Kupi Beungoh

Rumoh Geudong: Janji Pemimpin dan Ingatan Publik - Bagian I

Itulah “asbabun nuzul” penghalang besar bagi sebagian generasi Aceh untuk mencintai Indonesia. Kalimatnya sangat sederhana, bagaimana mencintai

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Publik Aceh tak mau tahu, betapa Sukarno sebagai seorang pemimpin negara baru “in the making” menghadapi kompleksitas yang luar biasa, karena keragaman Indonesia yang juga sangat luar biasa.

Publik Aceh tidak mau tahu, betapa ia harus memberi konsesi kepada semua pihak, karena Indonesia harus hadir, jadi, dan utuh.

Publik Aceh dan juga banyak pihak tak peduli dengan reaitas perundingan RIS dan akhirnya memunculkan negara kesatuan.

Konsekuensi di antara dua kejadian itu Aceh harus dimasukkan ke Sumatera Utara untuk menjadi bagian dari enam provinsi di Indonesia.

Publik tentu saja mempunyai logika tersendiri, dan karenanya memori publik pun mempunyai logika tersendiri pula.

Tidak mungkin publik diajak untuk menempatkan diri sebagai Sukarno, menggunakan nalar akademik, apalagi melihat ada nilai lain dari sebuah kesalahan yang dipermukaan tampaknya sangat salah secara diametral.

Publik  mempunyai narasi tersendiri yang unik dari memori kolektif yang terwariskan dari generasi ke generasi.

Adilkah kemudian kalau Sukarno dijadikan sebagai satu satunya manusia yang bersalah dan kemudian menjadi penyebab semua kesalahan berikut yang terjadi sesudahnya, yang berhubungan degan petaka Aceh?

Adilkah kalau kemudian kebaikan Sukarno dengan memberikan Aceh status provinsi dengan sejumlah keistimewaannya dibalas dengan vonis buruk terhadapnya?

Jawaban yang jujur, tentu saja tidak.

Bukankah kemarahan Beureueh terhadap Sukarno tidak dibawa ke “hati” ketika Beureueh dan sedikit pasukannya bertahan di kawasan “baitul a’la” di pedalaman Geudong, Aceh Utara.

Sukarno sama sekali tidak memerintahkan TNI untuk mencari Beureueh “hidup” atau “mati”.

Sebaliknya ia memerintahkan Panglima Kodam Iskandar Muda, Kolonel M Yasin untuk membujuk dengan penuh hormat agar Beureueh turun gunung.

Bukankah kemudian Sukarno memberikan amnesti umum kepada seluruh pengikut Beureueh, dan semua pemberontak yang sebelumnya terikat kedinasannya dengan Pemerintah.

Mereka diampuni dan kembali bertugas seperti sebelum pemberontakan.

Beureueh dan para pengikutnya diampuni, dan diberikan kehormatan yang sepantasnya.

Bukankah itu bentuk lain dari penghormatan terhadap “kakanda” oleh Sukarno?

Kenapa Aceh dikecualikan dalam penanganan pemberontakan seperti yang dialami oleh Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan oleh Sukarno?

Bukankah  terhadap berbagai provinsi yang pernah memberontak terhadap republik diberikan “pelajaran” oleh Sukarno?

Bukankah ia dengan tegar menandatangani lembar “eksekusi “ hukuman mati kepada sahabat baiknya, Kartosuwiryo, pemimpin Darul Islam.

Dibandingakn dengan Beureueh yang hanya bertemu sekitar dua tiga kali, Kartosuwiryo bagi Sukarno adalah sahabat kentalnya ketika ia di Bandung selama bertahun-tahun.

Bagi Sukarno, pemimpin pemberontak terhadap Republik hukumannya hanya satu, hukuman mati.

Tidak dapat dipungkiri hal yang sama juga berlaku untuk Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.

Ia ditembak mati pada tahun 1965 dalam sebuah operasi militer yang dipimpin oleh Jenderal Yusuf.

Itu adalah perintah tegas Sukarno.

Kecuali Aceh hampir semua pemberontakan lain ditumpas.

Tidak berlebihan untuk menyatakan, masyarakat Sumatera Barat menghadapi trauma panjang karena pemberontakan PRRI.

Tak heran, sebagian warga kelahiran Sumatera Barat pasca PRRI, terpaksa mencari nama yang tak berbau minang untuk anaknya pada masa itu akibat trauma yang begitu berbekas.

 
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved