Kupi Beungoh

Rumoh Geudong, Antara Peng Griek dan Orang Aceh yang Sedang Sakit Sejarah

Rumoh Geudong, Antara Peng Griek dan Orang Aceh yang Sedang Sakit Sejarah. Di antara catatan tersebut adalah orang Aceh mudah goyah imannya

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Muhammad Nur, Dosen Sejarah di Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh 

Disadari atau tidak, pembongkaran masjid tua di Reubee ini telah menghilangkan satu lagi bukti sejarah, bahwa Reubee pernah menjadi daerah istimewa dalam wilayah Kerajaan Aceh.

Bahwa di Reubee lah Sultan Iskandar Muda pernah menghabiskan masa kecil dan remajanya.

Di Reubee lah sang Sultan termegah dalam sejarah Aceh belajar mengaji dan kepemimpinan, dan di Reubee pula sang Sultan mendapatkan jodohnya, yaitu Putroe Sani, putri dari Daeng Mansur alias Tgk. Chiek Di Reubee.

Bukti-bukti itu sekarang hanya bisa dilihat dari sebuah wilayah kecil di sana yang bernama Lampoh Pande, yang diduga kuat berkaitan dengan Gampong Pande di Bandar Aceh Darussalam.

Bukti lainnya adalah sebuah rumah kuno milik Teuku Raja Hussein di Neulop, yang berbentuk rumoh Aceh.

Teuku Raja Hussein adalah ulee balang Mukim Reubee era 1932-1949.

Bukti lainnya yang masih ada dan berstatus cagar budaya, meski kurang perawatan adalah kuburan Peutroe Sani di Gampong Reuntoh yang hanya berjarak sekira 500 meter dari Lampoh Pande.

Serta kuburan Tgk Chik Direubee (mertua Sultan Iskandar Muda/ayah dari Putroe Sani) di Gampong Meunasah Raya, yang berjarak sekira 3 kilometer dari kuburan Putroe Sani.

Baca juga: Tolak Bongkar Rumoh Geudong, Komisi I DPRA: Harus jadi Situs Sejarah Pelanggaran HAM Berat di Aceh

Semua orang Reubee, bahkan sebagian besar warga Pidie, dan sebagian kecil warga Acehy tahu tentang kuburan Tgk Chik Direubee.

Mereka juga tahu bahwa Tgk Chik Direubee, adalah seorang ulama besar pada masa lalu.

Tapi tak banyak dari mereka, bahkan hanya sedikit orang Reubee yang tahu bahwa Tgk Chik Direubee ini adalah mertua dari sultan termegah Kesultanan Aceh, yakni Iskandar Muda Mahkot Alam.

Tidak semua orang Reubee juga tahu tentang lokasi kuburan Putroe Sani, dan generasi muda sekarang juga awam dan tidak mau tahu siapa sebenarnya Putroe Sani yang dikuburkan di antara semak belukar Gampong Reuntoh.

Kenapa? Ya itu, orang Aceh sedang sakit sejarah.

Sangat sedikit dari sekolah di Aceh yang membawa murid-muridnya untuk berziarah ke sana, dan mengenang masa kejayaan Kesultanan Aceh.

Ini merupakan sesuatu yang berbeda jauh dengan di Pulau Jawa, yang dengan sangat baik merawat kuburan Cut Nyak Dhien (di Sumedang), Pocut Meurah Intan (di Blora Jawa Tengah), ataupun Sultan Daud (Sultan terakhir Aceh di Jakarta).

Selain pengbongkaran terhadap masjid-masjid Kuno ini, hal yang sama juga terjadi dengan pembongkaran meunasah-meunasah kuno yang ada di Aceh.

Misalnya di Keumala, Pidie, hampir semua meunasah yang terbuat dari kayu berbentuk rumah Aceh dibongkar d isana, lalu dibangun model baru yang beralaskan keramit dan berdinding beton.

Padahal Meunasah model lama tersebut mengandung nilai-nilai kolektifitas bagi generasi muda dan spirit keagamaan yang kuat karena mereka ketika waktu malam tiba tidur di surau tersebut secara rame-rame.

Perlu diketahui, anak- anak laki- laki di Aceh pada umumnya dilarang tidur di rumah oleh ibunya, sehingga dia mencari tempat lainnya.

Baca juga: Ini Fakta Menarik dan Bersejarah Tentang Rumoh Geudong yang Akan Dikunjungi Jokowi

Anak lelaki yang tidur di rumah dianggap “bencong” karena kamar rumah telah diperuntukkan untuk anak perempuan.

Selama tidur di meunasah model kayu tersebut, mereka belajar mengaji, belajar main catur, belajar membaca surat Wakul Ja Alhaq Quaza Hakkal Bathil, Innal Bathila Kana Zahuka, dengan demikian semangat dan memori kolektif anak- anak Aceh terbangun secara alamiah.

Dokrin beuhavioer collective terekam tanpa disadari dalam ingatan mereka sehingga konsep “hudep saree, matee sajan, sikrak kafan, saboh keurenda” terbangun secara alamiah.

Terkuburnya PDIA

Tak hanya di desa-desa, fakta penguburan tempat sejarah juga terjadi di kawasan perkotaan, tepatnya di Banda Aceh.

Coba tanya, di mana tapak istana Kesultanan Aceh yang kemegahannya konon menyedot pedagang dan wisataan dari berbagai benua?

Kini hanya ada sebuah bangunan kecil bernama Gunongan dan Pinto Khop di Taman Sari. Selebihnya, hanya beberapa kuburan saja di Kompleks Keuraton dan di samping Meuligoe Aceh yang dibangun Belanda.

Terkini, PDIA (Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh) sebuah lembaga yang didirikan untuk melestarikan sejarah Aceh juga hilang tak berbekas.

PDIA adalah badan yang bersifat mandiri, sebagai wujud dari kerja sama antara pemerintah Aceh dan pihak Universitas Syiah Kuala.

PDIA pada hakikatnya bertujuan untuk menjaga marwah Aceh sebagaimana yang dicita-citakan Prof. Ibrahim Alfian, sejarawan Aceh masa itu.

Baginya, PDIA adalah pintu masuk bagi orang-orang luar/asing yang ingin mengenal sejarah Aceh secara lebih dalam dimata dunia, karena digedung ini banyak disimpan arsip sejarah yang didatangkan dari Belanda, dokumen, buku, naskah, akta, risalah, dan segala bentuk publikasi buku, dan tulisan tentang Aceh dari masa ke masa.

Baca juga: Udah Bayar Kos Tiap Bulan, Kekasihnya Malah Selingkuh, Pria Ini Marah dan Suruh Pacarnya Makan Tinja

Perlu diketahui, lembaga PDIA berdiri pada 26 Maret 1976 dan diresmikan pada 26 Juli 1977 oleh Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Ibrahim Hasan bersama- sama dengan Gubernur Aceh Daerah Istimewa masa itu, A. Muzakkir Walad, seorang Letnan Kolonel yang pernah bertugas di tanah Langkat dan Karo dan Komandan Batalion IV CPM Sumatera.

Gedung yang pernah diterjang gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, dibangun kembali oleh Kuntoro Mangkusubroro, Kepala Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh pada masa rehab dan rekon Aceh.

Gedung ini kemudian dialihfungsikan menjadi Rumah Sakit Gigi dan Mulut oleh Rektor Unsyiah, Prof. Syamsul Rizal, M.Eng.
Sesuatu yang ditentang oleh almarhum Drs. Rusdy Sufi, sejarawan Aceh.

Setelah itu, PDIA kemudian dipindahkan ke salah satu bilik di komplek Meseum Aceh dengan sifat pinjam pakai sampai kemudian lembaga ini dibubarkan pada tahun 2022.

Pada waktu itu PDIA dipimpin oleh Drs. Mawardi Umar, M.Hum.

Pembubaran lembaga “bergengsi” sejarah ini terkesan diaminkan oleh Mawardi Umar yang notabennya adalah seorang sejarawan lulusan Belanda.

Ironis memang. Tapi itulah faktanya.

Kini, satu lagi situs sejarah terbaru di Aceh, yakni Rumoh Geudong, sedang berproses menuju kepunahan.

Masih ada waktu untuk menyelamatkan, atau membangun replikanya seperti permintaan pihak Komite Peralihan Aceh (KPA) kepada Presiden RI Joko Widodo. Semoga..

*) PENULIS adalah Dosen Sejarah di Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Baca juga: Rumoh Geudong, Bukti Sejarah yang tak Seharusnya Dilenyapkan

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved