Kupi Beungoh
Rumoh Geudong: Janji Pemimpin dan Ingatan Publik - Bagian I
Itulah “asbabun nuzul” penghalang besar bagi sebagian generasi Aceh untuk mencintai Indonesia. Kalimatnya sangat sederhana, bagaimana mencintai
Namun ketika ia berhadapan dengan saudaranya “kakanda ku” - Daud Beureueh, komitmen dan kejujurannya diragukan.
Beureueh terenyuh, keteguhan dan ketegarannya luluh, ia memeluk Sukarno, dan resmilah Aceh menjadi bagian dari Indonesia yang tak terpisahkan sampai hari ini.
Momen itu adalah momen “sakral” integrasi Aceh menjadi bagian dari negara kebangsaan baru, Indonesia.
Namun momen sakral itu pula kemudian menjadi sumber “energi” perlawanan yang tak pernah habis dan berjalan panjang, baik oleh Beureueh, maupun sambungan edisi lain versi Hasan Tiro.
Karena janji itu dipungkiri Sukarno, Indonesia yang melekat dengan namanya, kemudian berasosiasi dengan ingkar janji dan pengkhianatan.
Itulah “asbabun nuzul” penghalang besar bagi sebagian generasi Aceh untuk mencintai Indonesia.
Kalimatnya sangat sederhana, bagaimana mencintai Indonesia, kalau Indonesia tidak mencintai Aceh?
Kekecewaan itu dimulai karena ingkar janji Sukarno terhadap pelaksanaan syariat Islam, dan kemudian menemukan hulu ledaknya, ketika Aceh dilebur menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Pemberontakan DII/TII meletus, dan itulah awal dari sejarah pergumulan antara Aceh dan Jakarta.
Semua orang tahu, setelah beberapa tahun, pemberontakan itu tuntas, tepatnya pada tahun 1962.
Namun itu tak lama, 14 tahun kemudian Aceh bergejolak lagi.
Kali ini bukan Daud Beureueh, akan tetapi Hasan Tiro dengan versi yang lain.
Kali ini tentang kepatutan dan keadilan pembagian sumber daya alam.
Tidak dapat dipungkiri, memori publik Aceh tentang DI/TII, semua dimulai dari Sukarno.
Dialah yang dianggap biang kerok, karena ingkar janji dan penghinaan terhadap Aceh, karena pembubaran provinsi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.