Kupi Beungoh

Rumoh Geudong: Janji Pemimpin dan Ingatan Publik - Bagian I

Itulah “asbabun nuzul” penghalang besar bagi sebagian generasi Aceh untuk mencintai Indonesia. Kalimatnya sangat sederhana, bagaimana mencintai

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Tak jarang narasi tentang mereka dibelokkan, dan tak kurang pula diluruskan.

Akhirnya, semua yang tercatat dan tak tercatat akan diungkapkan, dan seringkali baik buruknya akan terungkap juga.

Pengadilan sejarah menjadi sesuatu yang tak terelakkan.

Baca juga: Kisah Horor Rumoh Geudong, Penuh Jeritan & Lepotan Darah Manusia Tempat Bersejarah Sejak era Belanda

Baca juga: Sesmenko: Tangga Beton di Rumoh Geudong tak Dihilangkan, Sumur Hanya Ditutup Sementara

Aceh dan Sejarah Panjang

Dibandingkan dengan berbagai provinsi di Indonesia, Aceh mempunyai tempat tersendiri, terutama dikaitkan dengan hampir semua presiden yang pernah berkuasa.

Pasalnya hanya satu, ingatan, tepatnya sejarah.

Yang dimaksud adalah sejarah panjang tentang sebuah kawasan geografis Nusantara yang dengan ikhlas melepaskan nasionalisme, kebanggaan dan harga diri yang telah berlangsung paling kurang 800 tahun lamanya.

Para pemimpin Aceh yang telah berhasil mengusir Belanda, dan Jepang pada masa itu, kemudian bersumpah melepaskan “baju kebangsaan” Aceh.

Entitas ini bergabung dalam sebuah rumpun keluarga besar negara Indonesia.

Pada awalnya, ada perdebatan tentang keputusan itu sesama elite Aceh pada masa itu, akan tetapi akhirnya diputuskan untuk menjadi bagian dari negara kebangsaan baru, Indonesia.

Nasionalisme Aceh dipertahankan, namun dipaduserasikan dengan nasionalisme kebangsaan yang baru- tepatnya “dikecilkan” dengan meminta kepada Soekarno untuk sebuah ruang “ethno nasioslisme” Aceh yang otonom.

Elemen dan substansi yang diterima dan dijanjikan Sukarno adalah pemberian keunikan dan kekhususan Aceh dalam menjalankan syariat Islam, berikut dengan kewenangan dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan.

Ada airmata, kesedihan, dan janji setia antara Sukarno dan Daud Beureueh ketika komitmen itu dibuat.

Ketika sang ulama lugu itu minta janji itu ditulis di secarik kertas, Sukarno menangis terisak-isak.

Ia menyebutkan kesedihannya betapa ia dipercaya banyak orang, hatta orang asing yang bahkan tak seagama sekalipun.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved