Opini
Bank Konvensional atau Syariah bukan Trigger Utama Ekonomi
Bank syariah menawarkan produk keuangan syariah yang memenuhi kebutuhan pembiayaan dan investasi yang notabenenya diperuntukkan bagi seluruh umat baik
M Yuzan Wardhana SP MEP, Dosen Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian USK
PERBANKAN telah menjadi bagian integral dari kehidupan kita dan ada berbagai jenis bank yang melayani berbagai kebutuhan keuangan. Dua jenis bank utama adalah bank syariah dengan instrumen islaminya dan bank konvensional dengan hukum non syariahnya.
Bank syariah menawarkan produk keuangan syariah yang memenuhi kebutuhan pembiayaan dan investasi yang notabenenya diperuntukkan bagi seluruh umat baik Islam maupun non Islam. Sebaliknya, bank konvensional menawarkan produk dan layanan perbankan berdasarkan sistem berbasis hutang yang melibatkan pembayaran bunga.
Larangan bunga dalam sistem keuangan Islam menghasilkan penghapusan hutang dan menghindari eksploitasi. Ini karena keuangan Islam beroperasi berdasarkan prinsip pembagian risiko, di mana bank dan nasabah bersama-sama berpartisipasi dalam keuntungan dan kerugian.
Hal ini tidak hanya mempromosikan tanggung jawab keuangan tetapi juga mendorong kewirausahaan dan investasi dalam usaha produktif. Selain itu, prinsip-prinsip keuangan Islam juga mempromosikan investasi etis yang konsisten dengan nilai-nilai tanggung jawab sosial.
Perbankan Islam berjuang untuk masyarakat yang adil dan seimbang seperti yang dicita-citakan oleh ekonomi Islam. Secara keseluruhan, meskipun bank syariah dan bank konvensional berfungsi sebagai perantara dalam transaksi keuangan, prinsip dan praktik dasarnya berbeda.
Diferensiasi antara perbankan Islam dan konvensional menyoroti perlunya solusi keuangan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan berbagai individu dengan prinsip keimanan/keyakinan, nilai-nilai etik dan minat yang berbeda-beda. Singkatnya, perbedaan utama antara perbankan Islam dan konvensional terletak pada prinsip dasarnya.
Penting bagi individu untuk memahami perbedaan ini dan memilih sistem perbankan yang selaras dengan keyakinan, nilai dan kebutuhan pribadi mereka. Selain itu, karena kedua sistem terus berevolusi dan beradaptasi dengan keadaan ekonomi yang berubah, kemungkinan besar kita akan melihat konvergensi dan divergensi lebih lanjut dalam prinsip dan praktiknya.
Pada fenomena di Aceh terkait kebijakan lembaga keuangan syariah yang akhir-akhir ini memunculkan perdebatan atau polemik di tengah masyarakat, dapat dianalisis bahwa ada para pihak yang berkeberatan dengan angkat kakinya bank konvensional dari bumi Serambi Mekkah, mungkin mereka gerah dengan sistem operasi bank syariah yang belum kuat/mapan.
Salah satu implikasi ketidakmapanannya yaitu tidak komprehensif dalam memberi pelayanan, apalagi jika menyangkut dengan bisnis skala besar, wajar saja mereka kritis terhadap pelayanan bank syariah. Sehingga kritik ini memuncak ketika bank syariah mengalami system crash yang disinyalir akibat ulah hacker, beberapa elemen masyarakat baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif bersuara lantang ingin mengembalikan bank konvensional ke Aceh guna memudahkan aktivitas keuangan para pebisnis utamanya dan dengan dalih kepentingan masyarakat pada umumnya.
Meskipun perlu diingat, bahwa apakah bank syariah sudah menjalankan fungsi etis tanggung jawab sosialnya? Serta perlu diketahui peningkatan perekonomian daerah tidak bergantung pada perbankan apa pun jenisnya, karena bank berfungsi hanya sebagai fasilitator yang memainkan peran keuangan dan berorientasi pada keuntungan semata, lantas mengapa kita harus bergaduh untuk hal tersebut?
Win-win solution
Menurut amatan penulis, langkah tergesa dalam menyikapi kekacauan sistem perbankan ini bukanlah win win solution dengan menghadirkan kembali bank konvensional, apalagi jika dikaitkan dengan hubungan ukhrawi tentu bukan sebuah kemaslahatan bagi umat.
Praktik dan tanggung jawab sosial perbankan syariah yang seharusnya diperbaiki, hal ini dapat ditempuh: Pertama yaitu bank harus memahami kultur masyarakat Aceh, hal ini penting dilakukan guna penguatan bagi sistem dan produk perbankannya. Sebagai contoh yaitu perbankan harus merebut hati nasabah dengan produk-produk syariahnya agar nasabah tidak ragu keyakinannya dan merasa diuntungkan, serta dapat menumbuhkan sektor produktif bagi masyarakat.
Jika nasabah merasa perbankan syariah lebih buruk produknya dari pada konvensional maka bisa dipastikan perbankan syariah tidak menjalankan visi misi syariahnya atau telah keluar dari etika tanggung jawab sosialnya.
Kedua, sudah urgensi agar regulasi menjalankan bank syariah dapat dilengkapi dengan struktur sistem keuangan syariah dengan fungsi pengawasan komprehensif agar dapat memberi efek kepatuhan dalam menjalankan kegiatan di sektor keuangan syariah. Jadi OJK (otoritas jasa keuangan) dan DPS (dewan pengawas syariah) yang sudah beroperasi saat ini lebih baik merger dan fokus pada bank syariah. Khususnya untuk Aceh sangat diperlukan instrumen yang mengatur tindak tanduk terkait perbankan syariah tersebut.
Empati masyarakat Aceh
Perlu kesadaran dan perhatian dari semua pihak pemangku kepentingan di Aceh, bukankah ada atau tidaknya bank syariah, Aceh masih termasuk dalam urutan provinsi miskin. Bahkan perputaran uang atau aliran uang masyarakat Aceh justru banyak terdistribusi keluar daerah seperti ke provinsi tetangga ‘telur saja masih dari medan’.
Apa wujud konkret para pihak di Aceh untuk kemajuan ekonomi daerahnya? Adakah tanggung jawab sosial dari kita semua? Sudah berapa banyak terbuka lapangan kerja? dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan miris lainnya.
Mengkaji fenomena ini maka maaf jikalau boleh saya meminjam istilah Rocky Gerung dengan sebutan ‘dungu’, kata itulah yang terjadi pada kondisi kita di Aceh. Bergaduh untuk hal yang tidak ada signifikansi dan korelasi langsung antara sistem perbankan yang beroperasi di Aceh dengan peningkatan ekonomi masyarakat. Hingga saat ini pertumbuhan ekonomi Aceh masih tergolong lambat bahkan sebelum adanya bank syariah. Bukankah ini berarti sistem perbankan apa pun itu jenisnya adalah bukan trigger utama ekonomi bagi daerah.
Mengenai kepuasan nasabah dalam mendapat pelayanan jasa keuangan, kembali ke qalbu masing-masing. Jika menganggap sistem bank syariah yang saat ini beroperasi di Aceh tidak menjalankan syariatnya maka biarlah mereka yang menanggung konsekuensi dunia akhiratnya.
Sedangkan bagi umat yang butuh support sistem keuangan mumpuni maka carilah solusi yang sesuai dengan qalbunya, bisa saja menempuh penggunaan jasa bank syariah lainnya yang sudah mapan dan sarat pelayanan seperti Al Rajhi bank yang memiliki kantor perwakilan hampir di seluruh dunia atau opsi konvensional jika sangat urgen. Tetapi tak perlu juga memunafikkan para nasabah bank syariah atau sebaliknya mengkafirkan nasabah bank konvensional.
Kesimpulannya, perbankan syariah dan perbankan konvensional sama-sama memainkan peran penting dalam sistem keuangan global. Namun, mereka berbeda secara signifikan dalam prinsip dan praktik yang mendasarinya. Sementara beberapa orang mungkin lebih menyukai praktik perbankan konvensional yang mapan dan pada sisi lain mungkin menganggap penekanan perbankan Islam pada investasi yang bertanggung jawab secara etis dan sosial justru lebih menarik.
Seharusnya ada kesadaran berbagai pihak dalam memaknai bahwasanya Aceh butuh kebijakan tendensius dalam hal meningkatkan perekonomian daerah. Bagaimana menjaga alur perputaran uang agar tidak bocor terus menerus keluar daerah sehingga pemanfaatan sirkulasi uang bisa dirasakan oleh Aceh sendiri. Perkaya dan perkuat sektor primer, sekunder dan tersier berbasis inovasi, kokohkan fondasi investasi berbasis sektor riil dan dorong kebijakan fiskal menjadi tren pertumbuhan ekonomi.
Aceh perlu belajar dari Arab Saudi atau negara-negara yang menjalankan perbankan syariah dalam penetapan regulasi perbankan syariah dan memperkuat sistem dengan teknologi mumpuninya. Sehingga dunia perbankan dapat bergairah dengan berbagai produk berbasis syariahnya dan mapan menjalankan amanah keuangannya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.