Jurnalisme Warga

Gelora Sepak Bola di Gampong Bucue

Sepak bola setiap sore semakin sering digelar. Namun, bukan lagi sebagai “permainan” tapi sudah berubah menjadi latihan untuk menghadapi turnamen seke

Editor: mufti
SERAMBINEWS/tambeh.wordpress.com
T A SAKTI, penerima Kehati Award 2001 dari Yayasan Keanekaragaman Kehidupan Hayati Indonesia (Kehati) Jakarta, melaporkan dari Dusun Lamnyong, Gampong Rukoh, Darussalam, Banda Aceh 

T.A. SAKTI, alumnus SMAN Sigli tahun 1974 dan peminat sepak bola, melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie

WARUNG kopi di seluruh Aceh, baik di kota maupun  di pelosok gampong (desa), diliputi kondisi riuh serta gembira-ria dan panas dingin saat dini hari Ahad, 11 Juni 2023 lalu. Begitulah suasana di saat  warga muda  Aceh menonton pertandingan final Liga Champions antara kesebelasan Inter Milan, Italia, dengan Manchester City, Inggris   yang dimenangkan Manchester City pada malam itu.

Getaran gemuruh di warung kopi itu telah mencungkil ingatan saya kepada semaraknya sepak bola di Lapangan Bola Kotabakti tahun 1974, yang saat itu kampung saya ikut serta dalam turnamen tersebut.

Tradisi sepak bola di kampung saya, Bucue, Kecamatatan Sakti, Kabupaten Pidie, telah berlangsung lama. Lokasi lapangan permainan pun sudah pindah berkali-kali.  Barulah tahun 1974 digunakan Lampoh Kawat (kebun pernah berpagar kawat), berupa tanah kosong telantar. 

Begitulah, sepak bola terus berlangsung hampir setiap sore di lapangan Lampoh Kawat. Para penonton berdiri dan duduk berjejer di sepanjang jalan kampung di sebelah barat lapangan.

Waktu terus berjalan, lalu tersebarlah berita akan berlansung Turnamen Sepak Bola Se-Kecamatan Sakti.  Turnamen ini dalam rangka memperingati 17  Agustusan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tahun itu.

Menyambut berita yang sudah pasti itu, Keuchiek Gampong Bucue  Ampon Tahe (Teuku Tahir) mengadakan rapat pada suatu malam untuk membicarakan “tunang bhan” (tanding bola) itu. Dalam rapat, Teungku Ramli  mengusulkan agar klub bola Gampong Bucue diberi  nama yang tetap dan dibuat benderanya. Hasil diskusi masalah nama klub bola, disepakatilah “PORBUSI” (Persatuan Olahraga Bucue Seluruh Indonesia) sebagai identitas klub bola Bucue.

Gayung pun bersambut. Sepak bola setiap sore semakin sering digelar. Namun, bukan lagi sebagai “permainan” tapi sudah berubah menjadi latihan untuk menghadapi turnamen sekecamatan itu.

Setelah lama berlatih dan pertandingan bola tingkat Kecamatan Sakti semakin dekat, pada suatu malam dibuatlah rapat evaluasi di meunasah (surau). Banyak pendapat yang berkecamuk dalam rapat. Analisis rapat menyebutkan bahwa Gampung Bucue  sama sekali tak bakal menjadi juara. Jadi, percuma saja Gampong Bucue ikut turnamen, bila sekadar “intat linto” (mengantar pengantin pria) alias meramaikan saja.

Rapat terus berjalan, berbagai ide disumbangkan para hadirin peserta rapat. Salah satu pendapat yang semakin menguat adalah mencari pemain bola  dari luar Bucue. Saran ini diterima oleh hampir semua yang hadir, tetapi mereka menyatakan dari mana sumber dananya.

Ampon Tahe menyebutkan bahwa sumber dana diambil dari upah/ongkos mengirik padi (upah ceumeulho) dari sawah yang sudah mulai panen. Mengirik padi (menginjak tangkai padi pakai dua tongkat) dilakukan secara gotong royong oleh semua warga Gampong Bucue yang laki-laki.  Soal mencari pemain bola asal luar  kampung  diserahkan kepada saya.

Tahun 1974, saya merupakan siswa kelas 3 SMA Negeri, Sigli.  Menyambut amanah warga kampung, di sekolah  saya semakin sering mengajak teman-teman ke warung kopi waktu istirahat. Teman yang diajak tentu para pemain bola dari berbagai kampung dalam Kabupaten Pidie.

Pakar yang melobi adalah Abdul Kadir, teman saya sekelas (kemudian, Ir Abdul Kadir MSi, MA ini pernah  menjadi Kepala  Dinas Mobilitas Penduduk Provinsi Aceh). Terkumpullah sejumlah pemain bola unggulan, seperti  T Nurlief,  Tarmizi asal kota Sigli, T Ramadhan asal Luengputu, Djul asal Gampong Pukat, Sukiman asal Tiba, dan masih banyak  lagi.

Sementara itu, gotongroyong mengirik padi (meluruhkan bulir padi dari tangkainya) berlangsung dengan gegap-gempita. Semua warga lelaki bahu membahu bekerja mengumpulkan dana bola demi mengharumkan nama gampong Bucue.  Saya berkali-kali pidato memberi semangat, saat selesai kerja mengirik padi. Kadang  saya berdiri di pematang sawah,  atau  di atas tumpukan jerami.   Kerja ‘meuseuraya’  mengirik padi dikerjakan  di waktu malam, berpindah-pindah   dari satu  lumpoek (tumpukan padi bersama potongan batangnya) ke lumpoek lainnya.

Pada hari “H” turnamen sepak bola Sekecamatan Sakti dibuka di lapangan bola Blang Peureulak dekat Kotabakti. Pada hari-hari pertandingan, saya dan sahabat saya Abdul Kadir bekerja ekstrakeras.  Kami harus menjemput para  pemain dengan sepeda motor (Aceh: Honda) yang kediaman mereka berlainan tempat dan jauh. Kami hanya pegang janji sewaktu bertemu di sekolah.

Ternyata semua rencana kami berlangsung tanpa meleset.  Para pemain yang dijemput, langsung dibawa ke lapangan untuk bermain. Selesai bertanding mereka kami antar pulang ke kampung masing-masing. Beberapa orang  yang tak sempat pulang, karena sudah malam, mereka tidur di rumah saya.

Jadi, selama banyak tamu, rumah saya  jadi  ramai dan semarak dengan celoteh para pemain bola. Ibunda saya dengan senang hati dan gembira menjamu mereka sampai  menyembelih satu-dua ekor ayam untuk lauk makan para tamu bola.

Alhamdulillah, sampai nyaris acara turnamen  berakhir segala program kami berjalan mulus tanpa kendala.  Semua kesebelasan yang berhadapan dengan klub  Gampong Bucue  harus menyerah kalah.  Bendera   “PORBUSI”   yang dipancangkan di sudut-sudut lapangan  melambai-lambai  dengan  gagah dan rancaknya.

Hingga sampailah klub bola kami ke babak final dengan menghadapi  “Badak Hitam” sebagai  klub paling tangguh   milik Batalion  113  di Kotabakti saat itu. Pertandingan kali terakhir ini, kalau menang berarti Klub PORBUSI menjadi juara pertama, bila kalah bakal mendapat juara dua.

Menghadapi kesebelasan yang cukup kuat itu, kesiapan “pasukan” Bucue pun semakin ditempa. Saya dan Abdul Kadir betul-betul sudah memilih para pemain yang cukup tangguh. Hampir semua pilihan pemain berasal dari Sigli dan sekitaranya. Anggapan kami, paling kurang  mereka lebih sering menonton strategi sepak bola klub PSAP (Persatuan Sepak Bola Aceh Pidie).

Tetap dengan semangat pantang menyerah sebelum bertanding,  bendera  PORBUSI terus berkibar-kibar  dengan penuh  perkasa. Masyarakat Bucue tumpah ruah mendatangi lapangan  bola Blang Peureulak di sore itu. Mereka ingin gampong Bucue maju dan harum namanya. Usaha  dan doa telah mereka panjatkan, tinggal menunggu nasib yang menentukan.

Penjemputan pemain dari Sigli pada awal hari itu  berjalan  lancar dan aman. Barulah pada jemputan kedua armada angkutan kami mulai bermasalah.

Ban belakang Honda saya bocor di Bambi hingga butuh waktu untuk menempelnya. Agar tidak terlambat sampai ke lapangan, seorang pemain dibantu bonceng Bang Abdullah Saidi seorang pegawai  yang pulang ke Titeue. Pemain ini diturunkan di Kotabakti. Sebagai pendatang   baru ia tak dapat ke lapangan Peureulak yang masih cukup jauh. Ada dua orang pemain pembela PORBUSI, yang bernasib sama.

Pepatah menyebutkan, ”Malang tak dapat ditolak,  untung  tak dapat diraih.  Hanya takdir Allah yang jadi kenyataan.”

Ternyata, kesebelasan PORBUSI mendapat juara 2 pada adu penalti dengan skor  4–5 bagi kemenangan “Badak Hitam” sebagai juara 1.. Sangat  miris!

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved