Opini

Fenomena Dokter Minus Etika

Kode Etik Kedokteran adalah aturan-aturan atau pedoman tentang sikap dan perilaku yang harus dimiliki dan dipatuhi seorang dokter.

Editor: mufti
IST
Sri Wahyuni, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh 

Sri Wahyuni, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh

BERBICARA tentang sejarah, sebenarnya Kode Etik Kedokteran bukan hal baru. Sejak awal muncul ilmu kedokteran, Hippocrates dan beberapa ahli pelopor kedokteran kuno telah meletakkan dasar-dasar untuk terbinanya suatu tradisi kedokteran yang mulia. Hal ini kemudian terus mengalami perkembangan dan pembaharuan, hingga pada era modern ini.

Kode Etik Kedokteran adalah aturan-aturan atau pedoman tentang sikap dan perilaku yang harus dimiliki dan dipatuhi seorang dokter. Memuat hal yang boleh dilakukan dan yang harus dihindari. Dengan berpedoman pada kode etik, seorang dokter diharapkan dapat mengamalkan profesinya dengan baik.

Kode Etik Kedokteran sendiri memuat empat prinsip utama, yakni beneficence, non-maleficence, autonomy, dan justice. Artinya seorang dokter wajib menjunjung tinggi kebermanfaatan bagi pasien (beneficence), tidak boleh merugikan pasien (non-maleficence), menghormati keputusan pasien dalam menentukan pengobatan (autonomy), adil dengan tidak membeda-bedakan pasien berdasarkan latar belakang apa pun (justice), berperilaku jujur atau tidak berbohong (veracity), dan memiliki komitmen terhadap pelayanan sehingga menimbulkan rasa saling percaya (fidelity).

Selain prinsip utama tersebut, Kode Etik Kedokteran juga terdapat 21 pasal yang mengatur kewajiban umum seorang dokter, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap sejawat, dan kewajiban dokter terhadap dirinya sendiri. Kode Etik Kedokteran pada intinya bertujuan untuk memberikan dan menjaga mutu pelayanan kesehatan terbaik kepada pasien.

Seorang dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat pasti akan berusaha atau harus memberikan yang terbaik bagi pasiennya karena sesuai dengan tujuan diadakannya Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 dimana Pasal 4 mengatakan bahwa Setiap orang berhak atas kesehatan. Apabila dokter lalai dalam melaksanakan tugasnya maka tidaklah dapat dihindari dokter akan berhadapan dengan tuntutan hukum.

Penerapannya, tak semua dari perilaku spesifik dokter dapat dirumuskan dalam kode etik. Ini mengingat kode etik hannyalah daftar ketentuan tertulis dari moral rules. Moral rules sendiri baru bisa dirumuskan jika perilaku spesifik itu hampir selalu benar atau hampir selalu salah. Pada kenyataannya, banyak hal yang tak bisa dipastikan moral rules-nya secara hitam putih. Karena itu, moral standar dan moral principles perlu dijadikan acuan saat kode etik tak mampu menjawab isu-isu dari etika tersebut.

Etika kedokteran sendiri mengatur bagaimana seharusnya dokter berperilaku dan melaksanakan pengalaman profesinya. Etika ini hanya berlaku di lingkungan sendiri yang tak mengatur kelompok masyarakat lain, mengandung larangan dan kewajiban, menggugah sikap manusiawi dalam melayani, disusun dan diterapkan organisasi profesi yang bersangkutan.

Profesi luhur

Profesi luhur sepantasnya hanya dipercayakan kepada orang yang memiliki etika luhur pula. Dalam pengabdiannya dokter mengutamakan kepentingan masyarakat. Etika kedokteran dibutuhkan agar dokter tak berbuat hal tercela dan menjaga keluhuran profesinya. Dokter yang minus etika dapat merugikan kemanusiaan. Orang yang bergelut dengan nyawa manusia seharusnya orang-orang pilihan, mulia akhlak, rendah hati dan tidak tamak.

Ada tiga alasan mengapa Kode Etik dan Etika sangat diperlukan. Pertama, karena profesi kedokteran melayani masyarakat, karena semua orang butuh pelayanan dokter. Dalam pelayanan kedokteran terjadi suatu hubungan kepercayaan antara dokter dan pasien. Hubungan kepercayaan yang amat tinggi ini yang memunculkan tanggung jawab dokter sebagai profesi. Kedua, untuk mencegah dokter berbuat tercela kepada pasien. Ketiga, menjaga martabat dan keluhuran profesi kedokteran.

Dalam KODEKI telah diatur perbuatan atau tindakan yang termasuk kategori pelanggaran. Kategori pelanggaran tersebut dibedakan menjadi dua yakni pelanggaran yang bersifat etika murni dan pelanggaran yang bersifat etikolegal. Pelanggaran yang bersifat etika murni adalah perbuatan atau tindakan yang hanya melanggar norma etika seperti yang diatur dalam KODEKI. Contoh dari pelanggaran yang bersifat etika murni adalah menerima imbalan yang tidak wajar.

Sementara pelanggaran yang bersifat etikolegal adalah tindakan atau perbuatan yang melanggar norma etika sekaligus memenuhi unsur pelanggaran hukum. Contoh dari pelanggaran yang bersifat etikolegal adalah melakukan pelecehan seksual terhadap pasien.

Siapa diuntungkan

Ada kasus yang terjadi pada tahun 2022 dimana oknum dokter melakukan perbuatan tercela kepada salah seorang pasiennya di tempat praktik. Buntut dari perilaku dokter terhadap pasiennya tersebut berakhir dengan perselingkuhan. Oknum dokter tersebut berselingkuh dengan pasien dan melakukan hubungan terlarang di tempat praktik berkali-kali secara diam-diam hingga perselingkuhan tersebut diketahui oleh istri dari oknum dokter tersebut. Perdamaian yang dilakukan oknum dokter tersebut cacat hukum dikarenakan oknum dokter tersebut merekayasa perkara yang sebenarnya terjadi kepada saksi.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved