Opini

Pemilu 2024 Proporsional Terbuka atau Tertutup?

PERBEDAAN pandangan elite partai politik soal sistem pemilihan anggota legislatif di Pemilu 2024 kembali mencuat.

Editor: mufti
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Marzuki Ahmad SHI MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Jabal Ghafur Sigli/UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Dalam tulisan ini, dari awal saya tidak tertarik dan terkesan menghindari terkait pembahasan tiga produk hukum yang telah mengerdilkan kekhususan demokrasi lokal serta tidak memiliki relevansi antara UUPA dengan UU Pemilu. Yaitu pertama, dari sisi penamaan yang berbeda dengan nama. Pelaksana pemilu di daerah lain pada umumnya, keberadaan KIP diakui merupakan bagian dari KPU (Pasal 1 UUPA). Kedua, model rekrutmen anggota KIP berbeda dari rekrutmen anggota KPU di daerah. Anggota KIP Aceh direkrut  DPRA dan DPRK)l. Ketiga, jumlah anggota KIP berbeda dari jumlah anggota KPU di daerah lainnya yang diatur sesuai dengan jumlah pemilih di daerah tersebut. Adapun jumlah anggota KIP Aceh ditentukan sebanyak 7 orang untuk provinsi dan 5 orang untuk kabupaten/kota (Pasal 57 UUPA). Keempat, masa jabatan anggota KIP Aceh dapat diperpanjang bilamana tahapan pemilu dan pemilihan di Aceh sedang berlangsung (Pasal 58 ayat 1 Qanun 6/2016, namun telah dihapus oleh Qanun 6/2018).

Berdasarkan asas tersebut, sejatinya aturan bagi KIP Aceh harus disesuaikan dengan UU Pemilu, bukan dengan UUPA. Sebab UUPA nyatanya bukanlah aturan khusus pemilu, melainkan aturan umum tentang kewenangan pelaksanaan otonomi khusus Aceh, dan di dalamnya hanya mengatur sedikit tentang pelaksanaan dan kelembagaan pemilu. Maka tatkala ada aturan yang lebih khusus tentang pemilu, berdasarkan asas lex specialis sistematis, aturan pemilu dalam UUPA harus disesuaikan dengan UU Pemilu yang lebih khusus.

Seharusnya ini harus disadari dari awal saat para penggagas damai Aceh memformulasi produk Partai Lokal, supaya Pemerintah Pusat tidak beranggapan Parlok ini ibarat nikah tidak bersertifikat.
Penulis berpandangan kita harus keluar dari kejumudan berpikir dan pertentangan terkait sistem pemilihan proporsional terbuka atau kembali ke proporsional tertutup atau opsi kombinasi dari dua sistem ini. Aceh harus melihat secara alam sadar, atau dengan bahasa lain secara kacamata intelektual falsafah demokrasi lokal bahwa sejak awal MoU damai diteken, pemerintah pusat telah mengatur strategi jebakan atau dalam bahasa indah dinukilkan “belum sepenuhnya bisa menjalankan desentralisasi secara general di Provinsi Aceh”. Karena belum ada aturan secara normatif hukum nasional bisa dilakukan selain memberi ruang namun tidak memberi akses.

Terakhir, kita tidak perlu merevisi UUPA yang sudah terlanjur dipaksakan lahir, dengan proses persalinan bidan dari Helsinki. Namun bagaimana hari ini, di saat semua kalangan diam tidak ada jawaban, tidak ada analisa dari siapapun bahkan tokoh intelektual sekalipun untuk memformulasi Aceh harus bermarwah dalam bingkai NKRI. Atau dengan opsi yang pernah digelorakan oleh rekan-rekan SIRA Referendum. Aceh harus terus hidup dan berevolusi, dengan segala sumbangsihnya untuk negeri ini.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved