Breaking News

Jurnalisme Warga

Melestarikan Keterampilan Anyaman Tikar Tradisional

Posisi yang berbatasan langsung dengan pantai membuat desa ini memiliki kehidupan yang berbeda jika dibandingkan dengan desa lainnya. 

Editor: mufti
hand over dokumen pribadi
Chairul Bariah SE MM 

CHAIRUL BARIAH, Dosen FEB Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Bireuen, melaporkan dari Pante Paku, Kecamatan Jangka, Bireuen

Pante Paku merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen. Desa ini terletak di sisi pantai Selat Malaka, yaitu perbatasan Pulau Sumatra dan Malaysia.

Posisi yang berbatasan langsung dengan pantai membuat desa ini memiliki kehidupan yang berbeda jika dibandingkan dengan desa lainnya. 

Pertumbuan ekonomi desa ini tergolong baik dan membuatnya semakin dikenal oleh masyarakat, terutama di Kabupaten Bireuen. Potensi desa ini dengan memanfaatkan air laut dikembangkan penduduknya untuk bertani tambak. Alasanya, karena mudah mendapatkan air secara langsung, maka tak heran kalau pekerjaan sebagian besar penduduknya adalah nelayan atau menjadi petani tambak udang  vaname (Litopenaeus vannamei) juga ikan bandeng (Chanos chanos).

Masyarakat Pante Paku, khususnya kaum ibu, rata-rata memiliki keterampilan menganyam tikar secara tradisional. Hal ini terlihat pada saat saya dan keluarga berkunjung ke desa ini beberapa waktu lalu. Kami menyaksikan bagaimana proses untuk menghasilkan selembar  tikar anyaman yang menarik dan lembut.

Tikar anyaman ini dibuat dari bahan baku daun pandan duri yang  dalam bahasa Aceh disebut oen seuke. Dikenal juga dengan sebutan pandan tikar, pandan samak, atau pandan pudak  (Pandanus tectorius). Pandan ini biasanya hidup di pinggir pantai.

Keterampilan membuat tikar yang dimiliki kaum ibu di desa ini  didapat  secara turun-temurun dari warisan nenek mereka.

Menurut Nyak Nie, salah seorang perajin tikar tradisional yang mengutip cerita dari neneknya, pada zaman dahulu calon mertua selalu menginginkan manantu yang memiliki keterampilan seperti menjahit, menganyam tikar, memasak, dan mampu melaksanakan tugas-tugas lainnya sebagai perempuan.

Cerita ini tentu berbeda dengan zaman saat ini, di mana kesetaraan gender telah mengubah segalanya.

Untuk mendapatkan hasil anyaman tikar yang baik, seorang perajin tikar harus mengikuti beberapa proses, di antaranya memotong pandan duri, membersihkan, menjemur, dan dibelah menjadi empat atau lima bagian dengan alat khusus.

Perajin di sini menyebutnya “jangka”, terbuat dari kayu ukuran antara 20-25 cm bermata tajam sesuai dengan jumlah daun yang ingin dibelah, kemudian  dilembutkan dengan menekan daun menggunakan sepotong kayu atau belahan bambu berbentuk petak. Alat ini biasanya   mereka sebut ‘penyengkut’.

Setelah proses pelembutan dengan cara direbus berlangsung, setelah itu dimasukkan ke dalam ember untuk direndam selama dua malam. Setelah selesai rendam, dibersihkan dan dilanjutkan dengan menjemur. Setelah kering, pandannya direndam lagi dengan memberi warna  (malo). Warnanya disesuaikan dengan kebutuhan,  yang lebih dominan biasanya warna ungu.

Peralatan yang digunakan dalam proses persiapan bahan untuk anyaman tikar tidak dijual di pasar, maka mereka harus membuatnya sendiri. Kaum ibu sudah terlatih untuk mandiri tanpa tergantung pada suami karena yang laki-laki umumnya pergi melaut atau bertani tambak untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.

Sementara itu, kaum ibu berusaha untuk membantu perekonomian keluarga dengan menganyam tikar.

Menurut Rusmani, salah seorang yang mahir menganyam tikar, keterampilan ini perlu terus dilestarikan  agar para kaum ibu dan generasi ke depan, terutama yang memilih menetap di desa, tidak menjadi pengangguran sehingga tikar hasil anyaman tradisional ini tidak punah.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved