Jurnalisme Warga
Mencari DNA Seniman di ISBI Aceh
Masyarakat berhak menentukan bahwa sebuah karya seni itu merupakan bagian dari mereka atau tidak. Ketika
Oleh Asrinaldi SDs MSn *)
Dosen dan Anggota FAMe Chapter Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, melaporkan dari Jantho, Aceh Besar
Lebaran kemarin, seorang guru bercerita tentang seorang seniman kepada saya. Ia melihat ciri khas yang tampak pada orang tersebut, mulai dari rambut panjang, celana jin yang robek, aksesori nyentrik, dan segala hal yang ia tangkap baik secara visual maupun ideologi.
• Menelisik Peluang Kerja Lulusan Prodi Kriya ISBI Aceh
Hanya senyum yang dapat saya sikapi seraya bertanya-tanya apakah memang begitu entitas seniman itu?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), seniman disebut sebagai seseorang yang mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan dan menggelarkan karya seni (pelukis, penyair, penyanyi, dan sebagainya).
Sosok seniman disebut lahir dari sebuah konsistensi menuangkan pikiran dan gagasan ke dalam sebuah karya, apa pun jenis dan medianya. Sehingga, hal tersebut melekat ke dalam diri si seniman dan akhirnya dapat dinilai, diterima, dan diakui oleh masyarakat “kesenimanannya”.
Dengan mempertimbangkan referensi sedikit tersebut, berbicara seniman berarti berbicara kekaryaan, bukan penampilan visual yang melekat pada diri individu.
Untuk diterima oleh masyarakat, semestinya seniman menghadirkan karya-karya yang memang menjadi jiwa dan hidup dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. Ada nilai-nilai sosial, kearifan lokal, adat istiadat, kondisi alam, dan nilai budaya yang memberikan pengaruh dan gagasan dalam penciptaan karya seni.
Jika kita melihat sejarah perkembangan seni di dunia, maka fenomena ini terjadi di setiap wilayah yang ada. Di Aceh misalnya, kita dapat melihat karya-karya seni tradisi yang hadir, baik itu musik, seni ukir, rupa, pertunjukan dan lainnya, begitu melekat dan seirama dengan khazanah ajaran agama Islam.
Hal ini tidak serta-merta terjadi begitu saja.
Ada sejarah panjang yang membentuk kaitan antara seni dan nilai agama Islam di Tanah Rencong.
Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa menjadi seniman di Aceh, hendaknya mampu memahami nilai-nilai kearifan budaya yang ada, termasuk nilai ajaran agama.
Menurut sumber, seniman di Aceh dahulu sering dipanggil dengan sebutan 'syeh' atau 'ceh' yang be6rrti orang yang tidak hanya memiliki kemampuan di bidang seni yang mereka kuasai, tetapi juga dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai luhur dari tempat mereka lahir.
Namun, pertanyaan selanjutnya adalah apakah seniman Aceh saat ini benar-benar ingin membawa nilai-nilai keacehan ke dalam kebudayaan mereka?
Apakah mereka benar-benar dapat menjadi ahli waris dan penerus seni di Aceh? Jika karya-karya yang dihasilkan dan sikap bersosial di dalam masyarakat sangat jauh dari nilai budaya dan ajaran agama Islam, semestinya seniman harus menyadari bahwa telah terjadi pergeseran nilai-nilai budaya yang memprihatinkan di tengah kemajuan ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) saat ini.
Jika semua jawabannya adalah tidak, maka rasanya perlu adanya kesadaran dan upaya untuk menyadarkan kembali bahwa seniman Aceh memiliki “DNA” dari tempat mereka berasal, hidup dan tinggal di dalam masyarakat.
Langkah ini wajib dilakukan agar karya-karya seni yang hadir dapat tetap terintegrasi, dalam artian terjadi kembali penyesuaian unsur dan nilai kebudayaan sehingga serasi dengan fungsinya dalam kehidupan. Hal ini dapat dilihat dari unsur bahasa yang ada dalam karya, penampilan berbusana, cara bertutur, pemilihan objek-objek visual, pemilihan instrumen di dalam musik, serta amanat maupun pesan moral yang diusung wajib sesuai dengan kearifan setempat.
Di tengah-tengah perhatian dan upaya pelindungan terhadap nilai-nilai seni budaya Aceh yang saat ini masih belum maksimal, seniman seharusnya mengambil peran tanggung jawab yang besar untuk mempertahankan kesenian tersebut, dengan mewarisinya.
Sehingga, mereka memiliki “hak” penuh untuk memegang kendali pelestarian budaya yang ada dengan upaya-upaya positif yang dilakukan.
Namun, “hak waris” tersebut akan otomatis tercabut, apabila mereka sendiri tidak memiliki “DNA” sah di dalam karya mereka sebagaimana yang dimaksud.
Ketika karya yang lahir, jauh dari nilai kearifan lokal, maka akan menjadi polemik di masyarakat. Masyarakat akan menganggap karya tersebut sebagai “asing” dan bukan bagian dari mereka. Pada tahap yang lebih memprihatinkan, karya tersebut akan ditentang kehadirannya dan tertolak dengan sendirinya.
Seperti yang disampaikan olah Iskandar Tungang, Dosen ISBI Aceh pada Podcast Meudrah pekan lalu, bahwasanya banyak terjadi penolakan oleh masyarakat terhadap karya seni yang dihasilkan oleh seniman lokal saat ini. Hal itu dikarenakan tidak adanya identitas yang jelas dari karya yang dihasilkan.
“Masyarakat berhak menentukan bahwa sebuah karya seni itu merupakan bagian dari mereka atau tidak. Ketika seniman tidak mengerti dengan akar kebudayaan masyarakat, maka karya yang dihasilkan akan terbentur dengan sendirinya.
Saat ini banyak seniman Aceh yang tidak paham akan kesenian yang ada di Aceh, sementara banyak masyarakat awam lebih punya sensibilitas yang besar terhadap kesenian di Aceh," imbuhnya.
Perbaikan yang dapat dilakukan adalah dengan memahami akar kebudayaan Aceh yang menjadi kunci untuk menciptakan karya seni yang autentik dan bernilai. Seniman harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang sejarah, tradisi, dan budaya Aceh agar dapat menghasilkan karya seni yang mampu merefleksikan identitas budaya Aceh secara utuh.
Dengan demikian, seniman di Aceh tidak hanya menciptakan karya seni yang indah, tetapi juga mampu menggambarkan esensi budaya Aceh yang mendalam penting bagi seniman menempatkan diri di dalam masyarakat Aceh.
Seniman tidak hanya berkarya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masyarakat. Dalam hal ini, seniman harus memahami nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat Aceh agar karyanya dapat diapresiasi oleh masyarakat setempat.
Hal ini juga memungkinkan seniman untuk lebih mudah berkomunikasi dengan masyarakat dan memperluas jangkauan karya seninya.
Seniman di Aceh juga harus berperan aktif dalam memperkenalkan kesenian Aceh ke dunia luar. Sebagai salah satu bentuk seni yang paling terkenal di Aceh, karya seni menjadi salah satu media promosi pariwisata yang efektif bagi Aceh.
Dalam hal ini, seniman harus memiliki kemampuan untuk mengemas karya seni mereka agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat internasional. Dengan begitu, Aceh dapat dikenal secara global dan menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Aceh.
Sebuah harapan tertuang bahwa seniman di Aceh diharapkan memiliki sikap profesionalisme yang baik dalam berkarya. Seniman seni rupa harus dapat menunjukkan keahlian dan keterampilan yang memadai dalam menciptakan karya seni yang berkualitas.
Integrasi antara nilai budaya dan karya seni penting dilakukan, terutama melalui dunia pendidikan.
ISBI Aceh, sebagai satu-satunya kampus seni negeri yang berada di Aceh, persisnya di Kota Jantho, telah menuai hasil yang baik melalui usaha-usaha yang telah dilakukan.
ISBI Aceh akan dan terus mengambil peran sebagai lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pelatihan seni dan budaya bagi para seniman di Aceh. Dalam proses pendidikan dan pelatihan, ISBI Aceh membekali para seniman dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam menciptakan karya seni yang berkualitas dan mampu merefleksikan nilai budaya Aceh secara utuh.
Peran penting dalam mengintegrasikan kesenian dan nilai budaya di Aceh melalui program-program yang diselenggarakan akan terus menjadi perhatian bagi ISBI Aceh.
Penyelenggaraan berbagai program pendidikan dan pelatihan seni dan budaya yang melibatkan para seniman, masyarakat, dan pemerintah daerah juga menjadi menjadi bagian dari langkah ISBI Aceh ke depan.
Program ini bertujuan untuk memperkenalkan seni dan budaya Aceh secara lebih luas kepada masyarakat dan mempromosikan keindahan dan keunikan budaya Aceh dalam skala global.
Saya berharap bahwa selanjutnya aka ada seniman yang memang menjadi “Anak kandung” bagi Aceh, yang membawa nilai-nilai luhur di dalam karyanya. Sehingga, karya yang lahir tidak lagi berbeda arah dan hilang identitas di masa depan.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.Dosen dan Anggota FAMe Chapter Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
• Lantik Puluhan Pejabat Eselon III dan IV, Pj Bupati Pidie: PNS Jangan Pamer Kemegahan
• VIDEO VIRAL Atlet Silat Perwakilan Indonesia Dipaksa Mundur Oleh Kamboja di Final SEA Games 2023

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.