Kupi Beungoh
Rumoh Geudong: Memori Kolektif Aceh dan Janji Para Presiden – Bagian II
Sukarno seakan mampu “merasa” ada perpaduan energi kebangsaan, keislaman, dan keacehan yang dimiliki oleh Ali Hasyimi yang menggambarkan Aceh ideal.
Ucapan itu tak berlangsung lama.
Mungkin saja ia emosi, dan bukan tak mungkin juga ia tulus ketika ia menyebutkan jika dirinya terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2004, sang Cut Nyak tak akan membiarkan lagi setetes darah pun mengalir di Aceh.
Belum hilang dari ingatan publik, apa yang dia ucapkan, segera setelah ia menggantikan presiden Abdurrahman Wahid, Mega harus melakukan sesuatu untuk Aceh.
Kegagalan perundingan Tokyo, berikut dengan semakin maraknya gangguan keamanan di Aceh membuatnya tidak punya pilihan lain.
Sebagai presiden ia harus membuat keputusan, membiarkan Aceh berlarut-larut, atau melancarkan operasi militer.
Dalam penilaian banyak pengamat, keputusan Megawati menjadikan Aceh dalam status daerah darurat militer sudah tepat.
Ia dipaksa melakukan operasi militer oleh kekacauan Aceh yang semakin parah.
Ia dihadapkan pada sebuah janji kampanye atau menghadapi realitas buruk yang kalau dibiarkan akan menjadi semakin buruk.
Megawati melupakan janjinya, ia menerapkan darurat militer untuk Aceh.
Pertanyaannya hipotetisnya adalah, kalau saja ada presiden lain yang bukan Megawati yang dihadapkan dengan pilihan keadaan Aceh pada masa itu, akankah sang presiden itu menerapkan darurat militer yang sama seperti Megawati?
Kemungkinan besar jawabannya adalah ya.
Dalam konteks mempertahankan keutuhan bangsa dan negara, siapapun akan melakukan seperti yang dilakukan Megawati.
Apapun alasannya, publik Aceh tak mau tahu, janji adalah janji, dan ingkar janji mendapat catatan penting yang tak mudah untuk dilupakan.
Megawati, kembali mengulangi kesalahan Sukarno.
Ia terlalu gampang berjanji, tanpa menghitung resiko terburuk yang mungkin dihadapi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.