Jurnalisme Warga

Melestarikan Keterampilan Anyaman Tikar Tradisional

Posisi yang berbatasan langsung dengan pantai membuat desa ini memiliki kehidupan yang berbeda jika dibandingkan dengan desa lainnya. 

Editor: mufti
hand over dokumen pribadi
Chairul Bariah SE MM 

Harga yang ditawarkan kepada para penampung tikar adalah Rp120.000 per lembar. Namun, Rusmani mengeluh terkadang calon pembeli meminta harga rendah, padahal cara membuatnya butuh kesabaran dan waktu yang cukup lama.

Ia berharap ada pihak yang mau menampung hasil kerajinan yang telah dia buat sehingga masyarakat, terutama kaum ibu, bersemangat dalam memproduksi tikar tradisional ini.

Kami merasakan suasana kekeluargaan yang begitu kental pada proses persiapan dan pembuatan tikar di desa ini.  Daun pandan duri sebagai bahan utama pembuatan tikar di desa ini memang tidak terlalu sulit untuk didapat.

Namun, tidak semua orang mau menanamnya karena batang atau akar daun ini berkembang dengan cepat sehingga membutuhkan tempat atau lahan khusus serta perawatan yang baik. Daun yang sudah tua harus segera dibersihkan untuk regenerasi agar mendapatkan daun yang besar, lebar, bagus, dan bermutu.

Selama ini daun panda duri yang diolah oleh para kaum ibu adalah milik Nek Let yang di desa ini lebih dikenal dengan sebutan Mak Cot Buket. Dia bukanlah penduduk asli, tetapi sudah beranak cucu  dan menetap di desa ini, dia sendiri berasal dari Cot Buket, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen.

Nek Let mengizinkan siapa pun yang ingin mengambil daun pandan  duri miliknya asalkan dimanfaatkan dengan baik.

Hal yang unik dalam proses pembuatan anyaman tikar tradisional di desa ini  adalah dikerjakan bersama secara gotong royong, bahkan ada juga yang membentuk kelompok.  Hasil penjualan yang diperoleh setelah dikurangi modal dibagi bersama sesuai dengan tingkat lelahnya masing-masing perajin tikar pandan.

Jika dilihat dari prosesnya yang sedikit rumit, harga satu lembar tikar tentu tidak sebanding dengan rasa lelah dan waktu yang digunakan. Namun, semua yang dilakukan adalah untuk menumbuhkan semangat wirausaha, mempertahankan, dan membudayakan keterampilan tradisional, serta untuk membantu menambah pendapatan ekonomi rumah tangga dari sektor kerajinan tradisional.

Hasil pengamatan saya di lapangan, tidak ada kaum ibu yang menganggur atau duduk di rumah tanpa ada kegiatan, semua sibuk  dengan usahanya masing-masing.

Selain menganyam tikar, kaum ibu di desa ini ada juga yang menjemur ikan atau udang, biasanya diolah dari hasil tambak atau dari hasil melaut suaminya, yang tidak habis dijual.

Setelah menyaksikan secara langsung proses pembuatan tikar, kami mendapat undangan makan siang di rumah Nek Let. Menu yang disajikan adalah hasil dari melaut berupa ikan, cumi dan udang segar. Rasanya mantap, ditambah lagi dengan sayur asam keueng dan ikan asin. Sungguh semakin menggugah selera, benar-benar nikmat dan mampu mengalahkan hidangan di restoran ternama.

Setelah menikmati makan siang, kami duduk santai  di bawah pohon yang rindang sambil bersenda gurau dengan warga setempat.

Aktivitas pembuatan anyaman tikar yang dilakukan secara gotong royong biasanya dimulai pada pagi hari dan istirahat menjelang shalat zuhur, kemudian dilanjutkan sampai menjelang shalat asar. Jika banyak pesanan mereka bekerja sampai pukul 18.00 WIB.

Pembagian tugas yang jelas membuat masyarakat di desa ini terbiasa disiplin dan menjadi kunci kesuksesas mereka, walaupun ada yang tidak mengenyam bangku pendidikan. 

Masyarakat Aceh, terutama di desa, biasanya menggunakan tikar satu lapis untuk tempat duduk jika ada tamu yang datang. Sedangkan tikar yang dua lapis berwarna krim/putih digunakan untuk penutup jenazah pada saat kuburan hendak ditutup dengan tanah.  

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved