Kupi Beungoh
Rumoh Geudong, Bukti Sejarah yang tak Seharusnya Dilenyapkan
Areal Rumoh Geudong yang biasanya sunyi sepi dan terkesan angker, sejak tiga hari terakhir ramai dengan deru mesin beko dan hiruk pikuk pekerja
Oleh: Musannif Sanusi*)
Rumoh Geudong, begitulah menyebut nama untuk sebuah bangunan megah berdinding kayu di Gampong Bili Aron Kecamatan Geulumpang Tiga Kabupaten Pidie.
Jika diartikan secara baku ke dalam bahasa Indonesia, Rumoh Geudong berarti rumah gedung.
Ya, rumah semi permanen berbentuk panggung ini memang gedung pada masanya.
Alkisah, seperti penukis kutip dari Wikipedia.org Rumoh Geudong ini dibangun pada tahun 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta, hulubalang yang tinggal di Rumoh Raya yang berjarak sekitar 200 meter dari Rumoh Geudong.
Semasa perang Belanda, Rumoh Geudong sering digunakan sebagai pos pengatur strategi perang oleh Raja Lamkuta.
Setelah Raja Lamkuta mangkat, Rumoh Geudong ditempati oleh adiknya, Teuku Cut Ahmad, lalu Teuku Keujreun Rahmad, Teuku Keujreun Husein, dan Teuku Keujreun Gade, serta keturunan mereka.
Rumoh Geudong juga dijadikan sebagai basis perjuangan melawan tentara Jepang.
Sejak masa Jepang hingga Indonesia merdeka, rumah ini dihuni oleh Teuku Raja Umar dan keturunannya, anak dari Teuku Keujreun Husein.
Baca juga: Mengenang Peristiwa Rumoh Geudong yang Mengiris Hati, Kini Diratakan Jelang Kedatangan Jokowi
Pada masa periode Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989 – 1998, Rumoh Geudong merupakan salah satu bekas Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) di Sektor A-Pidie selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh.
Tak ada catatan pasti sejak tahun berapa rumah ini menjadi Pos Sattis.
Karena tentara hanya meminta persetujuan dari keuchik (kepala desa) secara lisan, bukan tertulis.
Keuchik pun memberitahukan permintaan tentara ini kepada pemiliknya secara lisan pula.
Rumah ini dipilih sebagai pos militer karena sudah lama dibiarkan kosong, serta pekarangannya juga luas.
Anak dan keturunan dari Teuku Keujreun Husein yang terakhir menempati rumah itu, telah lama hijrah dan tinggal di Jakarta, serta berbagai daerah lainnya di Indonesia.
Menurut laporan Komnas HAM pada 2018, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Lainnya ini merupakan sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di periode Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989 – 1998.
Literatur yang penulisa dapatkan, Rumoh Geudong ini dibakar oleh massa pada tanggal 20 Agustus 1998.
Berselang dua pekan setelah Menteri Pertahanan/Panglima ABRI Jendral TNI Wiranto mengumumkan pencabutan status DOM di Aceh, pada tanggal 7 Agustus 1998.

Sepekan sebelum rumah ini dibakar massa, atau pada tanggal 12 Agustus 1998, Tim Pencari Fakta dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berkunjung ke Rumoh Geudong.
Tim yang dipimpin Baharuddin Lopa itu menemukan sejumlah bukti terjadinya pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong.
Seperti kabel listrik yang diduga digunakan untuk menyetrum, balok kayu berukuran 70 sentimeter, serta banyak bercak darah pada dinding rumah.
Tim juga menggali beberapa titik yang diduga kuburan korban pelanggaran HAM.
Namun tim hanya menemukan serpihan tulang dan kerangka manusia, seperti tulang jari dan tangan.
Ada dua sumur yang menurut para korban digunakan untuk menumpuk mayat-mayat manusia.
Saat dibakar warga, mereka berusaha mengangkat mayat-mayat tersebut.
Tapi karena kesulitan, akhirnya sumur itu ditutup dengan berbagai benda yang ada di sekitar lokasi.
Akan dibangun masjid
Kini, berselang 25 tahun setelah dibakar, Rumoh Geudong kembali menjadi pusat perhatian.
Adalah rencana kunjungan Presiden Joko Widodo yang membuat Rumoh Geudong tiba-tiba kembali menjadi pusat perhatian.
Areal Rumoh Geudong yang biasanya sunyi sepi dan terkesan angker, sejak tiga hari terakhir ramai dengan deru mesin beko dan hiruk pikuk pekerja.
Media-media di Aceh melaporkan ekskavator membobol sisa-sisa dinding dapur, sisa-sisa dinding kamar mandi, sisa-sisa dinding WC, dan undakan rumah tersebut.
Alat berat juga merobohkan pohon-pohon kelapa serta pohon melinjo di dalam kompleks Rumoh Geudong.
Baca juga: Kapolda Aceh Tinjau Lokasi Kunjungan Kerja Presiden RI di Rumoh Geudong
Informasinya, Pemerintah Pusat akan membangun masjid di kompleks Rumoh Geudong ini.
Pembangunan masjid berukuran besar ini akan dimulai saat Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), melaksanakan kunjungan kerja ke Pidie, Selasa (27/6/2023).
Amnesty International Indonesia merilis, penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong, salah satu situs pelanggaran HAM berat di Kabupaten Pidie, Aceh terjadi pada 19-21 Juni 2023.
Sisa dinding rumah dihancurkan dan sumur ditimbun dalam semalam.
Wartawan Serambi Indonesia di Pidie melaporkan, pada Kamis (22/6/2023), sejumlah alat berat terus melakukan pengerasan tanah di kompleks Rumoh Geudong seluas sekitar 7.000 meter tersebut.
Sebagian tenda sudah dipasang di lokasi tersebut.
Pembersihan areal Rumoh Geudong ini dalam rangka menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo yang akan melaksanakan kunjungan kerja ke Pidie pada Selasa (27/6/2023).
Pemerintah Pusat berencana akan membangun masjid di kompleks Rumoh Geudong yang penuh sejarah ini.
Di tempat ini pula, Presiden Jokowi rencananya juga berdialog dengan korban pelanggaran HAM berat di Pidie.
Dalam kunjungan kerja tersebut, Presiden akan melakukan kick-off atau peluncuran penyelesaian pelanggaran HAM berat pada masa lalu di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya secara nonyudisial.
Pendapat Pj Bupati, KPA, dan Keuchik
Pj Bupati Pidie, Wahyudi Adisiswanto menolak pembangunan monumen di lokasi Rumoh Geudong.
Alasannya, agar generasi baru tidak lagi mengingat kisah kelam.
“Generasi baru harus lebih cerdas untuk menata Pidie yang lebih maju di masa mendatang," ujar Wahyudi.
Sementara Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi yang menaungi para mantan kombatan GAM meminta Rumoh Geudong tidak dihilangkan atau dialihfungsikan, karena ini adalah salah satu bukti sejarah adanya pelanggaran HAM di Aceh.
Mereka berharap di lokasi itu dibangun gedung museum berbentuk replika seperti Rumoh Geudong yang dulu.
Juru Bicara (Jubir) KPA Pusat, Azhari Cagee, mengatakan, pihaknya bukan tidak setuju dengan rencana pembangunan masjid tersebut.
Tapi, karena sekitar 500 meter dari lokasi itu, atau masih di kemukiman yang sama saat ini sudah ada masjid, maka bangunan masjid di lokasi Rumoh Geudong, belumlah mendesak.
Dengan membangun masjid di lokasi itu, kata Cagee, KPA menduga ada maksud terselubung tentang penghilangan sejarah atau penghilangan bukti pelanggaran HAM.
Baca juga: Anak Korban Pelanggaran HAM di Rumoh Geudong Pidie Ini Sampaikan Pesan Khusus kepada Presiden Jokowi
Dalam surat itu, KPA juga meminta Presiden membangun pusat pendidikan di lokasi bukti pelanggaran HAM tersebut.
Bukan hanya di Rumoh Geudong, tapi juga di dua lokasi bukti pelanggaran HAM lainnya di Aceh, yakni Simpang KKA (Aceh Utara) dan Jambo Keupok (Aceh Selatan).
“Agar dibangun kompleks pendidikan mulai TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi," ujar Azhari.
KPA juga meminta pusat memberikan dana abadi pendidikan sebesar Rp 3 triliun untuk anak-anak eks kombatan GAM dan anak-anak korban konflik.
Permintaan KPA agar jejak Rumoh Geudong tidak dihilangkan, sejalan dengan harapan para pekerja kemanusiaan dan aktivis HAM.
Mereka berpendapat, Rumoh Geudong seharusnya menjadi monumen peringatan karena memiliki nilai budaya, sejarah, dan simbolik yang sangat besar.
“Menjadi pengingat akan penderitaan yang dialami rakyat Aceh selama konflik bersenjata dan agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Seharusnya monumen ini dirawat, bukan dihancurkan,” Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Bagaimana pendapat warga?
Keuchik Bili Aron, Fakhrurrazi mengatakan, sebagian warga di gampong tersebut menginginkan di kompleks Rumoh Geudong dibangun tempat pendidikan agama.
"Memang sebagian warga di sini menginginkan di kompleks Rumoh Geudong dibangun masjid dan sebagian lainnya berharap dibangun tempat belajar agama seperti dayah modern. Tapi, jika pun pemerintah membangun masjid, warga tetap setuju," tutup Fakhrurrazi.
Mencermati berbagai pendapat dan keinginan warga, penulis sepakat dengan pendapat bahwa Rumoh Geudong harus menjadi situs sejarah bagi Rakyat Aceh.
Ini merupakan bagian dari perjalanan panjang sejarah Aceh melawan ketidakadilan dan kezaliman dari pihak manapun.
Rakyat Aceh membuktikan kepada dunia bahwa Rakyat Aceh tidak bisa diam dalam membela harkat dan martabat kemanusiaan.
Baca juga: Membaca Serambi di Era DOM ke Damai
Alasan Rumoh Geudong harus dilenyapkan agar generasi baru tidak lagi mengingat kisah kelam dan trauma di rumah itu, tentu tak sepenuhnya bisa diterima.
Lihat saja, bagaimana museum dan Monumen Pancasila Sakti dibangun di atas tanah seluas 14,6 hektare.
Atas gagasan Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto, monumen ini dibangun dengan tujuan mengingat perjuangan para Pahlawan Revolusi yang berjuang mempertahankan ideologi negara Republik Indonesia, Pancasila dari ancaman ideologi komunis.
Tidak ada istilah trauma atau kisah kelam yang menjadi alasan untuk menghancurkan atau melenyapkan bukti sejarah di sana.
Kalau di Monumen Pancasila ini bisa dibangun monumen, kenapa di Rumoh Geudong tidak bisa?
Penulis sepakat dengan pendapat bahwa apapun alasannya situs Rumoh Geudong tidak seharusnya dilenyapkan.
Rumoh Geudong, seperti halnya monumen Simpang KKA dan Jambo Keupok di Aceh Selatan, menjadi pengingat akan penderitaan yang dialami rakyat Aceh selama konflik bersenjata dan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Ini sekaligus menjadi bukti akan semangat perjuangan Rakyat Aceh dalam melawan ketidakadilan.
Rakyat Aceh akan terus melawan apabila di bumi Aceh tidak tegaknya Syariat Islam yang selalu berbicara tentang keadilan dan kemanusiaan.(*)
*) PENULIS adalah mantan anggota DPR Aceh periode 2014-2019. Saat ini menjabat sebagai Ketua Yayasan Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee, Aceh Besar dan Ketua Umum DPP Pemuda Islam RI.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.