Jurnalisme Warga

Menelisik Peluang Kerja Lulusan Prodi Kriya ISBI Aceh

Program Studi (Prodi) Kriya Seni telah hadir seiring lahirnya ISBI lebih dari delapan tahun lalu. Berdiri sejajar dengan prodi-prodi lain di ISBI Aceh

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
ICHSAN, M.Sn., Kepala Museum Kota Juang Bireuen dan Dosen ISBI Aceh 

Oleh ICHSAN MSn

Kepala Museum Kota Juang Bireuen dan Dosen ISBI Aceh, melaporkan dari Kota Jantho

HARDIKNAS pada 2 Mei lalu di Aceh Besar disambut oleh beberapa dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh dengan melakukan Diskusi dan Evaluasi Pendidikan Seni dan Budaya di Aceh. Khususnya pengetahuan dan arahan pendidikan kriya seni di ISBI Aceh yang dimotori oleh Ketua Jurusan Seni Rupa dan Desain, Saniman Andikafri, di Taman Sari Kota Jantho.

Program Studi (Prodi) Kriya Seni telah hadir seiring lahirnya ISBI lebih dari delapan tahun lalu. Berdiri sejajar dengan prodi-prodi lain di ISBI Aceh, prodi kriya seni tampaknya menjadi prodi yang unik, antara dianggap memberi peluang kerja besar yang tak terlalu prestise atau mungkin tak memberi peluang kerja karena dianggap kalah dengan digitalisasi dan teknologi.

Pro dan Kontra Lahirnya Prodi Bahasa Aceh di ISBI Aceh

Yang lebih membuat akademisi dan kriyawan tertegun adalah anggapan belajar kriya seni “hanya akan menjadi tukang kok harus kuliah” mulai menjadi tren baru. Hal ini mulai tampak menjamur di beberapa sekolah menengah, bahkan sampai ke perguruan tinggi.

Berdasarkan hasil riset tahun 2022 di SMK Negeri 4 Lhokseumawe—yang sekolah tersebut memiliki jurusan kriya seni dan hampir setiap tahun menjadi cikal bakal dari calon mahasiswa ISBI Aceh pada Prodi Kriya Seni—didapat hasil bahwa minat generasi muda khususnya yang ada di SMK Negeri 4 Jurusan Kriya Seni mengalami penurunan spirit belajar yang sangat drastis atas pilihan belajar di bagian kriya seni. Salah satu simpulan variabel yang ditemukan adalah faktor tidak adanya penjelasan mendetail tentang Prodi Kriya Seni baik input dan output serta follow up atau pendampingan di luar jam kerja normatif menjadi persoalan utama.

Saat ini ada dua sekolah menengah kejuruan (SMK) yang negeri di Aceh yang memiliki jurusan seni kriya. Pertama, di Banda Aceh, yang kedua adalah SMK Negeri 4 Lhokseumawe. Problematika SMK Negeri 4 Lhokseumawe tentu akan menjadi problem ISBI Aceh pula jika kita kaitkan pada sisi ISBI sebagai lembaga pendidikan lanjutan dari sekolah tersebut.

Jika ditelaah lebih jauh, maka akan banyak pula keterkaitannya, termasuk calon mahasiswa Prodi Kriya ISBI Aceh yang tentu berharap pada SMK Negeri 4 Lhokseumawe meskipun tidak sepenuhnya.

ISBI Aceh Buka Prodi Bahasa Aceh dan Prodi Kajian Sastra dan Budaya

Menelisik lebih jauh, bila minat kriya seni mengalami benturan sejak dini, bahkan jauh sebelum melangkah ke perguruan tinggi, dapat dipastikan ISBI Aceh juga akan mengalami hambatan lebih awal, khususnya dari sisi kuantitas minat atau calon mahasiswa yang akan dididik di ISBI Aceh.

Dalam observasi yang dilakukan secara terpisah, dalam diskusi penulis melirik salah satu PTN yang juga memiliki program studi kriya di luar Aceh, yakni Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Fenomenanya sama. Tampak jelas bahwa jumlah tenaga pengajar lebih banyak daripada jumlah mahasiswa.

Walaupun tidak 'apple to apple' untuk menyamakan PTN di luar Aceh yang sudah lama berdiri dengan ISBI Aceh yang baru berusia kurang dari sembilan tahun. Tentu ini dapat menjadi pembelajar dan perhatian tersendiri bagi ISBI Aceh khususnya agar lebih sigap dan kreatif dalam menyikapi fenomena ini, khususnya pada Prodi Kriya Seni.

Lalu, mengapa kriya tidak populer dan apa pentingnya kuliah kriya seni, sedangkan produk karya seni kriya seperti kursi perabotan, bahkan produk lainnya, telah ada tanpa harus sekolah atau kuliah seni kriya? Inilah yang menjadi dasar pemikiran dalam pendidikan kriya seni saat ini. Ketidakmampuan menjawab dan menerjemahkan kriya seni secara mendalam membuat kriya seni kurang diminati.

Pada momentum Hardiknas 2023, ISBI Aceh melalui Prodi Kriya Seni saat ini mulai melangkah lebih, menyamakan frekuensi, ide, serta menumbuhkan semangat bersama antarpendidik atau dosen dalam melahirkan lulusan yang siap kerja dan unggul dalam pengetahuannya, serta memiliki kepribadian yang luhur. Karena hampir dapat dipastikan persentase yang kuliah ke Prodi Kriya didominasi oleh mereka yang bukan masuk karena hati, melainkan karena keadaan, hingga muncul istilah “jalani saja, pat yang reubah hinan tapeuglah”. Fenomena apatisme ini yang seharusnya diidentifikasi dan diagnosis untuk kemudian dicarikan solusi konstruktif agar siapa pun yang kuliah di Prodi Kriya Seni ISBI Aceh benar-benar benar belajar mengisi “ulee" (kepala), bukan “pruet" (perut).

Fenomena kuliah di kriya menjadi “utoh” (tukang) ini tak boleh menjadi ekspektasi sepihak. Ilmu pengetahuan kriya seni lahir bukan karena mengakomodasi calon mahasiswa atau pelajar yang tidak lulus di prodi lain, tetapi karena ilmu pengetahuan kriya seni amatlah dekat dengan kerja nyata di sekitar kita. Kerangka dalam berpikir solutif, kreatif, inovatif, dan adaptif menjadi salah satu bagian dalam pendidikan di dunia kriya yang harus ditingkatkan.

Melalui berbagai solusi atas beragam fenomena yang didiskusikan pada hari Hardiknas lalu, diharapkan mahasiswa Prodi Kriya Seni ISBI Aceh lulus menjadi kriyawan yang unggul, bernilai, prestise, dan berprestasi.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved