Kupi Beungoh

Gubernur Aceh - Apa Beda Soekarno, Soeharto, Gus Dur, SBY, dan Partai Aceh - Bagian I

hampir semua presiden yang pernah berkuasa, memberikan perhatian yang tidak biasa dan sangat sungguh-sungguh terhadap kepemimpinan di Aceh

Editor: Zaenal
YouTube Serambinews
Guru Besar USK, Prof Ahmad Humam Hamid. 

HAMPIR tidak ada hal yang sangat sentral yang menjadi catatan dan perhatian di Aceh, dan bahkan sampai tingkat tertentu, perpolitikan nasional, kecuali tentang gubernur Aceh.

Hal ini tidak mengherankan, karena memang, di samping tugas utama gubernur sebagai kepala daerah maupun kepala pemerintahan, Aceh juga mempunyai catatan khusus yang membutuhkan perhatian tersendiri dari Pemerintah pusat.

Catatan itu tak lain karena Aceh mempunyai ciri sejarah yang unik secara politis dan sosiologis.

Di samping itu, dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, Aceh dikenal sebagai daerah dengan jumah komulatif tahun konflik yang panjang dari tahun damai, semenjak Indonesia merdeka.

Tidak mengherankan, hampir semua presiden yang pernah berkuasa, memberikan perhatian yang tidak biasa dan sangat sungguh-sungguh terhadap kepemimpinan daerah.

Salah satu ciri utama yang sangat menonjol dari sejarah kebijakan pimpinan nasional terhadap pengangkatan dan keberadaan gubernur Aceh, sangat layak disebut sebagai fatsun politik pemerinah pusat.

Sesuai dengan artinya, fatsun politik itu menyangkut dengan etika, atau sopan santun politik, yang dipegang teguh oleh hampir semua presiden yang pernah berkuasa.

Fatsun itu memang tidak tertulis secara formal, namun sangat akurat secara realitas.

Apa yang tercatat dari realitas fatsun itu adalah, gubernur Aceh yang dipilih dan ditunjuk adalah orang Aceh, kecuali untuk situasi yang “sangat- sangat” khusus, itupun umumnya untuk jangka waktu yang “sangat-sangat” pendek, kecuali pada kasus menjelang dan dalam masa DI/TII.

Itupun memang karena hampir semua elite Aceh ikut atau terkait dengan pemberontakan.

Fatsun itu dipegang teguh, baik oleh presiden yang sangat diktator, seperti presiden Soeharto, maupun presiden yang sangat demokratis seperti Gus Dur, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Pilihan dan pengangkatan gubernur Aceh yang dibuat oleh hampir semua presiden itu, memang sebuah keputusan yang sangat krusial.

Dalam banyak hal, kebijakan pimpinan Aceh yang dipilih dan ditunjuk menyangkut dengan kombinasi kualitas pribadi yang terkait dengan kapasitas, integritas, dan kepercayaan pimpinan, berikut dengan penghargaan terhadap marwah masyarakat Aceh.

Hal itu terlihat sangat jelas, selama masa pemerintahan “otoriter” presiden Soeharto, yang meneguhkan fatsun itu secara permanen.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (I) - Dari  Klasik Hingga Kontemporer

Dari Era Soeharto Hingga Jokowi

Ketika Soeharto berkuasa, enam gubernur definitif yang walaupun dipilih oleh DPRD Aceh pada masa itu, pada hakekatnya “diseleksi” dan “ditunjuk” oleh Soeharto.

Gus Dur dan SBY juga menunjuk masing-masing satu dan dua pejabat gubernur, semuanya orang Aceh.

Hanya satu pejabat gubernur, untuk masa empat bulan pada masa Soeharto yang bukan orang Aceh, yakni Eddy Sabara yang kala itu menjabat  Irjen Depdgari.

Hal itu karena karena tak ada orang Aceh di Departemen Dalam Negeri yang memenuhi kualifikasi administratif untuk posisi itu.

Ketika Jokowi menunjuk Sudarmo, yang pada masa itu sedang menjabat salah satu Dirjen di Departemen dalam Negeri, itu juga untuk masa yang sangat pendek.

Pada Juli 2022, saat Jokowi mengangkat Ahmad Marzuki sebagai pejabat gubernur Aceh untuk masa waktu 1 tahun, yang berpeluang diperpanjang sampai dengan akhir 2024 fatsun itu sepertinya tak berlaku lagi.

Apa yang terjadi adalah sebuah kejadian “anomali” tidak biasa yang pernah dialami oleh Aceh, bahkan ketika “orang kuat” seperti Soeharto berkuasa.

Apakah salah presiden Jokowi menunjuk Ahmad Marzuki menjadi pejabat gubernur Aceh?

Apakah salah Ahmad Marzuki mau menjadi, dan bahkan mungkin berambisi menjadi pejabat gubernur Aceh?

Apakah salah ketika menurut sumber yang berkembang menyebutkan, Menteri Luhut Binsar Panjaitan sangat berperan dalam pengangkatan Marzuki?

Semua mereka tidak bersalah, mulai dari  Presiden Jokowi, menteri Luhut, apalagi Ahmad Marzuki.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer XVI - Daud Beureueh: Kecewa dan Berontak

Penentunya di Partai Aceh

Presiden Jokowi merujuk kepada tiga nama yang dikirim oleh DPRA, Menteri Luhut juga merujuk kepada usulan itu.

Bagi Ahmad Marzuki, ia adalah prajurit yang mengabdi kepada negara yang siap untuk tugas apapun, sekalipun harus menjalani pensiun dini dari kesatuannya.

Baik Jokowi, Luhut, apalagi Marzuki, penentuan pejabat Gubernur Aceh hanya dimungkinkan karena secarik kertas dari DPRA yang untuk ukuran apapaun dimotori oleh Partai Aceh.

Surat rekomendasi itu juga ditandatangani oleh ketua DPRA yang mewakili Partai Aceh.

Sebagai mantan Pangdam  Kodam Iskandar Muda, Marzuki sangat layak jika berkeinginan, bahkan berambisi untuk menjadi pejabat gubernur Aceh, karena ia telah bergaul dan tahu Aceh secara lebih dekat.

Dalam sejarah, keinginan yang serupa pernah menimpa paling kurang tiga jenderal, Panglima Kodam I Iskandar Muda pada masa Soeharto, namun tak seorangpun dizinkan oleh sang presiden untuk menduduki jabatan itu?

Baca juga: 3 Eks Kepala Daerah dan 1 Bupati Aktif Turun Gunung Perkuat Partai Aceh Rebut Kursi DPRA 

Sejarah Penunjukan Gubernur Aceh

Sejarah “pemilihan” dan “penunjukan” gubernur Aceh sebenarnya telah dimulai sejak presiden Soekarno berkuasa.

Penunjukan Daud Beureueh sebagai gubernur militer pada 1947, yang kemudian menjadi gubernur sipil pada masa ujung jabatannya adalah penghargaan pemerintah pusat terhadap jasa dan kepemimpinannya dalam mengusir Belanda dari Aceh.

Ketika Aceh bergabung dengan Sumatera Utara, dan pemimpin Aceh berstatus sebagai residen sebelum Beureueh menjadi gubernur, Soekarno menunjuk dua residen, Teuku Nyak Arief, dan Teuku Daudsyah.

Kala itu, Aceh menjadi bagian dari wilayah provinsi Sumatera.

Setelah Aceh menjadi provinsi dan kemudian dibubarkan dan menjadi bagian dari Sumatera Utara, tercatat 2 dua residen yang berasal dari Aceh, dan dua yang berasal dari luar Aceh.

Soekarno sangat hati-hati ketika mengangkat residen Aceh pasca Daud Beureueh mulai 1951, karena praktis seluruh elite pemerintahan Aceh sangat tidak puas dengan keputusan itu, dan bahkan telah tercium pula akan ada pemberontakan Aceh.

Ia akhirnya mengangkat RM Danubroto sebagai residen.

Tidak ada penjelasan kenapa ia merobah keputusannya dengan mengangkat dua pejabat Aceh, Teungku Sulaiman Daud, dan Abdul Wahab, setelah memberhentikan Danubroto.

Kehati-hatiannya terbukti ketika DI/ TII memberontak, Sulaiman Daud bergabung dengan DI/TII.

Selanjutnya Abdul Wahab, juga diganti oleh Soekarno, karena ia dianggap loyalis Beureueh, walaupun ia tak bergabung dengan DI/TII.

Soekarno kemudian mengangkat putera Minang, Abdurrazak, dengan sangat hati-hati selama 1.5 tahun, untuk kemudian berobah ketika lagi ketika status Aceh sebagai provinsi dikembalikan.

Ketika Aceh kembali menjadi provinsi, Soekarno mengangkat Ali Hasymi sebagai gubernur untuk masa waktu 7 tahun yang kemudian tercatat sebagai tahun-tahun berakhirnya pemberontakan DI/TII.

Hasymi mendapatkan kepercayaan dan dukungan penuh dari Soekarno.

Menurut sebuah sumber, pergantian Hasymi pada tahun 1964, tidak lepas dari pengaruh partai PNI Aceh yang memprovokasi Soekarno.

PNI Aceh menuduh Hasymi sebagai orang yang tak bersih secara ideologi, karena kedekatannya sebelum pemberontakan Aceh dengan Daud Beureueh.

Padahal kesalahan Hasymi menurut sejumlah pihak, tak lain karena “keindonesiaan,” “keacehan”, dan keislamannya telah menyatu dengan prima, baik dalam kepribadian dan juga kepemimpinannya dalam menjalankan pemerintahan Aceh pada masa itu.

Atas desakan PNI kepada presiden Soekarno dan lobi yang dibangun  dengan Jenderal Ahmad Yani, ditunjuklah Kolonel Nyak Adam Kamil sebagai Gubernur Aceh dari 1964-1966.

Dengan Nyak Adam Kamil sebagai gubernur yang praktis netral, PNI berharap, Aceh yang menjadi basis partai-partai Islam pascapembubaran Masyumi akan mudah beralih ke kubu nasionalis- terutama PNI.

Taktik PNI tak lain, karena memang sebelum  menjabat gubernur Aceh, Hasymi tercatat sebagai salah satu tokoh penting PSII-Partai Syarikat Islam Indonesia, di Jakarta. (Bersambung)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved