berkunjung ke Desa Suka Makmur dari  Kualo Gadang bisa memakan waktu tempuh sekitar 15 menit.

Desa ini berada dekat dengan Desa Ujung Sialit dan Gunung Tambego. Di kawasan ini sempat diwacanakan pemerintah untuk membangun dermaga kapal feri demi memajukan Pulau Banyak Barat dan Suka Makmur. Namun, wacana itu kini tenggelam begitu saja, hanya melintas bak mimpi di siang bolong.

Bila hendak menuju desa ini dari Singkil terlebih dahulu kita transit di Desa Ujung Sialit. Kemudian, pengunjung harus sewa perahu untuk diantarkan ke desa ini. Maklumlah, belum ada rute khusus boat atau speedboat untuk menuju Suka Makmur.

Ditilik dari aspek sejarahnya, masyarakat Desa Suka Makmur ini awalnya berasal dari penduduk Desa Ujung Sialit. Mereka non-Islam,  awalnya berasal dari Nias, Sumatera Utara.

Mereka kemudian memilih untuk masuk Islam. Mulanya hal ini dilakukan hanya oleh beberapa kelompok saja, kemudian tahun berikutnya diikuti oleh kelompok lainnya.

Melihat kondisi setiap tahunnya bertambah yang jadi mualaf, akhirnya mereka berinisiatif untuk meminta izin kepada tetua masyarakat Haloban membuka lahan di Kualo Gadang. Letaknya di samping Desa Ujung Sialit. Lokasi inilah yang ingin mereka tempati dan bercocok tanam demi keberlangsungan hidupnya.

Permintaan mereka pun dikabulkan oleh tetua masyarakat Haloban. Setelah desa ini dibuka, mereka pun hidup rukun, aman, dan damai.

Hampir tiap tahun desa ini dikunjungi saudara mereka yang berasal dari Nias dan memilih untuk menjadi penduduk desa tersebut.

Melihat kondisi ini, masyarakat Desa Suka Makmur pun melakukan musyawarah dan memutuskan kebijakan atau reusam desa bahwa siapa saja yang tinggal di desa ini jika dia muslim maka akan diberikan lahan untuk dikelola dan ia tempati secara gratis.

Namun, bila dia seorang nonmuslim hendak tinggal dan menjadi penduduk desa ini hanya diberikan waktu tangguh lima tahun. Bila yang bersangkutan tidak juga memeluk agama Islam maka tidak diberikan lagi izin untuk menetap di desa tersebut.

Secara bertahap warga nonmuslim berpindah dan membuka lahan baru, yakni di Dusun Anak Ui dan Kualo Fangulu dan memilih tinggal di sana hingga kini.

Dasarnya kampung ini dulu bernama Kualo Gadang karena memiliki kuala atau muara yang besar dan luas. Di pinggirnya berjejer pohon bakau hingga ke arah rumah penduduk.

Seiring dengan pemekaran kecamatan, dusun ini pun berubah status menjadi desa dan mereka beri nama Desa Suka Makmur.

Selain ditumbuhi banyak pohon bakau, desa ini juga berada di area pegunungan yang tanahnya subur. Penduduk desa ini menyulap area tersebut menjadi ladang untuk bercocok tanam.  Tanaman yang paling banyak dibudidayakan di desa ini adalah ubi jalar atau ubi rambat.

Hampir rata-rata penduduk desa ini berpenghasilan dari menjual kepiting bakau dan ubi jalar.

Dari sanalah awal mulanya desa ini dikenal oleh masyarakat Kepulaun Banyak dengan julukan sentranya ubi jalar dan kepiting bakau.

Adapun ikan laut hasil tangkapan bagi warga desa ini hanyalah sebagai penambah pemasukan (income) saja. Itu pun dilakukan apabila cuaca mengizinkan untuk melaut. Sebab, hampir semua warga desa ini berprofesi sebgai petani ubi jalar dan nelayan kepiting bakau.

Hanya satu-dua orang saja warga desa ini yang bekerja di sektor pemerintahan.

Karena dulunya pendidikan formal di desa ini belum ada sehingga banyak di antara penduduk desa ini yang tidak bersekolah. Setelah beranjak dewasa mereka langsung menekuni suatu pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hariannya: menjadi petani ubi jalar atau pencari kepiting bakau.

Seiring dengan pemekaran Kecamatan Pulau Banyak Barat dari kecamatan induknya, Kecamatan Pulau Banyak, barulah dibangun sarana pendidikan tingkat SD di sini. Sedangkan untuk tingkat SMP dan SMA belum ada di sini.

Murid yang tamat SD umumnya lebih memilih untuk menyambung sekolah ke pesantren atau dayah yang ada di Banda Aceh atau Aceh Besar karena mendapat beasiswa dari yayasan.

Sementara untuk perumahan penduduk desa ini berada di pinggiran pegunungan dan  jauh dari bibir pantai. Alasan mereka tinggal dekat pegunungan karena memudahkan untuk bercocok tanam dan terhindar dari gangguan berkala ketika air pasang laut (rob) naik.

Jaringan internet di desa ini belum memadai. Bila kita hendak berkomunikasi menggunakan jaringan selular haruslah memilih lokasi di area pelabuhan yang jaraknya 1 kilometer dari perumahan penduduk. Sedangkan di lokasi perumahan warga hanya ada titik (spot) tertentu yang kuat sinyalnya.

Begitulah saban harinya yang mereka lalui, sedangkan pengguna handphone (hp) di desa ini hampir setiap orang memilikinya. Namun, hanya untuk pajangan saja dan sesekali mereka gunakan untuk mendengarkan musik.

Adapun hasil tangkap kepiting bakau, ikan, dan panen ubi jalar tersebut biasanya mereka jual kepada agen yang datang ke desa itu untuk membeli hasil tangkapan/panen mereka. Sedangkan ubi jalar mereka bawa ke Desa Ujung Sialit untuk dijual pada setiap hari pekan (onan).

Ubi jalar ini bisa terjual mencapai puluhan kilogram setip hari pekannya. Pelanggannya adalah masyarakat Kepulauan Banyak dan  para agen yang berjualan kain setiap hari pekan yang berasal dari Singkil dan ada juga memesan untuk diantarkan ke rumah warga di Desa Pulau Balai.

Sementara itu, penghasilan dari laut seperti kepiting bakau dan tangkapan ikan itu merupakan penghasilan tambahan sambari menunggu panen ubi jalar.

Mereka juga berharap agar di Desa Suka Makmur ini diperhatikan dengan serius oleh pemerintah. Khususnya di bidang pengelolaan tambak kepiting dan budi daya ubi jalar.

Selama ini penghasilan masyakat desa ini dari kepiting bakau dan penjualan ubi jalar hanya mencukupi kebutuhan semata karena harga jualnya yang murah. Penyebabnya adalah karena keterbatasan moda transportasi jika ubi jalar ini dipasarkan antarpulau, di samping harga jual sangat ditentukan oleh  penampung (tauke bangku) yang jumlahnya pun tak banyak. Jadi, persaingan harga jual kurang kompetitif.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved