Jurnalisme Warga
Suara yang Tak Padam: Kiprah KKR Aceh Sembuhkan Luka
Setelah penandatanganan Nota Kesepahaman Damai di Helsinki, Finlandia, pada tahun 2005, masyarakat Aceh menaruh harapan besar
ADAM JULIANDIKA, Mahasiswa Magister Hukum Tata Negara Universitas Abulyatama Aceh, melaporkan dari Lampoh Keude, Aceh Besar
Konflik bersenjata 29 tahun antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI meninggalkan luka sosial yang mendalam: hilangnya nyawa, trauma psikis, pengungsian massal, dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Setelah penandatanganan Nota Kesepahaman Damai di Helsinki, Finlandia, pada tahun 2005, masyarakat Aceh menaruh harapan besar terhadap hadirnya keadilan dan pemulihan bagi para korban konflik. Dalam konteks inilah, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh lahir sebagai salah satu wujud nyata dari amanat perdamaian.
KKR Aceh dibentuk untuk menggali kebenaran atas peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM masa lalu dan memberikan ruang bagi para korban untuk bersuara dan mendapatkan hak-haknya: restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan hak atas pemulihan, termasuk informasi yang relevan tentang mekanisme reparasi yang jelas.
Dengan kata lain, keberadaan KKR bukan sekadar simbol politik pascakonflik, melainkan juga bagian penting dari proses penyembuhan sosial yang harus terus dijaga keberlanjutannya.
KKR Aceh berdiri atas dasar kebutuhan mendesak untuk menegakkan keadilan bagi korban konflik bersenjata yang pernah mengguncang daerah ini. Pembentukannya bukan sekadar hasil keputusan politik, melainkan lahir dari amanat perdamaian yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Regulasi ini memberi ruang bagi Aceh untuk memiliki lembaga khusus yang berfungsi mengungkap kebenaran atas pelanggaran HAM di masa lalu.
Ketentuan ini kemudian diperkuat melalui Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh, yang menjadi dasar operasional lembaga tersebut dalam menjalankan tugasnya di wilayah hukum Aceh.
Mandat utama KKR Aceh berfokus pada tiga hal penting: menemukan kebenaran, mengungkap pelanggaran HAM, dan memberikan rekomendasi pemulihan bagi korban maupun keluarganya.
Lembaga ini menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyampaikan kesaksian tanpa rasa takut, sekaligus sarana untuk merekam memori kolektif atas peristiwa kelam masa lalu.
Melalui pendekatan ini, KKR berusaha memastikan bahwa pengalaman korban tidak hilang ditelan waktu dan dapat menjadi dasar pembelajaran bagi generasi mendatang. Kebenaran yang terungkap diharapkan menjadi jembatan menuju rekonsiliasi sosial yang lebih bermakna, bukan sekadar pengakuan formal di atas kertas.
Sejak resmi beroperasi, KKR Aceh berupaya menghadirkan kembali suara para korban yang lama terpinggirkan. Melalui kegiatan pendokumentasian, ribuan kesaksian telah dikumpul dari berbagai wilayah. Cerita-cerita itu mencakup pengalaman kehilangan anggota keluarga, kekerasan, penahanan sewenang-wenang, dan penderitaan lain yang dialami semasa konflik.
Proses pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan empati agar para penyintas merasa aman dan dihargai. Dari kesaksian tersebut, KKR menyusun laporan tematik yang menjadi dasar untuk memahami pola pelanggaran dan dampaknya terhadap kehidupan sosial.
Selain pengumpulan data, KKR juga aktif melakukan publikasi dan audiensi dengan berbagai lembaga. Laporan hasil kerja disampaikan kepada pemerintah daerah, DPR Aceh, dan instansi pusat yang berwenang dalam urusan HAM.
Beragam diskusi publik digelar untuk membangun kesadaran tentang pentingnya keadilan transisional. Melalui kerja sama dengan universitas, media lokal, dan komunitas, KKR membuka ruang bagi masyarakat untuk ikut memantau dan menilai proses yang berjalan. Langkah ini memperkuat posisi lembaga sebagai penghubung antara negara dan warga dalam upaya mencari kebenaran.
Kiprah KKR juga tampak dalam program reparasi dan pemulihan berbasis komunitas. Program tersebut diarahkan untuk membantu korban secara nyata melalui dukungan sosial, kesehatan, dan ekonomi. Beberapa wilayah bahkan mulai mengembangkan kegiatan pemberdayaan korban dengan melibatkan organisasi lokal. Dampaknya terasa, terutama bagi mereka yang selama ini hidup dalam diam tanpa pengakuan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Adam-Juliandika-Mahasiswa-Pascasarjana.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.