Kupi Beungoh
Rumoh Geudong: Memori Kolektif Aceh dan Janji Para Presiden – Bagian II
Sukarno seakan mampu “merasa” ada perpaduan energi kebangsaan, keislaman, dan keacehan yang dimiliki oleh Ali Hasyimi yang menggambarkan Aceh ideal.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
ORANG Aceh tentu saja akan marah kalau disebut tak tahu diri terhadap segala kebaikan Sukarno.
Publik Aceh sepertinya sama sekali tak peduli kepada kebaikan dan “kearifan” Sukarno ketika menunjuk Ali Hasymi menjadi gubernur Aceh.
Sukarno seakan mampu “merasa” ada perpaduan energi kebangsaan, keislaman, dan keacehan yang dimiliki oleh Ali Hasyimi yang menggambarkan Aceh ideal.
Ketika ia menunjuk Hasyimi menjadi gubernur Aceh pada masa itu, Sukarno seakan telah membaca, sebagian imaginasi Beureueh telah terpenuhi, untuk tidak mengatakan mendekati.
Dan Hasyimi, orang yang dipercayainya adalah pilihan yang tepat.
Sebagai pembelajar yang tekun Hasymi memerintah dengan piawai.
Ia bertangan dingin. Ia benar-benar menjadi elemen final dari Sukarno yang thesis, Beureueh yang anti thesis, dan dirinya sebagai sinthesis.
Wajah Islam dan keacehan yang diperkenalkan oleh Hasyimi, utamanya melalui jalur pendidikan menemukan momentumnya.
Anugerah daerah istimewa yang diberikan oleh Sukarno untuk Aceh mampu diterjemahkan dengan baik oleh Hasyimi dengan slogan dan realisasi Aceh dari kawasan darul harb-kawasan perang, menjadi darussalam- kawasan damai.
Terhadap semua kebaikan Sukarno, ingatan sebagian besar publik Aceh tetap juga tak lepas dibandingkan dengan kesalahannya “menipu” Daud Beureueh, dan mempermalukan Aceh dengan menjadikannya sebagai bagian dari provinsi Sumatera Utara.
Ia divonis bersalah, terhadap apapun kejadian buruk antara Aceh dan pemerintah pusat, yang mungkin akan terhapus dalam perjalanan sejarah panjang, yang kita tak tahu kapan akan tiba.
Pasalnya? Sebuah janji kepada publik Aceh via Beureueh, apalagi diucapkan dengan menyebutkan nama Tuhan, Allah SWT ketika itu.
Baca juga: Rumoh Geudong, Antara Peng Griek dan Orang Aceh yang Sedang Sakit Sejarah
Tragedi Janji Megawati
Tragedi janji yang dialami Sukarno itu kemudian berlanjut ketika Megawati berkuasa.
Dalam sebuah pidatonya, ia menyebut dirinya sebagai Cut Nyak-panggilan bangsawan wanita Aceh dan komitmennya untuk mengakhiri konflik Aceh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.